“Aku tak tahu, Rey.”
“Ya sudahlah, selamat ya. semoga kau bahagia dengan pria pilihanmu itu.”
Aku menundukkan kepalaku dan kedua bola mataku menatap tanah. Kosong.
Mungkin, memang sudah saatnya aku melupakannya dan beralih mencintai orang lain.
***
Ini hari adalah hari keberangkatan Nayla ke Paris bersama calon suaminya itu. Aku melirik jarum jam menujukkan pukul 09.40. Pukul 10.00 pesawat menuju Paris akan mengudara. Aku mengetuk-ngetuk jari jemariku di atas meja belajar. 15 menit menuju bandara mungkin masih bisa. Maklum, jarak antara rumah kosanku dengan bandara sangat dekat sekali. Memberikan salam perpisahan? Apalah arti jika hati ini menjadi terluka melihat Nayla bersama kekasihnya. Aku tercenung. Tak lama, aku mengambil ponselku yang tergeletak di atas tempat tidur. Kuputuskan untuk mengirim pesan singkat saja sebagai salam perpisahanku padanya. Jam dinding berdenting. Pukul 10.00. Dari luar kamar, terdengar suara pesawat terbang. Aku beranjak dari kursi menuju jendela kamar. Kulihat pesawat terbang di udara. Selamat jalan, Nayla. Semoga kau bahagia bersama Dio.
***
4 tahun kemudian
Empat tahun telah berlalu. Aku menjalani hidupku. Bayanganmu masih menari-nari dalam pikiranku, Nay. Rupanya, aku belum bisa beralih mencintai orang lain. Dan, aku bahagia saat kau menghubungiku, mengabarkan bahwa kau sedang berada di Indonesia dan mengajakku bertemu di sebuah kafe hari ini. Ya, maka ini hari adalah hari yang sangat teramat spesial karena aku akan bertemu denganmu atau mungkin juga luka itu akan kembali menganga saat kau menceritakan kebahagiaanmu padaku, tentang kau bersama pria yang kau cintai, lalu tentang kau yang telah melahirkan anak-anak yang manis-manis dan lucu-lucu dan mungkin saja kau akan membawa mereka untuk dikenalkan padaku. Tentu saja semua itu tak kan menumbuhkan kembali harapanku yang tumbang empat tahun silam.
Aku menyemprotkan parfum Bvlgari Men ke tubuhku. Wangi parfum kesukaanmu. Kau ingat, dulu kau mengatakan padaku.
“Rey, wangi parfummu enak, pakai parfum apa?”