Mohon tunggu...
Dinda Mumtazah
Dinda Mumtazah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

Student from Political Sciences of Universitas Airlangga

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Politik Identitas, Tetaplah Relevan?

3 Juli 2023   21:55 Diperbarui: 3 Juli 2023   22:29 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Politik identitas, kini tengah menjadi isu yang hangat diperbincangkan menjelang pemilu 2024. Para kandidat dan calon bertekad untuk memperoleh suara dalam persaingan di 2024 mendatang. Tekad itu seringkali diwujudkan melalui keberpihakan terhadap suatu entitas golongan tertentu untuk memperoleh suara yang diinginkan. Akan tetapi langkah ini belum tentu akan meningkatkan perolehan suara nanti. 

Politik identitas justru cenderung menurunkan dukungan masyarakat pada capres karena berpotensi untuk memecah belah berbagai macam kelompok kepentingan yang ada. Hal ini tentu melenceng dari tujuan politik identitas yang mana selama ini digunakan sebagai kendaraan bagi tersalurkannya aspirasi dan tuntutan dari kelompok kepentingan. Politik identitas kerap kali diidentikkan dengan entitas seperti agama, suku, dan budaya tertentu.

Ada beberapa alasan mengapa politik identitas penting untuk didiskusikan lebih lanjut. Pertama, bahwasannya sebagai seorang individu kita tidak akan terlepas dari identitas itu sendiri. identitas merupakan hal alamiah (Fukuyama, 2011). sedangkan politik merupakan wadah bagi para kelompok yang beridentitas sama untuk memperjuangkan kepentingannya. Hal ini wajar dilakukan, mengingat Indonesia merupakan Negara heterogen. Akan tetapi realitasnya tidak demikian, kemungkinan preferensi masyarakat pada pemilu 2024 tidak berkaitan dengan identitas. 

Kedua, huru hara yang terjadi saat ini dimana seorang kandidat capres dan suatu parpol dengan tegas mengusung politik identitas dalam kampanye 2024 mendatang. Hal ini penting karena kerapkali memicu perpecahan. Dimana politik identitas menghimpun dukungan dari kelompok entitas tertentu sehingga kelompok diluar entitas dinggap tak patut untuk memimpin. Padahal Indonesia sendiri terdiri dari berbagai macam golongan dan kepentingan.

Singkatnya terdapat dua hal yang menjadi alasan saya memilih topik 'politik identitas'. Pertama, untuk melihat preferensi masyarakat pada pemilu mendatang dimana dukungan pada politik identitas cenderung menurun . Kedua, dampak dari adanya politik identitas. Dampak tersebut penting untuk diketahui guna mencegah munculnya polarisasi politik seperti 2019 lalu yang cenderung mengarah pada perpecahan.

Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui apa dampak dari politik identitas dalam pemilu 2024 mendatang baik itu dampak bagi dukungan pada capres ataupun situasi masyarakat saat pemilu itu sendiri. mengingat dalam beberapa pemilu sebelumnya politik identitas kerap kali digunakan sebagai alat dalam meraih suara yang ada.

Mengapa masyarakat cenderung menganggap politik identitas sebagai hal yang negatif? padahal sebagai masyarakat dengan keanekaragaman yang tinggi wajar bagi kita untuk memperjuangkan kepentingan kelompok kita. serta apakah politik identitas sendiri sesuai dengan pancasila? Hal ini penting karena setiap sendi kehidupan bernegara tidak lepas dari pancasila sebagai dasar  dalam praktik politik di Indonesi.

Politik identitas merupakan sebuah keniscayaan bagi kita. Sebagai individu, kita sendiri terlahir dengan identitas. Hal itu melekat pada diri kita secara alamiah. Setiap kelompok dengan identitas yang sama selalu memiliki kepentingan untuk identitasnya. Di Indonesia, kelompok muslim memiliki kepentingan yang berbeda dengan kelompok Kristen, Hindu, dan Budha. Berbagai macam kelompok kepentingan ini mencoba untuk menyaluarkan kepentingannya melalui politik. Politik hadir sebagai akses terhadap proses pembuatan kebijakan yang ada (Surbakti, 2007). 

Untuk itu sebagai Negara dengan kemajemukan yang tinggi politik identitas rawan terhadap munculnya perpecahan. Perpecahan itu terutama disebabkan oleh adanya penggiringan opini publik yang bersifat memecah belah. Opini tersebut dapat berupa sentiment bahwa pemimpin di luar kelompok dianggap tidak dapat mewakili kepentingannya. Padahal jika dilihat dari kebijakan Presiden Jokowi selama periode 2014-2019, tidak ada kebijakan yang memarjinalkan atau mementingkan kelompok identitas tertentu.

Belajar dari Pemilu 2019 lalu, politik identitas telah melahirkan polarisasi yang didasarkan pada agama. Dimana pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin didukung oleh islam tradisionalis dan non-muslim. Di sisi lain, Prabowo-Sandi didukung oleh kelompok islam modern dan radikal. 

Dua kekuatan ini menimbulkan ketegangan baik sebelum ataupun pasca pemilu berlangsung, yaitu ketika KPU mengumumkan hasil perolehan suara dengan pasangan calon Jokowi-Ma'ruf sebagai pemenang, sehingga muncullah kerusuhan dan protes tak terima dari pendukung Prabowo-Sandi. Hal ini menujukkan bahwa kualitas demokrasi di Indonesia masih rendah. Dalam pemilu sudah sewajarnya terdapat pasangan calon yang kalah. Akan tetapi karena dipicu oleh semangat identitas tadi maka perpecahan tak dapat terelakakan.

Selain itu, adanya motivasi berupa kesamaan identitas cenderung menurunkan kualitas pemimpin dan program yang akan ditawarkan saat kampanye. Memang benar kita semua memiliki kepentingan atas dasar identitas kita. Akan tetapi kepentingan itu belum tentu mengakomodasi kepentingan lainnya. Alih-alih sebagai wadah kepentingan, politik identitas justru cenderung dipakai sebagai alat untuk menarik suara saja. Padahal kualitas pemimpin tidak semata-mata dilihat dari agama dan sukunya.

Akan tetapi juga kemampuan dan program yang ditawarkannya. Hal ini dapat kita lihat pada kasus yang terjadi menuju Pemilu 2024, dimana Partai Umat secara terang-terangan menyatakan diri sebagai partai dengan politik identitas islamnya. Serta Anies Baswedan yang didukung oleh kelompok islam kanan yang mana kelompok ini cenderung memiliki sterotip negatif bagi masyarakat Indonesia yang trauma dengan golongan ektrem kanan-kiri. Mereka mempropagandakan dukungannya serta bersifat menggiring opini dengan unsur SARA pada lawan politik nya.

Seperti yang terjadi pada 2019 lalu, contohnya saatJokowi dituduh sebagai bagian dari PKI yang anti-islam. Hal ini kemungkinan akan turut terjadi di 2024 mendatang, mengingat beberapa elite merupakan aktor yang sama pada 2019 lalu yaitu pendukung Jokowi yang beralih ke Ganjar Pranowo serta Anies baswedan dengan islam modern nya, akan tetapi kelompok ini tidak se massif saat 2019 lalu, dikarenakan terbagi menjadi kelompok Prabowo dan Kelompok Anies. Sedangkan Anies Baswedan masih kekeuh menggunakan politik identitas sebagai kendaraan pemilunya. 

Melalui media sosial, para buzzer disebar untuk mengggiring opini publik pada isu isu negatif terkait agama yang mengarah pada penyebaran kebencian pada lawan politiknya. Maka kemungkinan polarisasi dan perpecahan seperti yang terjadi pada 2019 lalu bisa saja terjadi. Tergantung pada bagaimana pandangan masyarakat. Apakah mampu menyeleksi informasi dan propaganda yang ada atau tidak.

Politik identitas juga menurunkan kualitas demokrasi (Ardipandanto, 2020). Karena dalam demokrasi dikenal prinsip mayoritas rakyat. Sedangkan dalam politik identitas mengutamakan satu kelompok tertentu yang belum tentu mewakili mayoritas suara yang di masyarakat. Maka ketika pemilu berlangsung dan hasil yang keluar tidak sesuai dengan harapan kelompoknya. Kelompok tersebut dapat mengklaimnya sebagai sebuah kecurangan. Karena bagi mereka pemilu merupakan sarana bagi mereka meraih kepentingan dan bukan kehendak bersama.

Terakhir adalah menurunnya elektabilitas capres yang menggunakan politik identitas. Hal ini terjadi karena beberapa hal. Yaitu kekhawatiran akan terjadinya perpecahan, polarisasi kekuatan, efektivitas kebijakan, kualitas kepemimpinan dan demokrasi. Faktor faktor tersebut mengurangi antusiasme masyarakat pada pemimpin yang menggunakan politik identita.

Karena cara pandang dalam menentukan pilihan pemimpin oleh masyarakat saat ini mulai bergeser seiring dengan kepentingan ekonomi di luar isu agama. Sebagian besar masyarakat memprioritaskan pemimpin yang memiliki kapabilitas dalam kerjanya. Apakah program yang ditawarkan dalam kampanye menguntungkan atau tidak. Hal ini didasarkan pada pertimbangan kebutuhan ekonomi yang rasional. Tidak sebatas pada kesamaan identitas dengan pemimpin. 

Dalam survei yang dilakukan oleh CSIS pada 2022 lalu, Mengungkapkan bahwasannya sebesar 35% preferensi pemilih pada 2024 mendatang adalah adanya pemimpin yang jujur dan anti-korupsi. Sedangkan 15,9% memilih pemimpin yang bisa menjangkau rakyat. Survei ini dilakukan pada anak muda di Indonesia. Seperti yang diungkapkan oleh KPU, bahwasannya sekitar 60% suara pada 2024 mendatang berasal dari usia di bawah 40 tahun.

Hal ini penting untuk diperhatikan oleh para calon kandidat yang ingin memenangkan pemilu. Bahwasannya sebagian besar suara yang akan menentukan kemenangannya berasal dari anak muda. Maka target kampanye mereka adalah kepentingan dan preferensi anak muda itu sendiri. dilihat dari hasil survey yang dilakukan CSIS, sebagian besar anak muda tidak memasukkan kategori agama dalam preferensi pilihannya. 

Hal ini dikarenakan anak muda hidup dalam tantangan semasa pandemi Covid-19 serta krisis akibat tensi konflik global yang tinggi. ini membuat mereka memilih pemimpin yang dapat menangani kesulitan dan tantangan nantinya. Seperti memberi lapangan pekerjaan, mengatasi harga bahan pokok, dan pengentasana korupsi. Jadi sekedar sebagai simbol identitas kelompoknya saja.

Dalam survei yang dilakukan oleh Indikator Politik, Warga NU yang notabenenya seringkali disebut sebagai represented dari PKB, justru sekitar 25% suaranya teralokasikan ke PDI-P dibanding ke PKB yang hanya sebesar 10%. Ini berarti tidak semua golongan memilih pemimpin yang sama identitas dengannya. Karena sekali lagi, kepentingan masyarakat kian hari semakin kompleks. Kepentingan itu tidak lagi terdikotomi pada agama, etnis dan budaya saja. Melainkan kinerja dan kapabilit pemimpinnya.

Anies Baswedan dalam survei terbaru yang dilakukan oleh MSRC, mengalami penurunan tingkat kesukaan dari 78% pada Desember 2022 lalu menjadi 72% pada Maret 2023. Meskipun penurunannya kecil tetapi hal ini tidak menutup kemungkinan untuk terus mengalami penurunan. Seiring dengan semakin banyaknya isu politisasi agama dalam proses pencalonannya. Dalam survei lainnya juga diungkaplan bahwasannya elektabilitas Anies Baswedan mengalami penurunan menjadi 10% di bawah Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto.

Penurunan tersebut disebabkan oleh adanya dukungan dari kelompok islam ekstrem kanan pada Anies Baswedan. Kelompok ini merupakan eks anggota Hisbut Tahrir Indonesia (HTI), Front Pembela Islam (FPI). Adanya stigma tentang bahaya politik identitas yang melibatkan kekuatan agama mendorong penurunan dukungan masyarakat pada Anies. Masyarakat Indonesia cenderung lebih menyukai kelompok Moderat-Nasionalis dibanding Islam-Populis (Ardipandanto, 2020). Itulah mengapa dukungan pada Ganjar Pranowo dan PDI-P cenderung terus mengalami kenaikan.

Hal ini dapat dibuktikan dari beberapa partai islam yang sulit mengalami kenaikan elektabilitas. Padahal seperti yang kita tahu bahwasannya mayoritas masyarakat Indonesia adalah islam. Akan tetapi sebagian besar pemilih islam justru lebih memilih partai Nasionalis dan Sekuler (Lili Romli, 2004). 

Ini membuktikan bahwasannya politik identitas tidak selalu efektif menjadi alat kampanye. Ideologi berbasis SARA tak selalu relevan di era modern dengan benturan kepentingan yang semakin kompleks, serta stigma dan trauma tentang ekstremis kana-kiri, juga kekhawatiran munculnya polarisasi kekuatan yang mengancam integritas bangsa. Hal-hal diatas menjadi beberapa faktor turunnya dukungan pada politik Identitas menjelang Pemilu 2024.

Sebenarnya konflik dalam dinamika bernegara merupakan hal yang positif Mouffe (2007), karena hal ini merupakan wujud dari adanya demokrasi yang lekat dengan dialog dan kritisisme. Akan tetapi tanpa penanganan yang konflik yang baik, konflik justru memicu timbulnya konflik yang lebih luas seperti disintegritas nasional. Pancasila hadir sebagai pandangan hidup bangsa dalam mengatur kehidupan bernegara, termasuk di dalamnya kehidupan berpolitik (Nasution, 2022). 

Dalam sila ke-3 disebutkan tentang persatuan Indonesia. Politisasi agama mengakibatkan perpecahan di masyarakat, yang mana hal ini tentu berseberangan dengan nilai ke-3 Pancasila. Maka persoalan ini diatur dan ditegaskan oleh Undang-Undang Nomor 7/2017 tentang larangan penggunaan SARA sebagai alat kampanye. Akan tetapi pada realitasnya, Undang-Undang ini belum memiliki konsekuensi hukum yang tegas untuk dijatuhkan pada pasangan calon. 

Maka Bawaslu diharapkan menindaklanjuti oknum-oknum yang masih menggunakan politisasi agama dalam kampanye. Sebagaimana yang disampaikan oleh Ramlan Surbakti "keadilan pemilu tidak didasarkan pada letersediaan kerangka hokum semata, melainkan juga kestaraan hak pilih, integritas badan pemungut suara, dan penyelesaian sengketa dan pelanggaran yang ada" (Harun, 2016)

Selain itu, melihat daya jual politik identitas dalam memperoleh dukungan suara tidak sebesar di tahun sebelumnya, alangkah baiknya jika capres mengusung strategi baru dalam kampanye. Yaitu mempromosikan kebijakan nasional yang berkaitan dengan perekonomian pembangunan, pengentasan korupsi dan payung hukum yang jelas. Didasarkan pada preferensi pemilih dalam menentukan pemimpinnya. Hal hal semacam ini tentu lebih diminati oleh seluruh lapisan masyarakat tanpa terkotak pada identitas tertentu. Mengingat kebutuhan ekonomi lebih mendesak dari pada perjuangan mendominasikan identitas tertentu.

Politik Identitas memang sebuah keniscayaan, tapi kembali lagi pada arah geraknya. Apakah bersifat mebangun atau malah merusak massa. Tergantung pada subjek dan objeknya. Diperlukan sikap kritis pemilih dan juga kemampuan pemimpin untuk menengahi konflik. Serta payung hukum yang kuat untuk mengontrol disintegrasi, maka dampak buruk dari adanya politik identitas akan terminimalisir. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun