Mohon tunggu...
Dinda Mumtazah
Dinda Mumtazah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

Student from Political Sciences of Universitas Airlangga

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Politik Identitas, Tetaplah Relevan?

3 Juli 2023   21:55 Diperbarui: 3 Juli 2023   22:29 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Selain itu, adanya motivasi berupa kesamaan identitas cenderung menurunkan kualitas pemimpin dan program yang akan ditawarkan saat kampanye. Memang benar kita semua memiliki kepentingan atas dasar identitas kita. Akan tetapi kepentingan itu belum tentu mengakomodasi kepentingan lainnya. Alih-alih sebagai wadah kepentingan, politik identitas justru cenderung dipakai sebagai alat untuk menarik suara saja. Padahal kualitas pemimpin tidak semata-mata dilihat dari agama dan sukunya.

Akan tetapi juga kemampuan dan program yang ditawarkannya. Hal ini dapat kita lihat pada kasus yang terjadi menuju Pemilu 2024, dimana Partai Umat secara terang-terangan menyatakan diri sebagai partai dengan politik identitas islamnya. Serta Anies Baswedan yang didukung oleh kelompok islam kanan yang mana kelompok ini cenderung memiliki sterotip negatif bagi masyarakat Indonesia yang trauma dengan golongan ektrem kanan-kiri. Mereka mempropagandakan dukungannya serta bersifat menggiring opini dengan unsur SARA pada lawan politik nya.

Seperti yang terjadi pada 2019 lalu, contohnya saatJokowi dituduh sebagai bagian dari PKI yang anti-islam. Hal ini kemungkinan akan turut terjadi di 2024 mendatang, mengingat beberapa elite merupakan aktor yang sama pada 2019 lalu yaitu pendukung Jokowi yang beralih ke Ganjar Pranowo serta Anies baswedan dengan islam modern nya, akan tetapi kelompok ini tidak se massif saat 2019 lalu, dikarenakan terbagi menjadi kelompok Prabowo dan Kelompok Anies. Sedangkan Anies Baswedan masih kekeuh menggunakan politik identitas sebagai kendaraan pemilunya. 

Melalui media sosial, para buzzer disebar untuk mengggiring opini publik pada isu isu negatif terkait agama yang mengarah pada penyebaran kebencian pada lawan politiknya. Maka kemungkinan polarisasi dan perpecahan seperti yang terjadi pada 2019 lalu bisa saja terjadi. Tergantung pada bagaimana pandangan masyarakat. Apakah mampu menyeleksi informasi dan propaganda yang ada atau tidak.

Politik identitas juga menurunkan kualitas demokrasi (Ardipandanto, 2020). Karena dalam demokrasi dikenal prinsip mayoritas rakyat. Sedangkan dalam politik identitas mengutamakan satu kelompok tertentu yang belum tentu mewakili mayoritas suara yang di masyarakat. Maka ketika pemilu berlangsung dan hasil yang keluar tidak sesuai dengan harapan kelompoknya. Kelompok tersebut dapat mengklaimnya sebagai sebuah kecurangan. Karena bagi mereka pemilu merupakan sarana bagi mereka meraih kepentingan dan bukan kehendak bersama.

Terakhir adalah menurunnya elektabilitas capres yang menggunakan politik identitas. Hal ini terjadi karena beberapa hal. Yaitu kekhawatiran akan terjadinya perpecahan, polarisasi kekuatan, efektivitas kebijakan, kualitas kepemimpinan dan demokrasi. Faktor faktor tersebut mengurangi antusiasme masyarakat pada pemimpin yang menggunakan politik identita.

Karena cara pandang dalam menentukan pilihan pemimpin oleh masyarakat saat ini mulai bergeser seiring dengan kepentingan ekonomi di luar isu agama. Sebagian besar masyarakat memprioritaskan pemimpin yang memiliki kapabilitas dalam kerjanya. Apakah program yang ditawarkan dalam kampanye menguntungkan atau tidak. Hal ini didasarkan pada pertimbangan kebutuhan ekonomi yang rasional. Tidak sebatas pada kesamaan identitas dengan pemimpin. 

Dalam survei yang dilakukan oleh CSIS pada 2022 lalu, Mengungkapkan bahwasannya sebesar 35% preferensi pemilih pada 2024 mendatang adalah adanya pemimpin yang jujur dan anti-korupsi. Sedangkan 15,9% memilih pemimpin yang bisa menjangkau rakyat. Survei ini dilakukan pada anak muda di Indonesia. Seperti yang diungkapkan oleh KPU, bahwasannya sekitar 60% suara pada 2024 mendatang berasal dari usia di bawah 40 tahun.

Hal ini penting untuk diperhatikan oleh para calon kandidat yang ingin memenangkan pemilu. Bahwasannya sebagian besar suara yang akan menentukan kemenangannya berasal dari anak muda. Maka target kampanye mereka adalah kepentingan dan preferensi anak muda itu sendiri. dilihat dari hasil survey yang dilakukan CSIS, sebagian besar anak muda tidak memasukkan kategori agama dalam preferensi pilihannya. 

Hal ini dikarenakan anak muda hidup dalam tantangan semasa pandemi Covid-19 serta krisis akibat tensi konflik global yang tinggi. ini membuat mereka memilih pemimpin yang dapat menangani kesulitan dan tantangan nantinya. Seperti memberi lapangan pekerjaan, mengatasi harga bahan pokok, dan pengentasana korupsi. Jadi sekedar sebagai simbol identitas kelompoknya saja.

Dalam survei yang dilakukan oleh Indikator Politik, Warga NU yang notabenenya seringkali disebut sebagai represented dari PKB, justru sekitar 25% suaranya teralokasikan ke PDI-P dibanding ke PKB yang hanya sebesar 10%. Ini berarti tidak semua golongan memilih pemimpin yang sama identitas dengannya. Karena sekali lagi, kepentingan masyarakat kian hari semakin kompleks. Kepentingan itu tidak lagi terdikotomi pada agama, etnis dan budaya saja. Melainkan kinerja dan kapabilit pemimpinnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun