Mohon tunggu...
Dinda Mumtazah
Dinda Mumtazah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

Student from Political Sciences of Universitas Airlangga

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Politik Identitas, Tetaplah Relevan?

3 Juli 2023   21:55 Diperbarui: 3 Juli 2023   22:29 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Anies Baswedan dalam survei terbaru yang dilakukan oleh MSRC, mengalami penurunan tingkat kesukaan dari 78% pada Desember 2022 lalu menjadi 72% pada Maret 2023. Meskipun penurunannya kecil tetapi hal ini tidak menutup kemungkinan untuk terus mengalami penurunan. Seiring dengan semakin banyaknya isu politisasi agama dalam proses pencalonannya. Dalam survei lainnya juga diungkaplan bahwasannya elektabilitas Anies Baswedan mengalami penurunan menjadi 10% di bawah Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto.

Penurunan tersebut disebabkan oleh adanya dukungan dari kelompok islam ekstrem kanan pada Anies Baswedan. Kelompok ini merupakan eks anggota Hisbut Tahrir Indonesia (HTI), Front Pembela Islam (FPI). Adanya stigma tentang bahaya politik identitas yang melibatkan kekuatan agama mendorong penurunan dukungan masyarakat pada Anies. Masyarakat Indonesia cenderung lebih menyukai kelompok Moderat-Nasionalis dibanding Islam-Populis (Ardipandanto, 2020). Itulah mengapa dukungan pada Ganjar Pranowo dan PDI-P cenderung terus mengalami kenaikan.

Hal ini dapat dibuktikan dari beberapa partai islam yang sulit mengalami kenaikan elektabilitas. Padahal seperti yang kita tahu bahwasannya mayoritas masyarakat Indonesia adalah islam. Akan tetapi sebagian besar pemilih islam justru lebih memilih partai Nasionalis dan Sekuler (Lili Romli, 2004). 

Ini membuktikan bahwasannya politik identitas tidak selalu efektif menjadi alat kampanye. Ideologi berbasis SARA tak selalu relevan di era modern dengan benturan kepentingan yang semakin kompleks, serta stigma dan trauma tentang ekstremis kana-kiri, juga kekhawatiran munculnya polarisasi kekuatan yang mengancam integritas bangsa. Hal-hal diatas menjadi beberapa faktor turunnya dukungan pada politik Identitas menjelang Pemilu 2024.

Sebenarnya konflik dalam dinamika bernegara merupakan hal yang positif Mouffe (2007), karena hal ini merupakan wujud dari adanya demokrasi yang lekat dengan dialog dan kritisisme. Akan tetapi tanpa penanganan yang konflik yang baik, konflik justru memicu timbulnya konflik yang lebih luas seperti disintegritas nasional. Pancasila hadir sebagai pandangan hidup bangsa dalam mengatur kehidupan bernegara, termasuk di dalamnya kehidupan berpolitik (Nasution, 2022). 

Dalam sila ke-3 disebutkan tentang persatuan Indonesia. Politisasi agama mengakibatkan perpecahan di masyarakat, yang mana hal ini tentu berseberangan dengan nilai ke-3 Pancasila. Maka persoalan ini diatur dan ditegaskan oleh Undang-Undang Nomor 7/2017 tentang larangan penggunaan SARA sebagai alat kampanye. Akan tetapi pada realitasnya, Undang-Undang ini belum memiliki konsekuensi hukum yang tegas untuk dijatuhkan pada pasangan calon. 

Maka Bawaslu diharapkan menindaklanjuti oknum-oknum yang masih menggunakan politisasi agama dalam kampanye. Sebagaimana yang disampaikan oleh Ramlan Surbakti "keadilan pemilu tidak didasarkan pada letersediaan kerangka hokum semata, melainkan juga kestaraan hak pilih, integritas badan pemungut suara, dan penyelesaian sengketa dan pelanggaran yang ada" (Harun, 2016)

Selain itu, melihat daya jual politik identitas dalam memperoleh dukungan suara tidak sebesar di tahun sebelumnya, alangkah baiknya jika capres mengusung strategi baru dalam kampanye. Yaitu mempromosikan kebijakan nasional yang berkaitan dengan perekonomian pembangunan, pengentasan korupsi dan payung hukum yang jelas. Didasarkan pada preferensi pemilih dalam menentukan pemimpinnya. Hal hal semacam ini tentu lebih diminati oleh seluruh lapisan masyarakat tanpa terkotak pada identitas tertentu. Mengingat kebutuhan ekonomi lebih mendesak dari pada perjuangan mendominasikan identitas tertentu.

Politik Identitas memang sebuah keniscayaan, tapi kembali lagi pada arah geraknya. Apakah bersifat mebangun atau malah merusak massa. Tergantung pada subjek dan objeknya. Diperlukan sikap kritis pemilih dan juga kemampuan pemimpin untuk menengahi konflik. Serta payung hukum yang kuat untuk mengontrol disintegrasi, maka dampak buruk dari adanya politik identitas akan terminimalisir. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun