"Sebentar ya Tante", pamitku padanya
"eh, iya, nggak papa"
"Halo?"
"Kok, lama diangkat, kamu lagi dimana?"
"Aku lagi disalon, ada apa sih, kok jutek gitu bahasanya?"
"Lagi kesel!"
"Kesel sama siapa?"
"Aku kesal melihat pemimpin-pemimpin munafik negeri ini"
"Kan udah jamannya sayang, kalo nggak munafik bukan pempimpin Indonesia namanya, kok sewot gitu sih, udah dong, negeri ini harus tenggelam dulu sedalam-dalamnya, terkubur, tertimbun sampai hancur, baru kemudian lahir Indonesia baru, kalo nggak itu jangan harap, korupsi seperti virus, tapi pembasmi virusnya juga virusan"
"Seharusnya semua anak-anak, entah dimana pun mereka berada, mau dikolong jembatan, di hutan pedalaman, atau di tanah-tanah tandus, mereka berhak dapat pendidikan yang layak, itu kalau negerinya mau maju"
"Seharusnya kan begitu sayang, kalo nggak mana mungkin aku suruh satu-satunya laki-laki yang cinta pergi kesana, mengajar mereka membaca, menulis dan mengajari mereka bicara dengan orang asing"