Di indonesia, gerakan melawan diskriminasi gender terus berkembang, salah satunya karena adanya rasa ketidakadilan yang dirasakan oleh perempuan. Menurut teori deprivasi relatif, perasaan kurangnya hak dan kesetaraan ini memotivasi mereka untuk memperjuangkan perubahan. Pertanyaannya: Apakah gerakan melawan diskriminasi gender di indonesia masih membawa harapan perubahan, atau malah dihadang oleh tantangan yang begitu kuat?
Budaya Patriarki dan Stigma Sosial
Indonesia masih sangat dipengaruhi oleh budaya patriarki yang membatasi ruang gerak perempuan. Pola pikir patriarkis ini menempatkan laki-laki sebagai pihak dominan, sedangkan perempuan sering kali dipandang negatif atau “tidak sesuai norma.” Bahkan, stigma terhadap isu-isu gender membuat korban kekerasan gender enggan melapor karena takut akan reaksi dari masyarakat.
Paham patriarki menjadi salah satu jawaban dari pertanyaan “Mengapa perempuan selalu dianaktirikan dalam berbagai persoalan?”. Perempuan menjadi makhluk yang tidak memiliki hak dan kekuasaan penuh atas dirinya sendiri. Hal ini disebabkan oleh ajaran budaya yang sudah mengakar dan melahirkan ketimpangan dalam kehidupan sosial bagi seorang perempuan. (Absalom, Kaka, & Tanhidy, 2022)
Hambatan Hukum dan Kurangnya Perlindungan
Hukum yang ada belum memberikan perlindungan maksimal bagi korban kekerasan gender. misalnya, RKUHP yang masih menuai kontroversi karena beberapa pasalnya dianggap berpotensi mengkriminalisasi orientasi seksual tertentu, serta mempersempit kebebasan individu. meskipun beberapa undang-undang sudah disahkan untuk melindungi perempuan dan anak, implementasinya seringkali lambat dan kurang efektif
Insiden pelecehan seksual terjadi di sekitar kita setiap hari. Minimnya sanksi tegas dari pihak berwenang menimbulkan keresahan pada masyarakat. Tingginya angka pelecehan seksual memang mengkhawatirkan dan meresahkan masyarakat, khususnya orang tua. Mereka merasa kurangnya perlindungan, terutama terhadap anak-anak. (Marwan, 2002)
Oleh karena itu, mengingat tingginya kasus kekerasan seksual dan ketidakpastian hukum di Indonesia mengenai kekerasan seksual, maka dipandang mendesak untuk membuat peraturan perundang-undangan yang mengatur lebih lanjut kekerasan seksual. Hal ini juga berkenaan dengan HAM yang ditegaskan dalam “Pasal 28 D ayat (1), bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, kepastian hukum yang adil, dan perlakuan yang sama di hadapan hukum”.
Meski saat ini belum ada peraturan khusus mengenai kekerasan seksual, namun pembentukan peraturan perundang-undangan terkait kekerasan seksual dinilai penting karena juga merupakan bentuk pemerintahan yang menjamin keamanan hukum yang adil bagi seluruh masyarakat Indonesia. (Paradiaz & Soponyono, 2022)
Kekuatan Media Sosial dan Solidaritas Publik
Konsep media sosial sebagai penggerak perubahan berangkat dari pandangan bahwa platform ini memiliki kapasitas signifikan untuk memengaruhi berbagai aspek budaya, politik, dan sosial secara mendasar. Media sosial memungkinkan individu untuk berdaya, menghubungkan orang-orang, menggerakkan aksi kolektif, dan mempertanyakan struktur kekuasaan yang ada.
Beberapa aspek yang memperkuat peran media sosial sebagai pendorong perubahan meliputi terbukanya komunikasi yang lebih demokratis, penguatan suara masyarakat, arus informasi yang lebih luas, pengorganisasian aksi bersama, diskusi terbuka, serta kebijakan media yang relevan. Pengaruh media sosial sebagai pemicu perubahan sangat bergantung pada konteks, dengan banyak faktor yang turut memengaruhinya, seperti keadaan sosial-politik, infrastruktur teknologi, dan cara masyarakat menggunakan media sosial. (Aqmarina & Vera, 2023)
Di era digital, gerakan sosial berbasis gender di Indonesia semakin kuat berkat media sosial. Berbagai kampanye seperti “#tolakruukuhp” atau “#justiceforaudrey” menunjukkan bagaimana masyarakat bisa bersatu melawan ketidakadilan. Kekuatan ini tidak hanya membantu korban memperoleh dukungan, tetapi juga menekan pemerintah untuk lebih peduli terhadap isu ini. Solidaritas publik juga menunjukkan bahwa semakin banyak masyarakat yang mendukung kesetaraan gender dan menentang diskriminasi.
Peran Generasi Muda dan Edukasi Kesadaran Gender
Generasi muda Indonesia kini lebih sadar akan isu kesetaraan gender dan berani mengungkapkannya. Banyak organisasi dan komunitas mahasiswa mulai membahas topik-topik tersebut dalam diskusi publik, sehingga pemahaman masyarakat tentang seksisme berkembang secara bertahap. Kemajuan di bidang pendidikan mungkin akan mengubah cara berpikir kita di masa depan.
Generasi muda Indonesia saat ini berperan penting dalam mengekspresikan dan mendorong kesadaran gender. Mereka lebih terbuka terhadap konsep kesetaraan dan inklusi gender, serta berani menantang norma-norma tradisional yang kerap mendiskriminasi kelompok tertentu.
Melalui ruang media sosial seperti Twitter, TikTok, dan Instagram, banyak di antara mereka yang aktif membahas isu gender, berbagi cerita, dan menyebarkan informasi mengenai hak-hak perempuan dan minoritas seksual. Gerakan-gerakan tersebut secara tidak langsung memberikan edukasi kepada masyarakat luas tentang pentingnya pemahaman kesetaraan gender dan memberikan dukungan psikologis kepada korban diskriminasi.
Mereka tidak hanya aktif di media sosial, tetapi juga terlibat langsung dalam kegiatan publik dan debat yang menarik perhatian publik terhadap isu-isu seperti kesetaraan gender, kekerasan berbasis gender, dan hak asasi manusia.
Komunitas mahasiswa dan organisasi kepemudaan sering mengadakan seminar, lokakarya, dan kampanye di kampus dan media sosial untuk meningkatkan pemahaman tentang pentingnya kesetaraan gender. Hal ini akan membantu mengurangi bias dan stereotip yang menghambat perubahan. Selain itu, gerakan pemuda ini diperkuat melalui kolaborasi dengan LSM yang berkecimpung di bidang isu gender.
Misalnya, kampanye komunitas remaja seperti Plan Indonesia dan SAPA dapat menjangkau lebih banyak generasi muda dengan pendekatan yang lebih inovatif dan mudah diakses. Mereka menggunakan media seperti infografis, video pendek, dan diskusi online untuk lebih memahami pesan kesetaraan gender dan menjadikannya lebih menarik bagi generasi muda.
Selain itu, generasi muda juga menunjukkan keberanian untuk mengadvokasi pembaruan aturan baik secara lokal maupun nasional. Mereka sering menggunakan petisi online, protes damai, dan kampanye digital untuk menekan pemerintah agar menangani isu kekerasan dan diskriminasi berbasis gender dengan lebih serius.
Misalnya, kampanye mahasiswa “Tolak RKUHP” mampu menyuarakan kritik terhadap pasal-pasal yang dianggap membatasi hak dan kebebasan individu terkait gender dan orientasi seksual. Langkah ini menunjukkan bahwa generasi muda memahami isu gender bukan sekedar tren, namun sebagai isu serius yang memerlukan perubahan nyata dalam kebijakan publik.
Meskipun gerakan melawan diskriminasi gender di indonesia dihadapkan pada banyak tantangan, media sosial menjadi alat yang kuat dalam mendorong perubahan. Peran generasi muda, solidaritas publik, dan kemajuan teknologi memberi harapan untuk membangun masa depan yang lebih inklusif dan setara. Pada akhirnya, apakah perjuangan ini akan menjadi harapan yang terealisasi atau tantangan yang masih panjang, sangat bergantung pada dukungan semua pihak dalam memperjuangkan keadilan bagi setiap individu di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H