Adakah para penghuni surga bermimpi? Ketika semua gelisah hilang dan semua keinginan tercapai, mimpi yang katanya kegelisahan dan keinginan yang terpendam, masihkah mimpi menjadi bunga tidur para penghuni surga? Jika ya, maka Tuhan belum menjamin semua keinginan penghuni surga terpenuhi. Jika para penghuni surga tak bermimpi, maka tempat itu bukan surga, karena bahkan mimpi yang gratis itu saja, surga tak punya.
Kolonel Ayala melompat turun dari helikopter yang belum menjejak bumi. Memberi tabik pada yang menyambutnya, langkah lebarnya membawa Ayala masuk ke gedung itu. Tidak langsung masuk ke bagian utama, melainkan ia memasuki kubah suci hama yang mana pakaian dan diri Ayala akan dibasuh oleh sinar ultraviolet. Ayala menanggalkan seluruh bajunya dan mengenakan kacamata pelindung. Terdengar desir halus yang menunjukkan bahwa pensucihamaan di kubah itu sedang berlangsung. Satu lapis terluar kulit mati meluruh. Bagian jaringan yang sudah mati, ia tak perlu khawatir akan membawa jasad renik itu bersamanya. Â Tapi kenangan, kenangan tak akan luluh hanya karena sinar ultraviolet. Jasad renik, atau apapun, selama itu adalah materi yang nampak di alat bantu penglihatan, adalah makhluk lemah dibandingkan kenangan.
Menuju ruang komando, Ayala seolah merasa perlu membetulkan kerah bajunya yang sudah rapih. Ada yang berbeda ketika ia menapaki lorong menuju ruang komando. Tabik yang diberikan kepadanya dari para perwira bukanlah tabik karena disiplin, lebih melainkan karena perasaan senang dan sedih yang tertahan sikap dan baju seragam.
Membuka pintu ruang komando, Ayala melihat semua awak ruang komando berdiri menghadap dirinya. Memberi tabik. Dan satu sosok yang menghadang dirinya menyalami Ayala dengan genggaman yang kuat.
"Bersih," bisik sosok itu. "Semua sudah bersih," ulang Jendral H sambil melepaskan masker. Ayala melihat monitor yang terpampang di dinding, semua titik jaga melaporkan hal yang sama. Tanda hijau bahwa daerah itu sudah bersih.
Mata Ayala berair. Ia melepas masker. Ia melepas tanda identitas pemegang komando dan menyimpannya di salah satu meja di dekatnya.
"Ijin untuk mengakhiri operasi ini Jendral," bisiknya. Tabiknya berbalas tabik yang khusyu dari seluruh yang ada di ruangan itu.
Untuk sejenak, tampaknya bahkan tak ada suara di permukaan planet ini. Bahkan Ayala tak mendengar suara sepatunya, suara kicauan elektronik, suara apapun, sampai ia tiba di ruangannya dan duduk. Seharusnya ia menangis, seharusnya ia bisa menangis, tapi tak ada air yang keluar dari matanya. Ayala melepas satu kancing atas bajunya dan bersandar.
"Harisa," bisiknya.
Anak itu sudah besar. Tiga gelar akademis tertinggi di universitas terbaik membuntuti nama anak itu. Tiga kali pula Ayala harus menyiapkan sepatah kata sebagai orang tua wisudawan terbaik. Dan kemudian ia bekerja di pusat penelitian dunia.
Menunggang angin, nanopartikel yang kini bernama partikel Harisa kini sedang menyapu planet. Menyudahi wabah ini. Lima tahun sudah jasad renik yang terkubur di kedalaman bumi ini terbangkitkan ketika salah satu mesin bor penambang minyak memecah meteor purba di perut planet, ketika mesin itu terangkat, maka jasad renik itu kontak dengan udara dan kembali bangkit. Jasad itu berada dalam keadaan mati suri entah berapa milyar tahun dan kini mereka bangkit, menganggap semua yang memiliki nafas adalah inangnya, manusia, ternak, hewan liar, hewan peliharaan, hewan terbang, melata, berenang, berkaki tak berkaki, bagi jasad renik itu semua sama, mereka hanyalah inang, wahana tempat jasad renik itu menumpang. Perkara sang inang bisa lanjut hidup atau mati, jasad renik itu tak terlalu peduli. Mereka bisa melompat ke inang yang lain dengan mudah.
Tak terlalu perduli dengan spesies maka wabah PanSpecio ini menjangkiti seluruh makhluk. Semua negara menerapkan darurat militer. Terisolasi dengan pemenuhan kebutuhan yang minimum saja. Gejalanya sama, makhluk yang terinfeksi tampak tak menunjukkan sakit, tetapi tiba-tiba kemudian mati tercekik. Tetiba saja jalan nafasnya kejang dan tak ada obat, terapi, atau bantuan alat medis yang cukup cepat untuk menangani. Sepertiga penghuni planet itu sudah musnah. Walau para pemuka agama menolak, tetapi membakar mayat yang terinfeksi kini menjadi pilihan tepat untuk benar-benar menjamin tak ada lagi penularan. Di samping itu, para pemuka agama pun sudah tak terlalu banyak di planet ini. Nyaris habis terkena wabah ini ketika mereka bercerita bahwa ini adalah murka tuhan.
Ayala sudah beberapa kali menjatuhkan bom panas di tempat dengan konsentrasi wabah tertinggi. Dengan harapan mengurangi penularan. Hanya mengurangi tapi jasad  renik itu belum mau punah. Sampai beberapa jam yang lalu Harisa, anaknya menelepon.
"Ayah, kita harus cepat." Suara Harisa terdengar lain. Seperti bukan suara Harisa. Ayala baru sadar, karena kesibukannya dan juga kesibukan Harisa di pusat penelitian, sudah hampir tiga bulan mereka tak saling berkabar.
Cepat yang diinginkan Harisa adalah kecepatan di luar batas manusia. Cepat sebelum siklon Fatima datang. Siklon Fatima adalah siklon sejuta tahun sekali. Siklon itu bukanlah badai meluluhlantakan bangunan, melainkan badai halus yang menyapu seluruh planet. Lembah, ngarai, jurang, gunung menjulang, laut yang luas, semua akan tersapu siklon Fatima. Tak banyak kerusakan yang ditimbulkan siklon ini. Hanya sedikit gemerisik gangguan sinyal satelit, mungkin makhluk yang lupa mengenakan pelindung mata dan wajah akan mengalami kelilipan dan kulit kering. Hanya itu. Tak seorang pun di planet mengingat siklon ini padahal kitab-kitab menuliskannya, lembaga arkeologis mencatatnya, lembaga prakiraan cuaca memiliki catatan lengkap tanda siklon itu. Semua melupakan kejadian di luar wabah.
Semua seolah terfokus pada kata wabah. Wabah. Wabah. Mati.
Di komplek penelitian tempat Harisa bekerja, tim Harisa sudah berhasil membuat nanopartikel yang diharapkan bisa memerangi jasad renik itu. Tinggal memikirkan bagaimana menyebarkannya secara cepat ke seluruh planet. Cepat secepat-cepatnya mengingat sumber daya penunjang kehidupan manusia di tiap negara sudah habis. Hampir semua negara sudah bangkrut.
"Jatuhkan bom pada pukul sekian sekian di koordinat ini, ayah," begitu kata Harisa di telepon. Ia sudah memperkirakan bahwa kalau bom dijatuhkan, nanopartikel itu akan mengambang di udara bersama dengan udara yang terhempas bom, selanjutkanya mereka akan menunggang siklon Fatima mengelilingi planet, bertarung dengan jasad renik itu.
Di laboratorium, nanopartikel itu mampu melumpuhkan jasad renik hanya dalam hitungan jam. Orang atau makhluk yang kontak dengan nanopartikel itu tidak akan merasakan efek apapun. Begitu cerita Harisa.
"Itu kompleks penelitianmu. Aku akan menyuruh Letnan Diaz mengevakuasi tim mu terlebih dahulu sebelum aku menjatuhkan bom."
"Tak perlu, ayah," kata Harisa. "Kami semua di sini sudah terinfeksi."
Ayala sudah pernah mengalami perang tapi belum pernah ia harus memilih seperti ini, yang ia lakukan tanpa keraguan: "Kalau begitu, suntikkan nanopartikel itu pada dirimu dan timmu dulu. Peduli setan dengan dunia."
Setelah itu tak ada jawaban.
"Harisa," panggil Ayala.
"Harisa Ayala," ia memanggil kembali.
Gemerisik sinyal terdengar di telepon genggam Ayala, sesaat kemudian sosok Harisa muncul di layar telepon Ayala. Tetapi ada yang salah dengan gambar itu. Terlalu elektrik. Terlalu transparan.
"Aku hologram yang deprogram Harisa. Terbangkit secara otomatis ketika denyut jantung Harisa berhenti. Jasad renik itu menginfeksi seluruh peneliti beberapa saat sebelum nanopartikel itu selesai dibuat. Waktu inkubasi sudah terlewati dan semua mati. Tetapi nanopartikel dalam jumlah yang cukup untuk disebarkan ke seluruh planet kini sudah selesai dibuat. Harisa memprogramku untuk menyelesaikan pembuatan nanopartikel itu. Ayah Harisa, kau harus meledakkan gudang penyimpanan nanopartikel supaya nanopartikel itu bisa terbawa siklon Fatima. Tak ada waktu lagi. Atau kita harus menunggu sejuta tahun lagi."
Teleponnya mati. Sepersekian detik kemudian Letnan Diaz seperti mendobrak pintu saja.
"Kolonel," katanya, dengan wajah sepucat mayat .
"Siapkan helikopter, Letnan, kau tahu bom apa yang harus kita bawa. Lengkapi. Aku menunggang helikopter bersamamu."
Letnan Diaz masih terdiam.
"Itu perintah, Letnan," bentak Ayala.
Helikopter mengudara sementara tampak siklon Fatima mulai bangkit ditandai dengan gangguan sinyal radio, helikopter Ayala dan Diaz bergegas ke fasilitas penelitian tempat Harisa. Penembak mengkonfirmasi target untuk menjatuhkan bom dan kemudian mereka menunggu persetujuan Ayala.
      "Tembakkan," bisik Ayala.
      Tergugah dari lamunannya karena ketukan di pintu, Ayala menengok ke arah pintu dan melihat kepala Diaz muncul sambil bertabik.
      "Masuk," kata Ayala sambil bangkit dari duduk. Ia mengurai selendang halus yang ia kenakan dari tadi lalu menyampirkannya ke leher Diaz.
      "Harisa pasti ingin kau memiliki ini," katanya pada orang yang nyaris jadi menantunya. Ia menepuk pipi Diaz dan mengeluarkan dua batang rokok tanpa jenama karena ia melintingnya sendiri. Sejenak Diaz ragu untuk menerima pemberian orang yang nyaris jadi ayah mertuanya itu. Perlahan ia mencopot maskernya dan menghunus rokok itu di mulutnya.
      Ayala mengeluarkan pemantik, menyalakan rokok Diaz dan miliknya.
      "Kunci pintunya, Letnan," bisiknya sambil membuka jendela lebar-lebar.
      Lintingan khusus berisi rajangan daun ganja hitam yang sulit didapat, Ayala dan Diaz sampai membuat misi abal-abal untuk mengambilnya. Konon siapapun yang mengisap rokok yang terbuat dari rajangan daun ganja hitam, bisa bertemu dengan orang yang mereka kasihi yang sudah mendahului mereka, asal orang itu masuk surga, bukan ruangan di sebelahnya. Mereka bisa bertemu sampai asap rokok itu habis dan mereka kembali menapak bumi kembali. Yakin bahwa orang yang akan mereka sebut berada di surga, Diaz dan Ayala memejamkan mata. Diaz membisikan nama Harisa Ayala dan Ayala membisikan nama ibu Harisa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H