"Mmm..."
"Kalau dia tampan, rupawan, oke secara fisik, anggap saja bonus."
"Mmm..."
"Mmm, apa?" kataku balik bertanya.
"Yang ini... Handsome pisan, tajir, keluarganya terpandang, well educated tapi beda visi. Mmm, beda iman tapi katanya bersedia pindah jika menikah denganku."
Aku diam sejenak. "Alhamdulillah jika demikian adanya, berganti iman tapi kalau bisa dia melakukan hal tersebut bukan supaya bisa menikahimu tapi karena dia memang demi Alloh." kataku mendadak bijak.
"Adalagi, dia muslim, pengusaha sukses di bidang start up, nice looking, insya Allah soleh, tapi pendidikannya di bawahku. Adalagi, ini pandai mengaji, seorang penghafal Quran, seiman, dan tar katanya mas kawinnya adalah salah satu Surah dalam Al-Quran. Adalagi..."
Aku tersenyum. "Wew, alhamdulillah, banyak banget pilihannya. Ya sudah, istikarah dan lakukan amalan wajib dan sunah. Jangan lupa, diskusikan dengan kedua orangtuamu."
"Lah, Mbak, kedua orang tuaku sudah meninggal. Makanya, aku berkonsultasi dengan Mbak D."
Aku menepuk jidatku. "Duh, maaf, lupa. Innalillahi. Semoga keduanya husnul khotimah. Saudara lain, bagaimana? Kakak? Adik? Tante? Om? Sepupu? Dan sebagainya?"
Liliana termenung. "Ada, Mbak D tapi mereka memasrahkan semua keputusan kepadaku karena katanya aku yang akan menjalani semuanya tapi saran mereka sama seperti Mbak D, kalau bisa seiman. Selain itu soleh dan memiliki penghasilan tak hanya memiliki pekerjaan."