Aku menjentikan jemari tanganku.
Fufu meleletkan lidahnya. "Yang pasti bukan memilihmu, D. Repot kalau harus memilihmu. Repot selalu dibayang-bayangoi oleh Al. Repot harus menculikmu dari Lilo. Belum lagi, para penjagamu itu, Liam dan entah siapa lagi."
Aku nyengir. "Ya, sudah, pilih Fudi saja. Ingat, hidup hanya sekali. Jangan salah langkah. Hal ini bukan semata hak asasi tapi juga mengenai arti hidup di dunia yang sesungguhnya. Akan tetapi, sekali lagi, ini adalah hidup dan matimu. Jadi, gue serahkan keputusan ditanganmu."
"Menurutmu, manakah yang lebih seksi di antara pilihan berikut, mmm.... hujan, senja, matahari..."
Aku menepuk jidat. "Jangan mengalihkan pembicaraan, Fu."
Fufu tersenyum. Pria tampan dengan aroma musk di tubuhnya itu beranjak dari kursi. Dengan cepat, dia mengolah dua butir telur ayam dan teman-temannya menjadi omelet kece. Omelet itu dibelahnya menjadi dua. Setengah untuknya dan setengah untukku. Jika sudah begini, wanita mana yang tidak meleleh hatinya. Ah, sayang, Fufu tidak tertarik denganku.
Kami pun terdiam. Terdiam sembari menyantap omelet.
Kembali, Fufu membuatku tersanjung. Pria bermata indah itu menuangkan teh ke dalam cangkirku yang telah kosong. Ah, entah mengapa, setiap gerakannya itu memang senantiasa membuatku tersanjung.
Fufu terkikik geli. "Lu kenapa sih, D? Aneh betul, kayak salah tingkah. Biasa ajalah, jangan baper. Kebiasaan, Lu."
Aku tersenyum lebar. "Lu seksi, Fu. Pantas saja baik Fudi maupun Fuli terpesona ama Elu. Elu melakukan semuanya dari hati dan itu berasa banget di gue."
"Lebai, Lu." ucap Fufu geli. "Oia, gimana disertasi Lu, D?" tanya Fufu serius.