Mohon tunggu...
Dina Purnama Sari
Dina Purnama Sari Mohon Tunggu... Dosen -

There is something about Dina... The lovely one...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bersetubuh di Udara

24 Mei 2012   15:03 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:51 12284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam Jumat yang indah....

Kebetulan, hari ini, tidak terlalu banyak pekerjaan di kampus sehingga tubuhku masih mampu menerima kedatangan seorang sahabat lama, Nilam, di beranda rumah.

Kusodorkan secangkir kopi cappucino hangat untuknya. Lalu, kusodorkan beraneka cemilan, seperti beberapa bungkus kripik singkong pedas, sepiring combro, sepiring talam ubi, dan sepiring bolu tape yang sudah diiris tipis. Tak lupa, segelas air putih disertai dengan botolnya.

"Terima kasih Ms D karena bersedia menerima kedatanganku." Ucap Nilam sembari menyomot sebuah combro.

Aku tersenyum.

"Maknyus."

Aku menatap Nilam dalam dan pekat. "Jadi, mau curcol apa, Lam?"

Nilam menghabiskan combronya dengan tergesa. Kemudian, dia mengelap bibirnya yang basah oleh minyak combro dengan tissu.

"Aku sudah melakukannya, D."

Aku menatap Nilam perlahan. Kuteguk cappucino latte. "Maksudnya?"

"Aku sudah melakukannya, D." Ulangnya lagi.

"Iya, melakukan apa?"

"Bercinta. Bercinta dengannya. Mmm, bersetubuh.... Bersetubuh dengannya...."

Uhuk. Aku tersedak. Cappucino Latte yang kuteguk kedua kalinya gagal masuk ke dalam tenggorokanku.

Kutaruh cangkir cappucino latte di atas meja. Hilang sudah nafsuku ber-cappucino latte ria.

"Kami sudah melakukannya. Kami melakukannya atas dasar suka sama suka, bersetubuh di udara."

"Maksudnya apa?" tanyaku gusar karena belum memahami kalimat 'bersetubuh di udara' yang diucapkan Nilam beberapa kali.

"Ya, bersetubuh. Melakukan hal itu.... Mmm...."

"Sex education?" tanyaku lugu.

"Ya, tak sekadar itu...."

"Maksudmu, making love?"

Nilam mengangguk mantap. Aku menepuk jidatku. Lalu tersenyum prihatin. "Coba jelaskan kepadaku lebih lanjut mengenai hal itu. Jangan bertele-tele."

"Dulu, pernah ada istilah telepon asmara.... Nah, mungkin, kira-kira hal itulah yang kami lakukan.... Kami berbicara banyak hal dengan disertai bantuan alat, mmm, alat sederhana, ya sebut saja alat yang memudahkan proses persetubuhan antara lelaki dan perempuan.... Apakah perlu kusebutkan bendanya, D?"

Aku menepuk jidat lagi. "Ya ampun," Aku geleng-geleng kepala. Refleks, kuucapkan,"Astagfirullah."

"Bendanya itu...."

"Stop! Tak usah kau sebutkan apa saja benda-benda tersebut. Lanjutkan kisahmu saja." Kataku memotong penjelasan Nilam dengan cepat.

"Sebetulnya, dia sudah lama menginginkan hal itu.... Bersetubuh denganku.... Dia bilang kalau aku bodoh dan perempuan yang tak punya logika berpikir, kecuali satu hal, yaitu membahas mengenai sex education. Hal itulah yang membuat dia betah berbincang lama denganku via telepon. Dia tak nyaman dengan hal-hal lain kepada diriku, kecuali hal itu."

"Oke, aku paham. Lalu?"

"Mmm, lalu, aku pun memutuskan untuk mencobanya.... Mencoba untuk melakukan hal itu, bersetubuh dengannya di udara via telepon."

"Rasanya bagaimana?" tanyaku sembari menuangkan air putih ke dalam gelas.

"Ya, begitulah. Ada sensasi tertentu yang kurasakan. Selama satu jam kami melakukan hal itu...."

Kutehuk air hingga tandas. Lalu, kukerucutkan bibir.

"Jangan salah sangka dulu, D. Aku masih perawan hingga saat ini. Sumpah. Lagipula, itu hanya bohongan, bersetubuh di udara...." Nilam menerawang.

Aku meneloyor kening Nilam. Nilam pun cengar-cengir menyebalkan.

"Kau.... Mmm, orgasme?"

Nilam tersenyum penuh arti.

"Mmm, mandi besarkah?"

Nilam tersenyum lagi.

Aku menatap talam ubi dan dengan cergas kuhabiskan enam buah talam ubi. Entah mengapa, ingin rasanya kubumihanguskan lelaki yang berani 'menyetubuhi' Nilam di udara. Biar bagaimanapun, Nilam adalah salah seorang sahabat lamaku sejak TK.  Rasanya, aku tak rela jika 'kegadisan' Nilam hilang oleh pria yang tak tahu diri.

Aku meruntuk di dalam hati. Sepiring talam ubi habis tak tersisa. Kemudian, dua bungkus keripik singkong pedas pun kuhabiskan hanya dalam beberapa menit. Jika sudah begini, siapakah yang harus disalahkan? Keduanya telah dewasa. Ah, aku menahan nafas. Kuteguk air putih untuk meredakan kegelisahanku. Gelisah karena merasa gagal sebagai seorang sahabat.

Aku diam beberapa menit. Hadeuh, mengapa aku menjadi emosi? Nilam sudah dewasa, yakinku di dalam hati. Sebagai perempuan dewasa, dia mampu memilih plus memilah mengenai hal-hal apa saja yang baik dan buruk baginya.

Nilam memperhatikanku prihatin. "Kau mau merasakannya juga, D?"

Aku meleletkan lidah. "Kacrut! Pertanyaan yang bodoh."

"Tapi, aku sadar kalau perbuatanku itu salah. Kami hanya melakukan itu sebanyak tiga kali. Setelah itu, beberapa kali dia mengajakku melakukannya lagi dan kutolak langsung. Imbasnya, dia tak pernah menghubungiku lagi. Aku sedih, D. Sejujurnya, dia lelaki pintar dan baik hati."

"Pintar dan baik hati?" ledekku sebal.

"Iya, susah D untuk mendefinisikannya secara detail. Dia itu lelaki yang penuh logika. Dia bilang tak mau menikahiku karena hanya cocok di satu segi, yaitu membahas hal itu. Dia mengaku memiliki banyak teman perempuan dan hanya kepadaku terbuka mengenai hal itu, sex education."

"Kalian pernah bertemu langsung?"

Nilam menggeleng.

"Mengapa?"

"Dia tak nyaman bertemu denganku. Dia bilang jika sudah nyaman dengan segala segi, maka akan bertemu denganku."

"Aneh. Dia mau menikahimu?"

Nilam menggeleng.

"Kau mencintainya, Lam?"

Nilam tersenyum penuh arti.

"Kau mau menikah dengannya?"

Nilam menggangguk mantap.

Sekali lagi, aku menepuk jidatku. Kemudian, embusan napasku pun terdengar olehku sendiri.

"Menurutmu bagaimana, D?"

Aku masam-mesem. "Bingung. Terserah kaulah."

"Ms D.... Aku salah, ya? Aku sudah sujud ampun kepada-Nya dan hal lainnya namun sekarang aku kangen kepadanya, D. Bagaimana ini D?"

"Kau kenal dia dimana?"

"Di BB. Kami bergabung di sebuah grup di BB."

"Mmmm, nama lelaki itu siapa?"

"Al...." Bla. Bla. Bla.

Aku terkesiap dan kepalaku terasa berat. Ah, lelaki itu lagi....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun