Mohon tunggu...
Dina Purnama
Dina Purnama Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seseorang yang hobi membaca, menulis dan bermain dengaan hewan peliharaan agar hidup lebih berwarna dan sederhana

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Menuntaskan Ancaman Konflik di Laut China Selatan dengan Dialog Damai

30 April 2024   21:11 Diperbarui: 30 April 2024   21:20 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(AP via VOA Indonesia)

MEDAN,- Sengketa wilayah di Laut China Selatan (LSC) masih menjadi pembahasan serius negara-negara ASEAN, khususnya bagi negara klaimen.

 Mereka yang terlibat langsung dalam sengketa ini diantaranya Brunei Darussalam, Vietnam, Filipina, Singapura, Malaysia dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT). 

Kisruh pengklaiman LCS ini berangkat dari klaim sepihak yang dilakukan oleh China sejak tahun 1970-an. 

Negara Tirai Bambu itu mengklaim menjadi pemilik sah LCS berdasarkan peta yang diterbitkan pada tahun 1947 setelah Perang Dunia II.

Karena klaim sepihak itu pula, negara-negara lain yang merasa memiliki wilayah, khususnya Filipina kemudian mengajukan gugatan ke Mahkamah Arbitrase Internasional atau Permanent Court of Arbitration (PCA) di Den Haag, Belanda pada 12 Juli 2016.

PCA kemudian mengeluarkan putusan bahwa, klaim Nine Dash Line atau sembilan garis putus-putus tentang teritori LCS versi RRT tersebut tidak memiliki landasan hukum internasional. 

Dan fitur-fitur maritim atau pulau buatan RRT di LCS tidak berhak atas wilayah teritorial 12 mil dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) 200 mil. 

PCA menilai, hal tersebut tidak memenuhi prasyarat yang tertuang dalam UNLCOS (United Nations Convention on the Law of the Sea) 1982.

Adapun UNLCOS 1982 merupakan hukum laut internasional yang diterapkan oleh negara-negara di dunia.

UNCLOS adalah hasil perjuangan negara-negara yang memiliki laut untuk memperluas kewenangan atas wilayah laut yang dimiliki oleh tiap-tiap negara. 

Sayangnya, meski PCA sudah menerbitkan putusan, tapi RRT menolak putusan tersebut. RRT berargumen, bahwa putusan PCA melanggar UNCLOS 1982. RRT beranggapan, bahwa putusan PCA itu melanggar hak berdaulat China di LCS. 

Karena penolakan RRT ini pula, sengketa wilayah LCS belum menemui titik terang.

Bahkan, beberapa insiden kerap terjadi di wilayah LCS. Kapal-kapal milik China kerap melakukan provokasi terhadap kapal negara klaimen lainnya, seperti kapal Filipina. 

Baru-baru ini, kapal China diduga dengan sengaja menabrak kapal Filipina yang tengah mengisi bahan bakar di Second Thomas Shoal, Kepulauan Spratly, di mana kedua negara memiliki klaim maritim yang diperebutkan. 

Saat insiden terjadi, kapal China dituding dengan sengaja menembakkan meriam air, hingga melakukan manuver berbahaya di wilayah yang disengketakan. 

Karena insiden ini pula, Filipina melaporkan bahwa ada empat awak kapal yang terluka.

Meski Indonesia bukanlah bagian dari negara klaimen, tapi pemerintah sebagai Ketua ASEAN merasa wajib untuk menengahi masalah ini. 

Apalagi Laut Natuna Utara bersinggungan langsung dengan wilayah LCS. 

Jika Indonesia tidak turun tangan, bukan tidak mungkin masalah ini akan berdampak pada kedaulatan Indonesia, khususnya menyangkut keamanan wilayah laut milik NKRI. 

Tercatat, beberapa kali China memasuki wilayah perairan Indonesia di wilayah Laut Natuna Utara. 

Alasan kehadiran kapal coast guard China itu karena mereka melakukan patroli di wilayah Nine Dash Line yang mereka klaim hingga saat ini.

Karena hal itu pula, tindakan tersebut tidak dapat dibenarkan. 

Sebab, Indonesia juga memiliki kedaulatan atas wilayah lautnya sendiri, khususnya di Laut Natuna Utara.

Untuk itu, Indonesia kemudian aktif melakukan serangkaian langkah, termasuk menyusun dokumen code of conduct (COC) antarnegara ASEAN dan RRT. 

Menurut Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Indonesia, Hadi Tjahjanto, penyusunan COC ini sangat penting dalam mengelola tata prilaku setiap negara klaimen di LCS.  

Tujuannya guna menghindari terjadinya insiden dan sekaligus mengelola insiden apabila terjadi.

"Proses perundingan COC melalui forum ASEAN China Joint Working Group berjalan lambat. Atas insiatif dan dorongan Indonesia sebagai Ketua ASEAN tahun 2023 lalu, ASEAN dan RRT berhasil menyepakati percepatan perundingan COC. Kita menargetkan COC dapat difinalisasi dalam kurun waktu tiga tahun, yaitu pada tahun 2025," kata Hadi, dalam webinar yang diselenggarakan Indonesia Strategic and Defence Studies (ISDS), Selasa, 19 Maret 2024 kemarin.

Hadi menerangkan, Indonesia berharap COC ini dapat menjadi sebuah dokumen yang efektif, substantif, dan aksionable untuk menghindari eskalasi dan sekaligus meningkatkan mutual trust dan mutual confident diantara negara-negara yang berkepentingan di LCS. 

Forum perundingan ASEAN China Joint Working Group on COC juga telah terbukti menjadi saluran komunikasi yang efektif untuk membahas situasi dan insiden terkini yang terjadi di LCS. 

Mantan Panglima TNI itu mengatakan, bahwa negara-negara di ASEAN tersebut kini dapat menyampaikan langsung protes, sanggahan, dan konfirmasi atas insiden-insiden yang terjadi di wilayah LCS. 

Atas insiatif Indonesia pada tahun 2019, ASEAN berhasil menyepakati ASEAN Outlook on the Indo-Pacific (AOIP).

"AOIP menjunjung prinsip netralitas ASEAN serta bersifat inklusif dengan merangkul seluruh negara major power termasuk Amerika Serikat dan RRT. Kedepan AOIP diharapkan dapat menjadi building blog arsitektur keamanan regional yang mampu menjaga perdamaian, stabilitas dan keamanan ASEAN di Indo Pacific," kata Hadi. 

Ia menegaskan, bahwa Indonesia saat ini mengedepankan pengelolaan konflik LCS dengan dialog damai. 

Hal ini terbukti efektif dalam menekan eskalasi dan ketegangan yang terjadi di wilayah sengketa tersebut.

Diplomasi Sipil

Sejalan dengan dialog damai yang dikemukakan Menkopolhukam, Kepala Badan Keamanan Laut (Bakamla) RI, Laksdya TNI Irvansyah mengatakan, bahwa penyelesaian konflik di wilayah LCS bisa dikelola dengan cara diplomasi sipil. 

Bakamla, kata dia, berpandangan bahwa perangkat militer tidak melulu harus dikedepankan untuk menangani konflik yang terjadi. Bakamla menilai, kemunculan TNI dalam penyelesaian konflik justru bisa meningkatkan eskalasi dan ketegangan antarpihak yang bersengketa. 

Irvan mengatakan, ada baiknya kekuatan sipil dihimpun untuk mengelola masalah yang terjadi. 

Misalnya dengan cara berkomunikasi antar coast guard masing-masing negara yang berkepentingan.

"Kami berpandangan, bahwa untuk meredakan ketegangan di Laut China Selatan itu, apabila yang dimajukan militer, itu tensinya cenderung baik. Tetapi kami sebagai Bakamla, sebagai coast guard di ASEAN ini perlu diperkuat dan dipererat kerja sama nya, sehingga bisa menjaga tertib sipil," kata Irvan. 

Ia menjelaskan, pertemuan antar coast guard bisa berlangsung cair dan fleksibel. Beberapa pertemuan antara coast guard dari negara-negara klaimen justru menghadirkan diskusi-diskusi yang apik dalam memandang konflik di LCS.

"Kalau mungkin teman-teman TNI itu jika ada pertemuan, kan, kesannya jago-jagoan. Tapi beda banget dengan coast guard. Terakhir kali kami bertemu di Jepang kayak keluarga. Lebih fleksibel, lebih soft dan lebih dingin," kata Irvansyah.

Maka dari itu, lanjut Irvan, penting bagi pemerintah untuk memperhitungkan diplomasi sipil di kalangan coast guard. 

Tujuannya, selain meredakan tensi antarnegara klaimen, juga mempererat komunikasi dan hubungan internasional antarnegara. Apalagi Indonesia sendiri menganut paham politik bebas aktif. 

Dimana Indonesia tidak memihak kepada salah satu negara demi tercapainya tatanan dunia yang lebih baik.

"Dalam waktu damai coast guard bisa dimajukan, dibackup TNI Angkatan Laut di Laut Natuna Utara," terang Irvan. 

Seperti China, kata dia, mereka mengerahkan kapal-kapal sipilnya di wilayah LCS. 

Menurut Irvan, langkah seperti ini juga patut dilakukan oleh Indonesia. 

Kehadiran kapal sipil bisa menunjukkan eksistensi Indonesia di wilayah LCS.

 Untuk itu, pemerintah pun harus memberikan dukungan kepada kapal sipil, khususnya para nelayan agar bisa melakukan aktivitas pencarian ikan di wilayah Laut Natuna Utara. 

Selama ini, kata Irvan, nelayan yang beraktivitas di Laut Natuna Utara belum mendapatkan sokongan dari negara.

"Mungkin kapal-kapal kita bisa dikerahkan. Dulu pernah ada ide kapal ikan untuk okupansi di Natuna Utara. Cuma nampaknya itu, nelayan disuruh berangkat kesana dengan biaya sendiri, bahan bakar sendiri, sementara hasil ikannya tidak memadai, sehingga mereka tidak bertahan lama untuk hadir di sana," terang Irvan. 

Ia berharap, ada kebijakan lebih lanjut mengenai masalah ini. 

Dan tentunya, Indonesia harus mengedepankan jalur diplomasi dan dialog damai dalam mengelola sengketa di wilayah LCS.

Perkuat Pertahanan Militer

Terlepas dari dorongan untuk menguatkan dialog damai dan diplomasi sipil itu, Indonesia juga harus memperkuat pertahanan militernya. 

Hal ini penting dilakukan guna mengantisipasi berbagai kemungkinan terhadap gangguan yang bisa saja timbul di wilayah LCS, khususnya di kawasan Laut Natuna Utara. 

Beberapa waktu lalu, Menteri Pertahanan Indonesia, Prabowo Subianto pernah menyampaikan niatnya untuk membangun pangkalan militer dan pangkalan udara di Natuna. 

Ide calon Presiden RI terpilih ini penting diwujudkan dalam menjaga kedaulatan Indonesia. 

Adanya peran militer dalam situasi damai seperti sekarang ini, penting untuk memantau berbagai pergerakan di wilayah Laut Natuna Utara.

Sehingga, ketika terjadi ketegangan ataupun gangguan yang sifatnya membahayakan kedaulatan Indonesia, maka militer bisa bergerak cepat mengambil langkah dan tindakan, yang tentu saja sudah dipertimbangkan dengan matang. 

Menurut Duta Besar RI di Filipina, Letnan Jenderal TNI (Purn) Agus Widjojo, bahwa penanganan konflik di LCS ini tidak serta merta bisa dituntaskan dalam waktu singkat. 

Agus bilang, bahwa penanganan konflik di LCS membutuhkan proses yang cukup panjang. 

Indonesia harus piawai dalam melakukan negosiasi dan dialog kepada negara-negara yang berkepentingan. 

Sebab, seperti dengan Filipina, Indonesia memiliki hubungan yang baik. 

Begitu juga dengan negara klaimen lainnya.

"Sebetulnya peningkatan eskalasi penyelesaian dari ketegangan menjadi konflik itu tidak menguntungkan siapapun. Nikmati saja negosiasi itu, sampai kesepakatan itu tercapai. Diplomasi akan menjadi ujung tombak dari upaya penyelesaian ini melalui national diplomacy power," pesan Agus. 

Harapannya, konflik yang terjadi di LCS ini bisa tuntas, dan tentunya tidak mengganggu kedaulatan Indonesia.(dina)

#kedaulatanIndonesia #jagaNatuna #lombaISDS

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun