Mohon tunggu...
Dina Pertiwi
Dina Pertiwi Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswi/Penulis Konten

Pecinta buku, sastra, dan kutipan indah.

Selanjutnya

Tutup

Love

Laki-laki Seperti Itu Masih Ada

18 Mei 2022   14:26 Diperbarui: 18 Mei 2022   15:09 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pernahkah kamu membaca A Man Called Ove atau menonton film Up?

Saya tidak yakin dengan pilihan yang pertama, tetapi saya yakin Anda mengenal Carl Fredricksen yang memulai petualangan dengan rumah balon.

Dia ingin pergi ke Paradise Falls. Melaksanakan cita masa kecil sekaligus keinginan terbesar istrinya, Ellie, yang telah berpulang. Film ini berulang kali ditayangkan RCTI dan Global TV, sehingga jalan ceritanya tentu tidak asing.

Meskipun memiliki alur yang berbeda, A Man Called Ove juga mengisahkan tentang seorang pria tua bernama Ove yang telah ditinggal mati istrinya (Sonja) dan memiliki sikap menyebalkan.

Banyak orang yang tidak senang dengan kekolotan dan kecerewetan Ove. Tetapi tidak ada yang tidak menitikan air mata ketika dia meninggal.

Alur berbeda, media bercerita yang berbeda, tetapi kedua lelaki tua ini memiliki persamaan: mereka mencintai istrinya hingga bisa melakukan apapun demi wanita beruntung itu.

Fredricksen melakukan perjalanan ke Paradise Falls agar menuntaskan petualangan istrinya. Ove melakukan apa saja agar Sonja bahagia di masa tuanya.

Awalnya, saya berpikir bahwa buku dan film itu agak berlebihan.

I mean ..., di masa sekarang, banyak sekali laki yang justru lari dari istrinya. Mencari kesenangan baru di luar sana seorang diri. Jujur, saya skeptis melihat lelaki. Ketika seorang lelaki jatuh cinta, sampai kapan rasa itu betah dalam hatinya hingga dia meninggalkan perempuan itu. Setahun? Tiga bulan? Empat belas tahun?

Cerita mereka berubah. Bahkan, jika mereka telah saling mengenal hingga 30 tahun, siapa yang akan menjamin cinta lelaki tetap sama? Tapi, anggapan saya agak tergoyah sekarang, meskipun belum sepenuhnya.

Pada tahun 2020 kemarin, dalam sebulan, saya telah 2 kali ke rumah sakit. Menjaga kakak yang diopname karena asam lambung. Dan pada kedua acara menginap di rumah sakit itu, saya berjumpa dengan kedua lelaki tua yang hebat. Kedua lelaki yang benar bisa menggambarkan Ove dan Carl Fredricksen.

Lelaki tua pertama adalah lelaki berambut putih dan berkacamata.

Cerita Lelaki Pertama

Pertama kali ketemu, dia pakai baju safari hijau keabuan. Saya gatau itu warna baju itu warna apa, kayak campuran hijau dan abu. Waktu itu ruang rawat kakak saya ada di kelas tiga, sementara si Kakek di kelas dua.

Besoknya, saya dan Kakak memutuskan untuk pindah ke kelas dua karena beberapa hal yang tidak elok untuk di ceritakan. Ternyata, ruangan kami sebelahan dengan ruangan si Kakek.

Usut punya usut, ternyata Kakek menjaga istrinya yang sedang sakit keras. Darah tinggi, diabetes, kolesterol, dan beberapa penyakit lain. Tidak, saya tidak pernah bercakap dengannya. Saya bukan tipe orang sehangat itu, saya hanya suka memperhatikan.

Saya tau tentang keadaan istri Kakek dari perawat yang senang bercerita dengan kami. Pada hari ke pindahan, si Kakek tertidur di salah satu ranjang yang kosong. Masih memakai baju safari yang ia pakai kemarin.

Awalnya, saya tidak menaruh atensi berlebih kepada si Kakek dan Istrinya. Tapi, malam ketika tidur, saya terbangun oleh suara nyaring yang memanggil. Saya kira, saya salah dengar. Malam ada suara nyaring?

Suara itu semakin kuat dan membuat saya terbangun.

Ternyata si Nenek memanggil si Kakek, dengan nada yang tidak sabar. Si Kakek masih tidur. Beberapa panggilan lagi, baru si Kakek bangun dan tergopoh menghampiri istrinya. Bertanya dengan bisikan, apa yang dibutuhkan istrinya.

***

Jujur, awalnya saya bingung. Kenapa butuh waktu sedemikian lama sampai Kakek terbangun? Padahal satu ruangan sudah mengintip dari bilik masing mendengar panggilan Nenek? Dan jawabannya saya dapat keesokan harinya. Ketika perawat memberikan injeksi obat ke Kakak.

"Kakek itu sudah agak tuli, jadi pendengarannya kurang."

Saya dan Kakak mengangguk. Di sebelah, si Kakek sedang membantu Nenek ganti baju. Kami dengar bagaimana keduanya berdebat kecil.

"Si Nenek gampang marah. Darah tinggian," sambung Kakak Perawat. Kemudian Kakak saya menanyakan hal lain kepadanya.

"Kakek enggak mandi sejak sampai di sini. Dia takut Nenek enggak dengar waktu manggil dia. Jadinya dia dideket Nenek terus."

"Anaknya?"

Perawat tersenyum lemah. "Anak mereka cuma satu. Ikut suaminya ke daerah T. Enggak bisa pulang karena wabah."

***

Besoknya, keadaan nenek semakin mengkhawatirkan. Ketika kami mau pulang, Nenek membutuhkan donor darah.

"A."

Golongan darah si Kakek bukan A.

"Keluarga yang lain?"

"Enggak tau," jawab si Kakek. Tampangnya tampak lelah sekaligus bingung.

"Coba ditelepon, Kek."

Kakek meninggalkan meja perawat tanpa mengatakan apapun. Beliau keluar ruangan dan mondar-mandir. Memikirkan darah siapa yang akan diambil untuk Istrinya.

Kami pulang, tidak mengetahui kabar si Kakek lebih lanjut.

Tapi, melihat bagaimana sabarnya Kakek menghadapi Nenek yang sakit dan pemarah ketika sakit, membuatku sadar bahwa lelaki baik, lelaki sabar, lelaki yang mau menemani di titik terendah itu masih ada.

Mereka masih ada.

Cerita Lelaki Kedua

Lelaki tua kedua saya jumpai ketika kakak saya masuk RS untuk yang kedua kali. Kala itu pukul 11 malam, ketika kami tiba.

Dua tempat tidur rumah sakit didekatkan dan keduanya diisi oleh sepasang kakek nenek.

Awalnya, saya kira yang sakit adalah si Kakek. Karena tanpa sengaja, saya melihat kaki Kakek besar sebelah, terkena kaki gajah.

Karena hari sudah terlampau malam, ditambah lagi esok dini hari harus bangun sahur, saya segera menutup tirai dan menggelar tikar. Saya langsung tidur, dengan rencana akan berberes keesokan hari saja.

Saya tidak bisa tidur. Terbangun sejam sekali sampai pukul 4 barulah saya mulai sahur. Kamar di depan, yang hanya dibatasi oleh tirai, juga mulai berkelontangan. Mungkin rantang aluminium yang dibuka dari pengikatnya.

Saya sahur dalam diam. Pun demikian orang kamar depan. Tidak lama setelah sahur saya usai, adzan subuh berkumandang.

Saya membereskan sisa sahur dan bergegas mengambil wudhu di kamar mandi. Kemudian shalat di kamar. Pasca shalat, saya melanjutkan kegiatan dengan mengaji. Dan ketika itulah suara tua si Kakek terdengar.

"Dek..., Dek..., bangun, Dek. Udah subuh."

Terdengar erangan Nenek pelan. Tapi tidak ada tanggapan berarti. Membuat si Kakek kembali memanggil Nenek.

"Katanya mau pake mukenah baru? Ayo, bangun, Dek. Shalat dulu. Nanti Andi (saya tidak tahu siapa Andi, mungkin anaknya) marah kalau adek tidak shalat."

Kakek terus berusaha membangunkan Nenek dengan sabar. Saya memelankan suara, takut mengganggu mereka berdua. Setelah beberapa kali berusaha membangunkan dan belum ada tanggapan, suara Kakek semakin lembut memanggil.

"Dek..., Dek..., bangun, Sayang. Ayo, sholat subuh."

Saya otomatis terdiam.

Usia keduanya mungkin 60 lebih, bisa jadi malah 70an. Dan saya barusan mendengar kata 'Sayang' keluar dari mulut Kakek? Di satu sisi, saya merasa malu karena telah mendengarkan pembicaraan sepasang suami-istri meskipun tanpa sengaja.

Di sisi lain, saya merasa speechless. Di daerah tempat tinggal saya, jarang sekali sepasang suami istri yang sudah berusia lanjut saling mengungkapkan perasaannya dengan begitu gamblang. Memanggil istrinya dengan kata Sayang. Ayah saya saja jarang, bahkan saya tidak pernah mendengar beliau memanggil Mamak dengan kata Sayang.

Saya menyudahi mengaji dan memutuskan untuk berbaring. Rasa kantuk menyerang dan menuntut tubuh untuk tidur.

***

"Yang sakit Kakeknya atau Neneknya, Kak?" tanya saya kepo kepada Mbak yang bekerja di rumah sakit.

"Neneknya, Dek," kata Mbak itu. Saya menggangguk paham.

Si Mbak melanjutkan, "Diabetes, Dek. Baru saja kakinya diamputasi sebelah."

Astaghfirullahal'adziim.

Saya menelan ludah. Demikian berat ujian mereka berdua. Dan begitulah. Setiap waktu shalat datang, kejadian berulang. Membuat saya tersenyum dalam hati, sekaligus meringis. Antara merasa berdosa telah mendengar percakapan sepasang suami-istri tersebut dan merasa bahagia, karena lelaki sebaik itu masih ada.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun