Bahasa Indonesia melalui pendidikan formal tersebut di samping bermaksud agar mahasiswa memiliki keterampilan bahasa menggunakan lisan maupun tulisan dengan baik, dan juga memiliki jati diri dan kepribadian yang luhur.
Pemakai bahasa Indonesia selayaknya memiliki rasa kebanggaan menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi. Setiap warga negara Indonesia juga sepatutnya memiliki sikap positif terhadap bahasa Indonesia dan berusaha agar selalu cermat dan terlatih menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari. Menanamkan budaya menggunakan bahasa Indonesia secara baik dan benar.
Namun demikian, di lingkup perguruan tinggi misalnya, sikap berbahasa yang positif belum sepenuhnya dimiliki sebagian besar mahasiswa. Mahasiswa cenderung bersikap lebih percaya diri ketika menggunakan bahasa asing dibandingkan dengan bahasa negeri sendiri.
Saat pembelajaran Bahasa Indonesia di perguruan tinggi terkadang dipandang remeh. Dalam fikiran tersebut muncul karena bahasa Indonesia sudah digunakan sebagai bahasa dalam berinteraksi sehari-hari. Itupun bahasa Indonesia juga telah diajarkan sejak berada di bangku sekolah dasar. Maka dari itu jika mata kuliah Bahasa Indonesia dianggap sudah tidak perlu lagi diajarkan. Padahal kedua konteksnya sangat berbeda.
Berbahasa secara baik dan benar memiliki konsekuensi logis terkait terhadap pemakaiannya sesuai dengan situasi dan konteks pembicaraan. Pada saat situasi formal, menggunakan bahasa Indonesia yang benar menjadi prioritas utama dan pemakaiannya sering menggunakan bahasa baku.Â
Namun, terkadang yang menjadi permalasahan menurut Mansyur (2016) adalah munculnya gejala bahasa, seperti interferensi bahasa gaul, yang tanpa disadari turut dipakai dalam berbahasa Indonesia.Â
Oleh karena itu, pemahaman bahasa Indonesia sesuai dengan kaidah berbahasa yang baik dan benar diperlukan mahasiswa agar mempunyai sikap yang positif terhadap bahasa Indonesia.
SIKAP BERBAHASA
Dalam bahasa Indonesia (KBBI, 2016) diartikan sebagai perbuatan dan sebagainya yang berdasarkan pada pendirian atau keyakinan. Rokeach (dalam Sumarsono, 2002) mengemukakan sikap bukan sesuatu yang bersifat sesaat, melainkan sesuatu yang berlangsung dalam jangka waktu yang relatif lama. Sikap adalah jaringan keyakinan (kognisi) dan nilai yang memberikan kepada seseorang untuk berbuat atau bereaksi terhadap suatu obyek dengan cara tertentu yang disenanginya.
Adapun komponen konatif menyangkut perilaku atau perbuatan sebagai "putusan akhir" terhadap suatu keadaan. Menurut Anderson (dalam Chaer, 2010) terbagi menjadi dua macam sikap, yaitu (1) sikap kebahasaan dan (2) sikap non kebahasaan, seperti sikap politik, sikap sosial, sikap estetis, dan sikap keagamaan.Â
Sikap berbahasa merupakan hal yang penting dalam kaitanya dengan suatu bahasa karena sikap bahasa dapat melangsungkan hidup suatu bahasa. Pada dasarnya bahasa tidaklah bersifat statis, tetapi dinamis. Kedinamisan tersebut disebabkan oleh masyarakat pemakai bahasa.Â