Nama: Dina Meliana Lubis
NIM: 212121171
Kelas: HKI 4E
UTS HPII
1. Hukum Perdata di Indonesia
Hukum perdata Indonesia berasal dari Burgerlijk Wetboek Belanda yang pelaksanaannya berdasarkan asas konkordasi. Sifatnya hukum perdata bersifat privat, sehingga mengikat para pihak karena mengatur kepentingan perseorangan.
Hukum perdata Indonesia didasarkan pada hukum perdata Belanda, khususnya hukum perdata Belanda pada masa kolonial. Bahkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia (dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) hanyalah terjemahan tidak tepat dari Burgerlijk Wetboek (BW) yang berlaku di Kerajaan Belanda dan diberlakukan di Indonesia (dan daerah jajahan Belanda). menurut prinsip konkordansi di Indonesia yang kala itu bernama Hindia Belanda, BW mulai diperkenalkan sejak tahun 1859.
Walaupun hukum perdata Indonesia mengatur kepentingan perseorangan, bukan berarti semua hukum perdata hanya mengatur kepentingan perseorangan saja, tetapi karena perkembangan masyarakat, banyak bidang hukum perdata yang diwarnai oleh hukum publik sedemikian rupa, misalnya di bidang hukum perkawinan, hukum perburuhan, dll. Hukum perdata menentukan bahwa orang harus tunduk pada segala sesuatu dalam hubungan timbal balik mereka dan standar apa yang harus mereka hormati. Di satu sisi, hukum perdata memberikan otoritas, di sisi lain, kewajiban dan pemenuhannya, dan ini adalah inti dari aturan hukum, dapat dipenuhi dengan bantuan otoritas jika diperlukan.
Beberapa pakar pun ikut mendefinisikan pembatasan hukum privat, di antaranya sebagai berikut. Van Dunne mendefinisikan hukum perdata khususnya pada abad ke-19 sebagai aturan yang mengatur hal-hal penting untuk kebebasan individu, seperti orang dan keluarga mereka, hak milik dan kewajiban. Â Sementara itu, hukum publik menawarkan jaminan minimal atas kehidupan pribadi.Â
Pendapat lain juga disampaikan oleh Vollmar yang mendefinisikan hukum privat sebagai aturan atau norma yang memberikan batasan dan dengan demikian melindungi kepentingan individu dalam perbandingan yang adil antara kepentingan orang lain dan kepentingan dalam kaitannya dengan masyarakat tertentu, terutama keluarga dan hubungan lalu lintas.
2. Prinsip perkawinan
Pasal 1 UU tahun 1974 menyatakan bahwa tujuan perkawinan sebagai suami istri adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (YME). Dijelaskan pula bahwa laki-laki dan perempuan harus saling membantu dan melengkapi, sehingga masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya untuk membantu dan mencapai kesejahteraan lahir dan batin.
Bentuk keluarga (rumah tangga) bahagia didasarkan pada ajaran agama yang dianut masyarakat Indonesia, seperti ajaran Islam. Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal tersebut, perkawinan memiliki hubungan yang sangat erat dengan agama atau kerohanian, oleh karena itu perkawinan tidak hanya memiliki unsur jasmani, tetapi juga unsur batin atau spiritual yang juga memegang peranan penting.
Perbedaan pendapat atau pandangan tentang pernikahan dalam fikih menimbulkan kesan bahwa perempuan dihadirkan sebagai objek kesenangan laki-laki. Yang terlihat pada perempuan hanyalah sisi biologisnya saja. Hal ini terlihat pada penggunaan al-wat' atau al-istimta', yang semuanya berkonotasi seksual. Selain itu, mahar yang semula merupakan pemberian yang tulus sebagai tanda cinta seorang pria kepada seorang wanita, juga banyak diartikan sebagai pemberian yang memberikan hubungan seksual yang sah kepada seorang pria dengan seorang wanita. Akibatnya, perempuan akhirnya menjadi pihak yang didominasi oleh laki-laki seperti banyaknya kasus perkawinan yang telah terjadi.
Kebanyakan ulama berpendapat bahwa asal usul pernikahan adalah mubah yaitu dibolehkan atau dianjurkan, tidak wajib, tetapi juga tidak dilarang. Jika substansi dipahami sebagai langkah pertama dalam menciptakan keluarga Sakina, Mawadda dan Rhama, kedua belah pihak harus memenuhi beberapa syarat. Tidak mungkin memiliki keluarga yang bahagia jika suami tidak memenuhi kriteria yang sudah ditentukan, apalagi jika menyangkut harta dan agama.
3. Pencacatan Perkawinan
Tujuan pemerintah adalah memberikan kepastian hukum kepada siapa saja yang menikah dengan menerbitkan akta nikah. Kepemilikan buku akta nikah berarti pasangan tersebut telah mendaftarkan pernikahan mereka ke Pengadilan Agama karena memiliki legalitas formal yang diakui oleh hukum negara kita.
Perkawinan yang tidak dicatatkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku merupakan perkawinan yang tidak sah dan karenanya tidak mempunyai legitimasi di mata hukum, sehingga hak suami dan anak yang dilahirkan tidak mendapat jaminan perlindungan hukum. Pencatatan perkawinan diperlukan di sini agar semua orang yang telah melangsungkan perkawinan tidak hanya memiliki legitimasi syar'i tetapi juga legalitas formal yang dilindungi oleh hukum negara kita. Pencatatan perkawinan penting bagi masyarakat untuk memperoleh kepastian hukum dalam perkawinan dan hak seorang anak. Jika tidak dicatat hak seorang anak akan dipertanyakan, karena dalam hukum agama pun anak yang lahir diluar pernikahan sah tidak akan mendapatkan sepenuhnya hak yang seharusnya dia dapatkan
Secara sosiologis, fungsi perkawinan sangat penting, khususnya bagi perempuan, dalam kaitannya dengan status anak dan hak waris yang berhubungan dengan harta waris sang anak serta hak milik dan hak bersama. Bagi seorang anak, status anak adalah hak atas warisan dan perwalian dan itu diperlukan.
Menurut yuridis, tujuan perkawinan adalah untuk memberikan rasa aman dan perlindungan kepada pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan, memberikan bukti yang sah tentang adanya perkawinan, dan memungkinkan para pihak untuk mempertahankan perkawinan di hadapan siapapun di hadapan orang lain serta dihadapan hukum.
Dari sudut religius, pencatatan perkawinan merupakan hal penting yang berkaitan dengan perkawinan, dan para ulama pun berpendapat tentang menjadikan pencatatan perkawinan sebagai syarat sahnya perkawinan atau syarat administrasi perkawinan.
4. Perkawinan wanita hamil
Pengertian sah atau tidaknya perkawanin wanita hamil berpedoman pada beberapa pendapat ulama. pertama Imam Ahmad bin Hanbali, bahwa perkawinan antara wanita hamil dengan pria zina tidak diperbolehkan sampai melahirkan.Â
Kedua, pemikiran Syafi'i adalah bahwa menikahkan wanita hamil karena zina sama halalnya jika menikahkan dengan orang yang menghamilinya.
Pendapat ketiga dari Malikiyah, pernikahannya sah hanya dengan laki-laki yang menghamili dan dia harus memenuhi syarat yaitu dia harus bertaubat terlebih dahulu.
Pendapat keempat, madzhab Hanafiyyah adalah masih adanya perbedaan pendapat dalam pendanaan, antara lain:
1. Perkawinan tetap sah meskipun dinikahakan dengna laki-laki yang menghamili atau tidak.
2. Perkawinan sah asalkan harus dilakukan dengan laki-laki menghamili dan tidak dapat melakukan hubungan suami istri dahulu kecuali dia telah melahirkan.
3. Diperbolehkan menikah dengan orang lain selama sudah melahirkan.
4. Boleh menikah selama melewati sudah masa haid dan dalam keadaan suci, dan ketika sudah menikah tidak diperbolehkan melakukan hubungan suami istri kecuali sudah melewati masa istibar atau masa tunggu wanita pasca hamil.
Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI), perkawinan wanita hamil itu difatwakan dalam kategori hukum diperbolehkan, tidak harus mengikuti peraturan yang ada pada hukum adat. Padahal, definisinya adalah apakah boleh perkawinan wanita hamil ditetapkan di KHI dan bergerak kurang lebih dari peraturan hukum adat. Kompromi ini dibuat dari ingatan walauoun realitanya masalah ini menjadi ikhtilaf dalam fikih mempertimbangkan faktor sosiologis dan psikologis. Dari berbagai faktor dari sini ditarik kesimpulan dengan istilah prinsip istislah. Jadi, Tim penyusun KHI menilai lebih masuk akal untuk mengizinkan perkawinan wanita hamil bukannya melarang, tentunya dengan beberapa syarat yang sudah ditentukan.
5. Menghindari Perceraian
Untuk menghindari perceraian adalah terbangunnya komunikasi yang bagus antar suami dan istri. Kesulitan komunikasi seringkali menjadi penyebab utama masalah hubungan, sehingga komunikasi yang baik satu sama lain diperlukan agar sebuah pernikahan dapat bertahan lama.
Selain komunikasi yang bagus, perlunya mengekspresikan diri agar pasangan memahami sudut pandang satu sama lain. Memang sulit untuk mengeluarkan emosi, tetapi harus berhati-hati dalam bertindak agar tidak ada emosi antara pasangan.
Bicarakan apa yang harus dibicarakan, dan tidak saling menghakimi jika belum menemukan jalan keluar dari suatu masalah. Karena menyelesaikan masalah dengan emosi bisa membuat kita gegabah dalam berkata dan bertindak, dan bisa menyebab terjadi sesuatu yang tidak di inginkan.
Belajar untuk memaafkan kesalahan pasangan jika kesalahan tersebut masih dalam batas wajar. Lalu, seringlah mendekatkan diri kepada Tuhan dan banyak berdoa untuk kelancaran hubungan rumah tangga agar selalu diberikan yang terbaik.
Menjaga komitmen karena itu penting, apalagi saat berumah tangga. Saat berkomitmen, fokuslah untuk membuat hubungan lebih kuat daripada harus memikirkan seperti apa kehidupan di luar pernikahan nantinya.
Cobalah untuk tidak berpikir apakah benar kamu bisa hidup lebih baik tanpa pasanganmu yang sekarang. Karena hal ini dapat melemahkan motivasi untuk memperbaiki kondisi rumah tangga yang tidak baik.
Sekalipun sudah menikah dan tinggal bersama, memiliki ruang atau waktu sendiri sangatlah penting. Hal ini dikarenakan seseorang juga membutuhkan sosialisasi dengan orang lain. Jadi sebaiknya tidak banyak melarang pasangan untuk bertemu teman-temannya selama itu tidak melewati batas satu sama lain.
Melakukan kegiatan yang menyenangkan. Seperti berjalan-jalan berdua dan menikmati udara luar sambil bercerita tentang hal-hal yang membuat bahagia.
6. Book Review
Judul buku yang saya review adalah Legislasi Hukum Perkawinan Di Indonesia Pro-Kontra Pembentukannya Hingga Putusan Mahkamah Konstitusi. Nama pengarang buku ini adalah Taufiqurrohman Syahuri.
Kesimpulan yang bisa diambil adalah Perkawinan menurut hukum Islam, mengandung segi-segi muamalah atau hablun minannas (hubungan sostal) dan segi-segi ibadah atau hablun minallah (hubungan dengan Allah); atau dengan kata lain, perkawinan mengandung hubungan keperdataan dan hubungan keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sedangkan me nurut paham hukum Barat (sekuler), perkawinan hanya dilihat dari segi-segi hubungan keperdataan semata, dengan pengertian hukum perkawinan sama sekali terpisah dari unsur kerohanian atau unsur keagamaan. Karena itu, jika dilihat dari proses pembentukannya yang melibatkan juga para ahli (hukum) Islam atau para ulama disamping Pemerintah dan DPR sebagai lembaga resmi pembentuk Undang-undang, dapat disimpulkan bahwa Undang-undang Perkawinan tahun 1974 dapat dianggap sebagai produk pemikiran hukum Islam. Sebagai produk pemikiran hukum Islam yang dikeluarkan oleh negara (Pemerintah), maka berdasarkan al-Qur'an surat an-Nisa ayat 59, Undang-undang Perkawinan itu mempunyai kekuatan hukum yang mengikat untuk ditaati oleh umat Islam warga negara Indonesia. Artinya kepatuhan umat Islam Indonesia terhadap Undang-undang Perkawinan itu, dari segi agama, mempunyai nilai yang sama dengan kepatuhan terhadap "hukum Allah", Tuhan Yang Maha Esa. Dan karena di dalam Undang-un dang Perkawinan itu terdapat beberapa ketentuan yang tidak bersumber langsung pada hukum fikih (klasik) seperti misalnya keharusan pencatatan perkawinan, pembatasan usia kawin, serta pengawasan pengadilan terhadap perceraian dan poligami, tetapi tidak bertentangan dan bahkan sejalan dengan al-Qur'an dan Sunah Rasul, ketentuan-ketentuan itu dianggap sebagai pembaharuan (hukum) fikih di Indonesia.
Inspirasi yang saya dapatkan adalah saya jadi lebih banyak mengetahui mengenai masalah-masalah yang sering terjadi dalam rumah tangga dan banyak pasal yang penting untuk di ketahui.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H