Mengenang pengalaman saya pertama kali menonton film di bioskop, saat itu saya masih duduk di bangku SD. Entah saya lupa kelas berapa persisnya, yang jelas waktu itu film Tjoet Nja’Dhien menjadi film Indonesia yang fenomenal karena kabarnya mendapat nominasi festival di luar negeri.
Kenangan Menonton Film Bioskop di Masa Kecil
 Memori saya yang samar-samar hanya mengingat bahwa sekolah saya mewajibkan seluruh muridnya untuk menonton film tersebut, karena film yang dibintangi Christine Hakim ini dianggap film pahlawan yang mendidik. Kami pun diminta datang ke bioskop yang terletak di Ratu Plaza, mal termegah saat itu di Jakarta untuk acara menonton bersama murid-murid lainnya dan para guru. Setiap murid juga membawa orangtuanya, termasuk saya yang ditemani almarhumah ibu. Itu adalah film Indonesia pertama yang saya tonton di layar lebar.
Kenangan menonton film di bioskop selanjutnya adalah menyaksikan film-film Hollywood box office seperti Home Alone dan film kartun Disney Beauty and The Beast di sebuah bioskop dekat rumah di kawasan Cinere yang bernama Dynasty. Bioskop itu kini sudah diganti menjadi sebuah toko franchise yang menjual perkakas dan keperluan rumah tangga. Kemudian, sebuah mal pertama dibangun di kawasan Cinere yang dilengkapi dengan bioskop 21 di dalamnya, sehingga kebiasaan saya bersama almarhumah ibu menonton film layar lebar pun berpindah ke bioskop tersebut. Di sana kami pernah menonton film Petualangan Sherina dan Ada Apa Dengan Cinta (AADC) bersama-sama. Saat itu, harga tiket film bioskop paling mahal hanya sekitar sepuluh ribu perak.
Maraknya Pembajakan Film di Indonesia
Berbicara mengenai film Indonesia, sekarang ini sudah jauh lebih banyak film Indonesia berkualitas. Terutama setelah kemunculan film AADCpada awal milenia ketiga, penonton Indonesia mendapat suguhan film-film karya sineas muda Indonesia yang pernah mengenyam pendidikan sinematografi di luar negeri seperti Mira Lesmana dan Riri Riza.
Bukan berarti film-film Indonesia sebelum zaman AADC tidak pernah ada yang bagus, akan tetapi saya masih ingat sekali masa-masa ketika bioskop Indonesia hanya memutar film-film ‘bupati’ dan ‘sekwilda’ (singkatan dari Buka Paha Tinggi-Tinggi dan Sekitar Wilayah Dada) pada dekade 80 dan 90-an. Selain Mira dan Riri ada juga Rudi Soedjarwo yang menelurkan film-film segar tentang anak muda perkotaan dengan segala problematikanya (dan bukan hanya problem percintaan) seperti Mengejar Matahari, Tentang Dia, Mendadak Dangdut.  Film-film Indonesia kembali memegang kendali kancah dunia perfilman tanah air di awal milenia kedua.
Melihat maraknya DVD bajakan film negeri sendiri di Tanah Air, Presiden Jokowi dengan tegas memerintahkan aparat kepolisian untuk sekalian meringkus gembong atau mafia DVD bajakan sejak bulan Mei tahun 2015 yang lalu. Dalam pidatonya di hadapan para seniman ASIRI (singkatan dari Asosiasi Industri Rekaman Indonesia) dan Persatuan Artis, Penyanyi, Pencipta Lagu dan Pemusik Republik Indonesia, Presiden Jokowi memerintahkan polisi tidak hanya mengejar pedagang kecil di jalanan, melainkan juga menghukum mafia besar yang mengeruk keuntungan dari bisnis tersebut.
Aktivitas Penduduk Indonesia Menonton Film di Bioskop
Menurut Anda, mengapa orang Indonesia lebih senang menonton film DVD bajakan atau film-film bioskop yang diputar di televisi di rumah, terutama untuk film-film Indonesia, ketimbang menonton di bioskop?
Saya pun iseng-iseng melakukan survei secara acak terhadap 122 responden dari berbagai usia dan kalangan (pekerja muda, klub pencinta film, blogger, mahasiswa) di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung dan Surabaya mengenai aktivitas mereka menonton film di bioskop.
Melihat maraknya DVD bajakan film negeri sendiri di Tanah Air, Presiden Jokowi dengan tegas memerintahkan aparat kepolisian untuk sekalian meringkus gembong atau mafia DVD bajakan sejak bulan Mei tahun 2015 yang lalu. Dalam pidatonya di hadapan para seniman ASIRI (singkatan dari Asosiasi Industri Rekaman Indonesia) dan Persatuan Artis, Penyanyi, Pencipta Lagu dan Pemusik Republik Indonesia, Presiden Jokowi memerintahkan polisi tidak hanya mengejar pedagang kecil di jalanan, melainkan juga menghukum mafia besar yang mengeruk keuntungan dari bisnis tersebut.
Yang lebih mengejutkan lagi, alasan harga tiket bioskop mahal ternyata bukan menjadi alasan utama penonton untuk jarang pergi ke bioskop (hanya 20% responden), melainkan karena tidak sempat saja (sebanyak 54,5% responden). Namun sampel ini memang saya ambil dari responden yang tinggal di kota-kota besar saja. Â Kendati pun demikian, harus diakui bioskop di Indonesia memang tidak banyak jenisnya seperti di luar negeri. Contohnya Inggris.
Selain memutar film-film yang hanya tampil di festival-festival film, di art-house cinema penonton dapat berinteraksi dengan sutradara bahkan menikmati sajian music score atau musik pengiring film secara live melalui sebuah pagelaran orkestra. Di kedua kategori ini penontonnya pun dibagi-bagi lagi ke dalam rentang usia tertentu, jadi penonton lansia bisa menyaksikan film khusus untuk kalangan mereka, begitu pula dengan anak-anak.
Kurasi film dan pembagian kategori usia merupakan beberapa hal yang bisa dicontoh bioskop-bioskop Indonesia. Kata Mas Ekkylagi, bisa dibuat hari dan jam khusus anak-anak yang menonton film anak-anak. Ada program film jadul dan retrospeksi. Ada slot untuk pasangan muda atau lansia yang ingin menonton tapi bisa membawa bayi atau cucunya. Ada program untuk seluruh keluarga, untuk ibu-ibu rumah tangga yang biasa pengajian, dan sebagainya. Ada juga all-nighters yang memutar secara marathon beberapa film dari tengah malam hingga subuh, buat penggemar film horor. Menurutnya, Kineforum merupakan salah satu contoh bioskop yang bisa dijadikan rujukan.
Saatnya Pegang Kendali Film Indonesia
Para sineas dan penikmat film sudah saatnya untuk pegang kendali seperti yang kini tengah digalakkan oleh Danamon demi keberlangsungan industri film tanah air. Hal tersebut dapat dimulai dari kegiatan sederhana seperti, ramai-ramai menonton film di bioskop. Bisa juga dengan mengadakan kegiatan nobar tematik dengan menggunakan ruang-ruang auditorium di pusat-pusat kebudayaan sekaligus mengundang praktisi film sebagai pembicara.
Selain itu, bisa juga kegiatan nobar ini dibarengi dengan workshopmembuat skenario secara berkala, atau pelatihan membuat film pendek. Bahkan jika memungkinkan, karya peserta workshop dilombakan dan pemenangnyamendapat hadiah kursus singkat sinematografi di luar negeri. Sasaran utama tentunya anak-anak muda, tetapi tidak juga menutup peluang bagi  kalangan lansia, orangtua untuk ikut serta.Â
Sumber Bacaan:
Jokowi Tantang Polisi Tangkap Mafia DVD Bajakan Bukan Cuma Pedagang Kecil
Jakarta Surga DVD Bajakan, Mudah Mencarinya Bahkan di Mal Ternama
Bioskop di Mal Ubah Kebiasaan Menonton Masyarakat Indonesia
Terima kasih kepada Mas Ekky Imanjaya atas kesediaannya menjawab pertanyaan-pertanyaan saya melalui e-mail. Terima kasih juga kepada teman-teman yang telah meluangkan waktu menjadi responden dan mengisi kuesioner yang saya edarkan :).Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H