Mohon tunggu...
Dina Mardiana
Dina Mardiana Mohon Tunggu... Penulis - Penulis dan penerjemah, saat ini tinggal di Prancis untuk bekerja

Suka menulis dan nonton film, main piano dan biola

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Menonton Film Indonesia di Bioskop, Masih Diminati?

9 Maret 2017   23:03 Diperbarui: 11 Maret 2017   16:00 2665
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mengenang pengalaman saya pertama kali menonton film di bioskop, saat itu saya masih duduk di bangku SD. Entah saya lupa kelas berapa persisnya, yang jelas waktu itu film Tjoet Nja’Dhien menjadi film Indonesia yang fenomenal karena kabarnya mendapat nominasi festival di luar negeri.

Kenangan Menonton Film Bioskop di Masa Kecil

 Memori saya yang samar-samar hanya mengingat bahwa sekolah saya mewajibkan seluruh muridnya untuk menonton film tersebut, karena film yang dibintangi Christine Hakim ini dianggap film pahlawan yang mendidik. Kami pun diminta datang ke bioskop yang terletak di Ratu Plaza, mal termegah saat itu di Jakarta untuk acara menonton bersama murid-murid lainnya dan para guru. Setiap murid juga membawa orangtuanya, termasuk saya yang ditemani almarhumah ibu. Itu adalah film Indonesia pertama yang saya tonton di layar lebar.

Kenangan menonton film di bioskop selanjutnya adalah menyaksikan film-film Hollywood box office seperti Home Alone dan film kartun Disney Beauty and The Beast di sebuah bioskop dekat rumah di kawasan Cinere yang bernama Dynasty. Bioskop itu kini sudah diganti menjadi sebuah toko franchise yang menjual perkakas dan keperluan rumah tangga. Kemudian, sebuah mal pertama dibangun di kawasan Cinere yang dilengkapi dengan bioskop 21 di dalamnya, sehingga kebiasaan saya bersama almarhumah ibu menonton film layar lebar pun berpindah ke bioskop tersebut. Di sana kami pernah menonton film Petualangan Sherina dan Ada Apa Dengan Cinta (AADC) bersama-sama. Saat itu, harga tiket film bioskop paling mahal hanya sekitar sepuluh ribu perak.

Bioskop Cinere 21 merupakan bioskop di dalam mal pertama yang ada di kawasan Cinere. (Sumber: skyscrapercity.com)
Bioskop Cinere 21 merupakan bioskop di dalam mal pertama yang ada di kawasan Cinere. (Sumber: skyscrapercity.com)
Ketiga judul film Indonesia yang saya sebutkan di atas adalah film-film yang membekas dalam ingatan sebagai film Indonesia yang berkualitas. Setidaknya, kehadiran ketiga film itu pernah memenangkan sederet penghargaan Piala Citra dan selalu ramai dibicarakan di berbagai media massa.

Maraknya Pembajakan Film di Indonesia

Berbicara mengenai film Indonesia, sekarang ini sudah jauh lebih banyak film Indonesia berkualitas. Terutama setelah kemunculan film AADCpada awal milenia ketiga, penonton Indonesia mendapat suguhan film-film karya sineas muda Indonesia yang pernah mengenyam pendidikan sinematografi di luar negeri seperti Mira Lesmana dan Riri Riza.

Bukan berarti film-film Indonesia sebelum zaman AADC tidak pernah ada yang bagus, akan tetapi saya masih ingat sekali masa-masa ketika bioskop Indonesia hanya memutar film-film ‘bupati’ dan ‘sekwilda’ (singkatan dari Buka Paha Tinggi-Tinggi dan Sekitar Wilayah Dada) pada dekade 80 dan 90-an. Selain Mira dan Riri ada juga Rudi Soedjarwo yang menelurkan film-film segar tentang anak muda perkotaan dengan segala problematikanya (dan bukan hanya problem percintaan) seperti Mengejar Matahari, Tentang Dia, Mendadak Dangdut.  Film-film Indonesia kembali memegang kendali kancah dunia perfilman tanah air di awal milenia kedua.

Film Mengejar Matahari karya Rudi Soedjarwo yang banyak mendapat nominasi Piala Citra, juga diputar di International Film Festival Rotterdam tahun 2005. Film ini mengisahkan persahabatan empat orang remaja pria di sebuah permukiman rumah susun di Jakarta. (Sumber: www.sinemart.com)
Film Mengejar Matahari karya Rudi Soedjarwo yang banyak mendapat nominasi Piala Citra, juga diputar di International Film Festival Rotterdam tahun 2005. Film ini mengisahkan persahabatan empat orang remaja pria di sebuah permukiman rumah susun di Jakarta. (Sumber: www.sinemart.com)
Selain laris manis di bioskop, film- film yang saya sebutkan di atas juga diproduksi dalam format DVD untuk konsumsi penonton di rumah. Saat itu, belum ada pilihan untuk mengunduh film melalui versi aplikasi smartphone atau portal online streaming. Kalau pun ada portal tersebut hanya untuk film-film Hollywood. Namun, berhubung harga DVD original saat itu, dan sekarang juga sih, masih lumayan terbilang mahal, mulai dari Rp 40 ribuan ke atas, maka bermunculanlah DVD-DVD film Indonesia bajakan yang bisa diperoleh dengan mudah di pasar-pasar dan pusat perbelanjaan bahkan mal-mal besar. Di Jakarta sebut saja daerah Glodok dan Pasar Senen salah satunya.

Melihat maraknya DVD bajakan film negeri sendiri di Tanah Air, Presiden Jokowi dengan tegas memerintahkan aparat kepolisian untuk sekalian meringkus gembong atau mafia DVD bajakan sejak bulan Mei tahun 2015 yang lalu. Dalam pidatonya di hadapan para seniman ASIRI (singkatan dari Asosiasi Industri Rekaman Indonesia) dan Persatuan Artis, Penyanyi, Pencipta Lagu dan Pemusik Republik Indonesia, Presiden Jokowi memerintahkan polisi tidak hanya mengejar pedagang kecil di jalanan, melainkan juga menghukum mafia besar yang mengeruk keuntungan dari bisnis tersebut.

Sumber: megapolitan.kompas.com
Sumber: megapolitan.kompas.com
Jika ditelisik lebih jauh, DVD bajakan film-film Indonesia lebih lama keluarnya dan harganya agak lebih mahal ketimbang DVD bajakan film impor. Menurut sebuah sumber, harga DVD bajakan film Barat sekepingnya dijual Rp 15 ribu, sedangkan DVD bajakan film Indonesia satu keping dihargai Rp 18ribu. Si pedagang mengakui bahwa untuk membajak film Indonesia lebih sulit daripada mengunduh film impor yang banyak bertebaran di internet. Padahal, Indonesia sudah punya UU no.19 tahun 2002 tentang Hak Cipta. Kerugian yang dialami negara dari sektor pajak dengan adanya DVD bajakan pun lumayan tidak sedikit, yaitu sebesar Rp 5 triliun per bulan.

Aktivitas Penduduk Indonesia Menonton Film di Bioskop

Menurut Anda, mengapa orang Indonesia lebih senang menonton film DVD bajakan atau film-film bioskop yang diputar di televisi di rumah, terutama untuk film-film Indonesia, ketimbang menonton di bioskop?

Saya pun iseng-iseng melakukan survei secara acak terhadap 122 responden dari berbagai usia dan kalangan (pekerja muda, klub pencinta film, blogger, mahasiswa) di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung dan Surabaya mengenai aktivitas mereka menonton film di bioskop.

Melihat maraknya DVD bajakan film negeri sendiri di Tanah Air, Presiden Jokowi dengan tegas memerintahkan aparat kepolisian untuk sekalian meringkus gembong atau mafia DVD bajakan sejak bulan Mei tahun 2015 yang lalu. Dalam pidatonya di hadapan para seniman ASIRI (singkatan dari Asosiasi Industri Rekaman Indonesia) dan Persatuan Artis, Penyanyi, Pencipta Lagu dan Pemusik Republik Indonesia, Presiden Jokowi memerintahkan polisi tidak hanya mengejar pedagang kecil di jalanan, melainkan juga menghukum mafia besar yang mengeruk keuntungan dari bisnis tersebut.

Sumber: filmindonesia.or.id
Sumber: filmindonesia.or.id
Sebanyak 35,2 % responden menjawab lebih senang menonton film Indonesia di rumah, namun justru yang mengejutkan lebih banyak lagi responden, yaitu sebanyak 40,2% masih suka menonton film Indonesia di bioskop. Mereka yang tidak terlalu suka menonton film Indonesia beralasan ceritanya klise dan alurnya mudah ditebak. Akan tetapi, jika diberikan tiket gratis untuk menonton film di bioskop, mereka tidak akan serta-merta menonton film Barat seperti yang saya duga, sebanyak 75,4% bahkan menjawab tergantung filmnya. Jika filmnya bagus, baik itu film Barat maupun film Indonesia pasti akan mereka saksikan di bioskop.

Sumber: filmindonesia.or.id
Sumber: filmindonesia.or.id
AADC2, Habibie & Ainun, Laskar Pelangi, The Raid, merupakan film-film layar lebar Indonesia yang banyak disukai responden. Selain itu, ternyata AADC 2 juga masuk urutan kedua dalam 15 film Indonesia peringkat teratas tahun 2016 dalam perolehan jumlah penonton. Data yang saya sebutkan terakhir ini berdasarkan perolehan data penonton dari jaringan Cinema 21, Blitz Megaplex, produser film, dan sumber-sumber lainnya (lihat tabel dan sumber di sini). Sementara, Surga Yang Tak Dirindukan 2 bercokol pada urutan pertama untuk jumlah penonton bioskop terbanyak tahun 2017.

Sumber: filmindonesia.or.id
Sumber: filmindonesia.or.id
Kategorisasi Bioskop dengan Harga Tiket Yang Rasional

Yang lebih mengejutkan lagi, alasan harga tiket bioskop mahal ternyata bukan menjadi alasan utama penonton untuk jarang pergi ke bioskop (hanya 20% responden), melainkan karena tidak sempat saja (sebanyak 54,5% responden). Namun sampel ini memang saya ambil dari responden yang tinggal di kota-kota besar saja.  Kendati pun demikian, harus diakui bioskop di Indonesia memang tidak banyak jenisnya seperti di luar negeri. Contohnya Inggris.

Sumber: filmindonesia.or.id
Sumber: filmindonesia.or.id
Ekky Imanjaya, kandidat doktor jurusan Kajian Film di University of East Anglia, yang juga seorang kritikus film Indonesia, menuturkan bahwa bioskop di negerinya Pangeran William ini dibagi ke dalam dua kategori, yaitu bioskop yang memutar khusus film-film blockbusteralias box office, dan bioskop yang program-program putar filmnya dikurasi secara khusus disebut art-house cinema.

Selain memutar film-film yang hanya tampil di festival-festival film, di art-house cinema penonton dapat berinteraksi dengan sutradara bahkan menikmati sajian music score atau musik pengiring film secara live melalui sebuah pagelaran orkestra. Di kedua kategori ini penontonnya pun dibagi-bagi lagi ke dalam rentang usia tertentu, jadi penonton lansia bisa menyaksikan film khusus untuk kalangan mereka, begitu pula dengan anak-anak.

Kurasi film dan pembagian kategori usia merupakan beberapa hal yang bisa dicontoh bioskop-bioskop Indonesia. Kata Mas Ekkylagi, bisa dibuat hari dan jam khusus anak-anak yang menonton film anak-anak. Ada program film jadul dan retrospeksi. Ada slot untuk pasangan muda atau lansia yang ingin menonton tapi bisa membawa bayi atau cucunya. Ada program untuk seluruh keluarga, untuk ibu-ibu rumah tangga yang biasa pengajian, dan sebagainya. Ada juga all-nighters yang memutar secara marathon beberapa film dari tengah malam hingga subuh, buat penggemar film horor. Menurutnya, Kineforum merupakan salah satu contoh bioskop yang bisa dijadikan rujukan.

The Prince Charles Cinema merupakan salah satu jaringan art house cinema, bioskop di Inggris yang memutar film-film independen dan film kelas festival. (Sumber: sheloveslondon.com)
The Prince Charles Cinema merupakan salah satu jaringan art house cinema, bioskop di Inggris yang memutar film-film independen dan film kelas festival. (Sumber: sheloveslondon.com)
Cerita Mas Riri Riza lain lagi. Di Singapura, bioskop-bioskop merupakan satu bangunan tersendiri yang terpisah dari pusat perbelanjaan atau mal. Sementara di Thailand, menurutnya negeri Gajah Putih itu punya 1500 layar untuk 15 juta penduduk. Rasionya jauh berbeda dengan Indonesia yang hanya punya 1000 layar untuk 250 juta penduduk. Mas Riri menyarankan, agar semakin banyak orang yang menonton di bioskop, para investor dihimbau untuk bekerjasama dengan PD Pasar Jaya atau gelanggang olahraga untuk memasang layar bioskop. Sehingga menonton film di bioskop bukan untuk kalangan menengah ke atas saja.

Saatnya Pegang Kendali Film Indonesia

Para sineas dan penikmat film sudah saatnya untuk pegang kendali seperti yang kini tengah digalakkan oleh Danamon demi keberlangsungan industri film tanah air. Hal tersebut dapat dimulai dari kegiatan sederhana seperti, ramai-ramai menonton film di bioskop. Bisa juga dengan mengadakan kegiatan nobar tematik dengan menggunakan ruang-ruang auditorium di pusat-pusat kebudayaan sekaligus mengundang praktisi film sebagai pembicara.

Selain itu, bisa juga kegiatan nobar ini dibarengi dengan workshopmembuat skenario secara berkala, atau pelatihan membuat film pendek. Bahkan jika memungkinkan, karya peserta workshop dilombakan dan pemenangnyamendapat hadiah kursus singkat sinematografi di luar negeri. Sasaran utama tentunya anak-anak muda, tetapi tidak juga menutup peluang bagi  kalangan lansia, orangtua untuk ikut serta. 

mengadakan workshop membuat film pendek bagi generasi muda Indonesia dapat membuat film-film Indonesia akan terus bertumbuh dan berkembang. (Sumber: riversidefestival.org.uk)
mengadakan workshop membuat film pendek bagi generasi muda Indonesia dapat membuat film-film Indonesia akan terus bertumbuh dan berkembang. (Sumber: riversidefestival.org.uk)
Jika semakin banyak generasi muda Indonesia yang memegang kendali dunia perfilman dalam negeri, maka film-film Indonesia akan terus bertumbuh dan berkembang, ceritanya pun juga makin variatif, sehingga semakin dihargai oleh bangsanya sendiri. Dengan kata lain, hal ini juga secara tidak langsung akan membuat masyarakat kita lebih memilih nonton film Indonesia di bioskop ketimbang di layar televisi apalagi menonton DVD bajakannya. Artinya mereka sadar bahwa membuat film itu mengeluarkan banyak tenaga, pikiran dan kreativitas, amat disayangkan jika kreativitas yang dibuat oleh orang Indonesia tidak dihargai oleh sesamanya. ***

Sumber Bacaan:

Jokowi Tantang Polisi Tangkap Mafia DVD Bajakan Bukan Cuma Pedagang Kecil

Jakarta Surga DVD Bajakan, Mudah Mencarinya Bahkan di Mal Ternama

Bioskop di Mal Ubah Kebiasaan Menonton Masyarakat Indonesia

Terima kasih kepada Mas Ekky Imanjaya atas kesediaannya menjawab pertanyaan-pertanyaan saya melalui e-mail. Terima kasih juga kepada teman-teman yang telah meluangkan waktu menjadi responden dan mengisi kuesioner yang saya edarkan :). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun