Sejak beberapa bulan terakhir di awal tahun 2016, saya ada niatan ingin berwisata ke Cirebon, berhubung banyak media seperti majalah dan televisi sering memberitakan destinasi wisata baru ke kota pesisir tersebut. Sebetulnya, Cirebon bukan kota yang terlalu asing buat saya. Jaman saya masih kecil, sekitar tahun 90-an, saya sering sekali melewati kota itu bersama-sama keluarga dalam rangka pulang kampung ke kota mbah dan eyang saya di Jawa Tengah. Letaknya yang berada di pesisir utara dan masuk ke dalam jalur Pantura, menjadikan Cirebon sebagai kota yang pasti selalu kami lalui setiap tahun saat mudik Lebaran. Dan satu hal yang saya ingat setiap kali melalui Cirebon adalah: macetnya yang luar biasa, ha ha … Ya, Cirebon lebih dikenal sebagai kota persinggahan ketimbang kota wisata, setidaknya pada saat itu.
Meskipun begitu, jika banyak orang menyebut Cirebon sebagai tujuan wisata baru yang sedang naik daun, itu juga memang benar. Selama berkunjung satu hari ke sana pada akhir pekan, saya banyak menemukan kendaraan pribadi asal Jakarta, Bogor dan Bandung. Tidak sekadar lewat, melainkan juga bermalam di kota pesisir berpenduduk sekitar 300.000 jiwa ini. Hotel tempat kami menginap juga dipadati mobil-mobil berplat B. Tempat-tempat wisata budaya dan wisata kuliner pada hari Sabtu dan Minggu juga dibanjiri turis lokal, baik dari dalam Cirebon sendiri maupun dari luar kota.
Kulineran pagi di Jalan Kejaksan
Hotel tempat kami tinggal hanya berjarak 10-15 menit jalan kaki santai ke stasiun, jadi kami bertolak dari hotel sekitar pukul 6.30 agar sempat menyantap sarapan bubur di Bubur M. Toha yang katanya terkenal enak banget. Ternyata, ketika sampai di sana memang betul lokasinya sudah dipadati pengunjung yang antri ingin makan di tempat itu, padahal belum ada jam 7! Bentuknya berupa sebuah warung makan sederhana seperti warteg, dengan jumlah pelayan merangkap peracik dan pemasak bubur sekitar 5-6 orang.
Setelah kenyang sarapan di Bubur Toha, kami melanjutkan ronde kedua makan Docang Ibu Kapsah yang letaknya persis di seberang stasiun Kejaksan. Bedanya dengan warteg Bubur Toha, secara fisik bentuk tempat makan ini lebih berupa sebuah tenda besar yang dibangun di sebuah halaman kosong, dilengkapi dengan bangku-bangku dan meja panjang. Sama seperti Bubur Toha, jam 7 pagi saja tempat ini sudah ramai dengan pengunjung yang antri hendak menikmati sarapan pagi.
Docang juga merupakan penganan khas Cirebon, isinya mirip-mirip lontong sayur karena ada irisan lontong yang disiram dengan kuah. Bedanya, dalam bahan-bahan docang ini ada juga campuran daun singkong, parutan kelapa, taoge, kacang merah, sambal khas Cirebon yang berupa rajangan bawang merah, dan kerupuk. Kuahnya pun terdiri dari irisan daging oncom pedas. Dihidangkan panas-panas, membuat peluh saya mengalir deras setelah sebelumnya bersantap bubur Toha yang juga sama-sama dihidangkan masih panas :D. Harganya pun murmer untuk porsi yang mengenyangkan, yaitu Rp 6.000,00 saja.
Berhubung yang masak hanya satu orang, yaitu Mbah Asriyah sendiri, dan pagi itu lumayan banyak juga yang memesan, jadi dengan sabar kami menanti giliran kue serabi pesanan kami dibuatkan.
Perjalanan ke Keraton Kasepuhan
Betapa naifnya kami memang, dan sebaiknya Anda tidak perlu meniru. Saya memang pernah beberapa kali mampir Cirebon, seperti yang sudah saya ceritakan di awal.Tapi itu dulu, ketika saya masih kecil. Yang ada dalam ingatan saya, Cirebon termasuk kota besar. Mungkin sebesar Pekalongan, atau agak lebih besar lagi. Seperti halnya di Pekalongan sarana transportasi yang sangat lazim digunakan adalah becak, dan kebetulan di Cirebon ini juga ada becak, maka kami memutuskan untuk naik becak menuju Keraton Kasepuhan.
Saya memang tidak pandai memperkirakan jarak dalam hitungan kilometer, namun firasat saya kami sudah ‘berjalan’ sangat jauh dengan becak ini ke arah selatan. Teman saya selalu berulang-ulang mengatakan, “Cirebon kota kecil,” tapi firasat saya mengatakan sebaliknya (kalau ditempuh dengan becak, ha ha…). Kami melewati bangunan-bangunan tua yang nantinya baru saya ketahui adalah gedung British American Tobacco. Lalu, setelah sekitar dua puluh menitan, sampailah becak di satu kawasan dengan sebuah taman luas yang dihiasi pohon-pohon beringin yang rindang sekali, menciptakan kesan angker. Pemandangan ini mengingatkan saya akan suasana keraton Jogja yang di hadapannya juga terdapat sebuah taman luas dengan dua buah pohon beringin yang konon sangat keramat. Saya berkesimpulan pastilah kami sudah dekat dengan Keraton Kasepuhan, karena biasanya ya kalau keraton-keraton di Indonesia letaknya pasti dekat dengan kawasan semacam ini.
Bersambung...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H