Mohon tunggu...
Dina Mardiana
Dina Mardiana Mohon Tunggu... Penulis - Penulis dan penerjemah, saat ini tinggal di Prancis untuk bekerja

Suka menulis dan nonton film, main piano dan biola

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Long Weekend di Cirebon: Geliat Wisata Kota Pesisir (Bagian 1)

30 September 2016   09:07 Diperbarui: 30 September 2016   10:12 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana pagi hari di dalam Rumah Makan Bubur Ayam M. Toha, Cirebon. (foto: dok.pri)

Sejak beberapa bulan terakhir di awal tahun 2016, saya ada niatan ingin berwisata ke Cirebon, berhubung banyak media seperti majalah dan televisi sering memberitakan destinasi wisata baru ke kota pesisir tersebut. Sebetulnya, Cirebon bukan kota yang terlalu asing buat saya. Jaman saya masih kecil, sekitar tahun 90-an, saya sering sekali melewati kota itu bersama-sama keluarga dalam rangka pulang kampung ke kota mbah dan eyang saya di Jawa Tengah. Letaknya yang berada di pesisir utara dan masuk ke dalam jalur Pantura, menjadikan Cirebon sebagai kota yang pasti selalu kami lalui setiap tahun saat mudik Lebaran. Dan satu hal yang saya ingat setiap kali melalui Cirebon adalah: macetnya yang luar biasa, ha ha …  Ya, Cirebon lebih dikenal sebagai kota persinggahan ketimbang kota wisata, setidaknya pada saat itu.

Meskipun begitu, jika banyak orang menyebut Cirebon sebagai tujuan wisata baru yang sedang naik daun, itu juga memang benar. Selama berkunjung satu hari ke sana pada akhir pekan, saya banyak menemukan kendaraan pribadi asal Jakarta, Bogor dan Bandung. Tidak sekadar lewat, melainkan juga bermalam di kota pesisir berpenduduk sekitar 300.000 jiwa ini. Hotel tempat kami menginap juga dipadati mobil-mobil berplat B. Tempat-tempat wisata budaya dan wisata kuliner pada hari Sabtu dan Minggu juga dibanjiri turis lokal, baik dari dalam Cirebon sendiri maupun dari luar kota.

Kulineran pagi di Jalan Kejaksan

Hotel tempat kami tinggal hanya berjarak 10-15 menit jalan kaki santai ke stasiun, jadi kami bertolak dari hotel sekitar pukul 6.30 agar sempat menyantap sarapan bubur di Bubur M. Toha yang katanya terkenal enak banget. Ternyata, ketika sampai di sana memang betul lokasinya sudah dipadati pengunjung yang antri ingin makan di tempat itu, padahal belum ada jam 7! Bentuknya berupa sebuah warung makan sederhana seperti warteg, dengan jumlah pelayan merangkap peracik dan pemasak bubur sekitar 5-6 orang.

Suasana pagi hari di dalam Rumah Makan Bubur Ayam M. Toha, Cirebon. (foto: dok.pri)
Suasana pagi hari di dalam Rumah Makan Bubur Ayam M. Toha, Cirebon. (foto: dok.pri)
Menu yang tersedia adalah bubur ayam dan bubur kacang hijau ketan hitam dalam wadah mangkuk kecil, dihidangkan dengan sambal khas Cirebon yang cair, pedas-pedas manis gurih. Bubur ayam disajikannya masih panas, dengan rasa bubur cenderung manis seperti bubur Jawa. Dicampur dengan suwiran ayam, bawang daun, dan kacang. Jika Anda mau, Anda juga bisa minta telur setengah matang yang nantinya dihidangkan terpisah dalam sebuah gelas transparan. Sementara itu, bubur kacang hijau ketan hitam disajikan dengan kuah santan kental, juga masih panas, rasanya manis segar dan terasa sekali santan serta ketannya. Untuk minumannya, setiap orang diberikan satu gelas teh tawar hangat gratis dan boleh isi ulang.

Bubur kacang ijo ketan hitam Pak Toha yang murah-meriah dan mengenyangkan. (foto: dok.pri)
Bubur kacang ijo ketan hitam Pak Toha yang murah-meriah dan mengenyangkan. (foto: dok.pri)
Harga bubur ayam 1 porsi: Rp 6.000,00; harga bubur kacang hijau ketan hitam 1 porsi: Rp 3.000,00. Murah meriah, kan? ;)

Setelah kenyang sarapan di Bubur Toha, kami melanjutkan ronde kedua makan Docang Ibu Kapsah yang letaknya persis di seberang stasiun Kejaksan. Bedanya dengan warteg Bubur Toha, secara fisik bentuk tempat makan ini lebih berupa sebuah tenda besar yang dibangun di sebuah halaman kosong, dilengkapi dengan bangku-bangku dan meja panjang. Sama seperti Bubur Toha, jam 7 pagi saja tempat ini sudah ramai dengan pengunjung yang antri hendak menikmati sarapan pagi.

Ibu Kapsah (berkerudung putih) berjualan bubur docang di seberang stasiun. (foto: dok.pri)
Ibu Kapsah (berkerudung putih) berjualan bubur docang di seberang stasiun. (foto: dok.pri)
Di tengah-tengah tenda kita bisa melihat seorang ibu-ibu berjilbab yang duduk di kursi kayu, dibantu oleh tiga orang bapak-bapak yang meracik isi docang. Selain makan di tempat, banyak pula pengunjung yang datang untuk sekadar minta dibungkuskan docang dalam wadah plastik.

Docang juga merupakan penganan khas Cirebon, isinya mirip-mirip lontong sayur karena ada irisan lontong yang disiram dengan kuah. Bedanya, dalam bahan-bahan docang ini ada juga campuran daun singkong, parutan kelapa, taoge, kacang merah, sambal khas Cirebon yang berupa rajangan bawang merah, dan kerupuk. Kuahnya pun terdiri dari irisan daging oncom pedas. Dihidangkan panas-panas, membuat peluh saya mengalir deras setelah sebelumnya bersantap bubur Toha yang juga sama-sama dihidangkan masih panas :D. Harganya pun murmer untuk porsi yang mengenyangkan, yaitu Rp 6.000,00 saja.

Penganan docang khas Cirebon. (foto: dok.pri)
Penganan docang khas Cirebon. (foto: dok.pri)
Selain docang, Ibu Kapsah juga menjual bakwan goreng udang yang tepungnya tebal banget sehingga lumayan membuat perut semakin melebar, he he…Walaupun begitu, ternyata di sebelah tendanya ibu Kapsah, tepatnya di atas trotoar, ada sebuah tenda lagi berbahan terpal coklat tua yang sudah bluwek, menaungi seorang ibu-ibu lansia penjual serabi. Selain karena rasa belas kasih, kami juga penasaran dengan serabi yang dimasaknya dengan cara sangat sederhana: yaitu dengan menuangkan adonan serabi di atas sebuah periuk kecil bertutup dari tanah liat, dengan bahan bakarnya berupa api yang dibuat dari kayu bakar.

Mbah Asriyah berdagang serabi, juga di seberang stasiun. (foto: dok.pri)
Mbah Asriyah berdagang serabi, juga di seberang stasiun. (foto: dok.pri)
Ibu-ibu lansia penjual serabi ini bernama Mbah Asriyah. Meskipun usianya sudah 65 tahun, namun beliau tampak strongatau dengan kata lain kuat dan tegar, terlihat dari urat-urat nadinya yang menonjol menghiasi tangannya yang gempal. Mengenakan jilbab, baju kebaya, dan kain sarung, Mbah Asriyah dengan senyuman mengembang, melayani setiap pengunjung.

Berhubung yang masak hanya satu orang, yaitu Mbah Asriyah sendiri, dan pagi itu lumayan banyak juga yang memesan, jadi dengan sabar kami menanti giliran kue serabi pesanan kami dibuatkan.

Serabi Cirebon buatan Mbah Asriyah. (foto: dok.pri)
Serabi Cirebon buatan Mbah Asriyah. (foto: dok.pri)
Setelah puas kulineran pagi, kami kembali ke hotel pada jam 7.30 untuk mandi dan beberes. Pada pukul 9, kami keluar lagi dari hotel untuk memulai city tour hari pertama.

Perjalanan ke Keraton Kasepuhan

Betapa naifnya kami memang, dan sebaiknya Anda tidak perlu meniru. Saya memang pernah beberapa kali mampir Cirebon, seperti yang sudah saya ceritakan di awal.Tapi itu dulu, ketika saya masih kecil. Yang ada dalam ingatan saya, Cirebon termasuk kota besar. Mungkin sebesar Pekalongan, atau agak lebih besar lagi. Seperti halnya di Pekalongan sarana transportasi yang sangat lazim digunakan adalah becak, dan kebetulan di Cirebon ini juga ada becak, maka kami memutuskan untuk naik becak menuju Keraton Kasepuhan.

Saya memang tidak pandai memperkirakan jarak dalam hitungan kilometer, namun firasat saya kami sudah ‘berjalan’ sangat jauh dengan becak ini ke arah selatan. Teman saya selalu berulang-ulang mengatakan, “Cirebon kota kecil,” tapi firasat saya mengatakan sebaliknya (kalau ditempuh dengan becak, ha ha…). Kami melewati bangunan-bangunan tua yang nantinya baru saya ketahui adalah gedung British American Tobacco. Lalu, setelah sekitar dua puluh menitan, sampailah becak di satu kawasan dengan sebuah taman luas yang dihiasi pohon-pohon beringin yang rindang sekali, menciptakan kesan angker. Pemandangan ini mengingatkan saya akan suasana keraton Jogja yang di hadapannya juga terdapat sebuah taman luas dengan dua buah pohon beringin yang konon sangat keramat. Saya berkesimpulan pastilah kami sudah dekat dengan Keraton Kasepuhan, karena biasanya ya kalau keraton-keraton di Indonesia letaknya pasti dekat dengan kawasan semacam ini.

Halaman depan istana Keraton Kasepuhan Cirebon, terdapat pintu gapura berwarna oranye yang khas, dipengaruhi adat Hindu. (foto: dok.pri)
Halaman depan istana Keraton Kasepuhan Cirebon, terdapat pintu gapura berwarna oranye yang khas, dipengaruhi adat Hindu. (foto: dok.pri)
Turun dari becak, sang supir becak (yang hingga kami pulang ke Jakarta tidak pernah kami tanyakan siapa namanya, sunggguh memalukan!) menawarkan diri apakah mau ditunggui sampai selesai. Berhubung saya dan teman saya tidak menemukan satu pun taksi di kota ini, dan kami ogah juga naik mikrolet, kami pun mengiyakan tawaran tersebut dengan rencana akan memberinya bayaran lebih. Sang supir juga kelihatannya senang-senang saja dengan jawaban kami. Ya sudah, kami berlenggang-kangkung memasuki halaman depan istana, setelah membayar tiket masuk Rp 10.000,00 per orang.

Bersambung...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun