Apapun barangnya, tren belanja secara online telah tumbuh dalam dekade terakhir dengan stabil, bukan hanya di Indonesia melainkan dunia. Terlebih saat pandemi covid-19 silam, seakan membangkitkan tren ini lebih jauh -- membuahkan perubahan perilaku konsumen dan menghasilkan keuntungan penjualan yang cukup mengejutkan, baik terhadap pelaku usaha perseorangan ataupun perusahaan.
Sepintas, aktivitas belanja di pasar online terlihat menjadi solusi yang memudahkan, ramah lingkungan dan praktis, baik dari sisi penjual ataupun pembeli. Tentu hal ini benar dan sudah terbukti. Namun, sisi lain yang tidak bisa dielakkan adalah timbulnya masalah lingkungan hasil dari pengemasan atau packing yang dipakai untuk proses pengiriman produk.
Mewarta dari earth.org, kemasan produk memiliki kontribusi yang cukup besar pada emisi CO2 khususnya dari produksi plastik. Berjumlah 86 juta ton kemasan plastik terus diproduksi setiap tahunnya secara global, dan 14% nya tidak dapat didaur ulang. Tak sampai disitu, kelompok konservasi hutan Canopy juga menemukan 3 miliar pohon yang setiap tahunnya terus diolah menjadi bubur kertas untuk dapat menghasilkan 241 juta ton karton /dus pengiriman.
Realita di Marketplace: Kesadaran Penjual vs Ego Pembeli
Sebagai salah satu penjual di marketplace, tentu sadar betul soal penggunaan bahan pengemasan produk. Secara umum, mau apapun barang yang dijual oleh seller, bahan utama yang digunakan saat packing adalah plastik. Dari mulai plastik kresek, plastik plong, plastik OPP, ziplock, klip, polimer, hingga rajanya keamanan bubble wrap.
Setiap kali mengemas pesanan kerap dihantui rasa bersalah, sebab produk yang saya jual sangat ringkih, yakni buku -- tentu membutuhkan pengamanan ekstra agar terlindungi dari air atau kelembaban.
Tetapi, nggak pasrah begitu saja, berbagai cara tetap dicoba untuk meminimalisir penggunaan plastik. Salah satunya dengan menggunakan kertas art carton atau semacam kertas tebal untuk poster, sehingga ketika menggunakannya nggak lagi memerlukan plastik ataupun bubble wrap berlapis. Meski nggak sepenuhnya lepas dari plastik, setidaknya sedikit demi sedikit bisa menguranginya.
Bagaimana dengan penjual lainnya? Tentu beda kepala beda pemikiran, apalagi terdapat banyak toko -- baik yang datang dari perseorangan ataupun perusahaan. Dominan penjual dalam menggunakan bahan packing mengikuti jenis produk yang dijualnya -- jika mudah pecah / ringkih, maka semakin tebal pula bahan-bahan packing yang digunakan.
Dua Ego Pembeli
Sepanjang berlalu-lalang di pasar online, tentu bertemu rupa dan sikap pembeli yang berbeda-beda. Namun, dalam hal pengemasan/packing, terdapat dua model pembeli yang memiliki ego cukup berlainan, diantaranya:
1. Peduli lingkungan
"Tolong paketnya jangan dikemas menggunakan plastik berlapis. Saya aktivis lingkungan, sangat meminimalisir penggunaan plastik berlebih. Saya akan kasih BINTANG 1, jika paket benar-benar dibungkus menggunakan plastik berlapis," pesan salah seorang perempuan - aktivis lingkungan yang memesan produk buku di toko saya.
Saat melihat pesan masuk tersebut, saya terdiam dan kebingungan. Sebab, produk yang saya jual sangat ringkih betul -- sedikit kena air / lembab saja langsung rusak. Disisi lainnya, performa dan reputasi toko adalah pertaruhannya -- jikalau ada bintang 4 saja langsung menurun apalagi bintang 1.
Alhasil, saya iyakan -- dengan pertimbangan cuaca dan jarak. Berkat menggunakan kertas art carton, produk pun sampai dengan selamat, meski pada saat proses pengantaran rasa was-was menggebu.
Sikap pembeli model ini tergolong sangat langka. Tetapi sekalinya bertemu, pasti seakan menjadi beban penjual, sebab sangat tegas dalam bersikap dan masalah keamanan bisa dikesampingkan.
2. Masa bodo, yang penting barang gue aman
Dominan pembeli yang selalu hadir adalah 'masa bodo' dan 'berlebihan'. Masa bodo soal sampah atau dampak dari pengemasan -- dan yang berlebihan minta ekstra++ packing tambahan. Tentu tidak salah dalam hal ini, terlebih jika produk yang dibelinya ringkih.
Tetapi, adakalanya sisi pembeli terasa over. Perlu diketahui, bahwa setiap toko memiliki kebijakan pada setiap aktivitas, dari mulai masalah pengemasan, pengembalian barang, hingga jadwal pengiriman.
Dari sisi pengemasan sendiri, sebenarnya setiap toko menerapkan beberapa hal yang berbeda-beda, misalnya toko A untuk masalah pengemasan hanya menggunakan 1 plastik plong -- tidak lebih dan tidak kurang, maka pembeli pun mau tidak mau harus mengikuti. Begitu pun toko lainnya, yang mungkin menerapkan sistem tambah bubble wrap dengan biaya ekstra.
Terkadang, toko sudah menerapkan sebuah kebijakan tetap soal packing + dipertimbangkan, namun ada pembeli yang alih-alih ketakutan ia 'maksa' supaya pesanannya dikemas plastik secara berlebihan, bahkan tak segan sampai cekcok dengan penjual dan lagi-lagi ancamannya masalah pemberian rating produk (buruk) yang akan diberikan setelah pesanan sampai.
Model pembeli yang masa bodo dan berlebihan seperti inilah, paling sering ditemukan namun juga paling susah dikalahkan.Â
Tetapi, baik model peduli lingkungan ataupun masa bodo ini, bukan semata-mata hanya ditemukan pada sisi pembeli saja melainkan juga kerap ditemui pada sisi penjual. Dan itulah realita jual-beli di pasar online marketplace dari sudut pengemasan/packing, sama-sama memiliki plus dan juga minus.
Antara Keamanan dan Limbah Plastik
Ada tiga poin utama yang pasti dicari oleh konsumen saat belanja online, yakni harga, kecepatan, dan kemudahan.
Namun, saat membaca realita jual-beli di pasar online, hal yang tidak pernah kalah diutamakan justru 'keamanan' -- berapapun harga produknya, seberapa cepat proses pengirimannya, semudah apapun transaksinya, akan mengarah pada 'keamanan' yang menopang dan menjamin produk tetap dalam keadaan stabil (sesuai foto, deskripsi, dan janji penjual).
Keamanan setiap produk yang dipesan oleh pembeli sendiri biasanya dilapisi beberapa bahan pengemasan, dari mulai kemasan asli produk; kemudian dilapisi plastik sebagai perlindungan pertama; baru setelah itu lapisan paling kokoh sebagai penopang utama - seperti dus / bubble wrap / styrofoam / plastik wrapping; dan dikencangkan menggunakan selotip.
Apakah sangat aman? Tentu saja! Tak sedikit pula pengemasan yang berlapis tersebut selalu mendapat pujian dari para pembeli, bahkan berkat keamanan yang terjamin membuat pembeli memberi rating tinggi sehingga reputasi toko menjadi sangat baik.
Dari sisi penjual, tentu tidak akan mau mengecewakan pelanggan -- setiap pesanan yang masuk rasanya selalu mau memberikan yang terbaik, bahkan kalau ada catatan khusus, "Packingnya tolong yang aman dan double ya, kak. Soalnya jauh dan lagi musim hujan," pasti langsung dituruti.
Jarak dan cuaca, menjadi dilema tersendiri bagi penjual dalam mengontrol keamanan produk -- yang tanpa disadari membuat sampah plastik terus menumpuk. Semakin jauh tujuan pelanggan, semakin tebal dan berlapis pula pengemasannya; dan saat memasuki musim penghujan, maka semakin banyak pula sisi produk yang ekstra ditutupi dengan plastik dan selotip.
Mewarta dari Forest Digest, pengemasan produk boleh saja aman, tetapi nyatanya membahayakan lingkungan -- semua berkat dari pembungkus/pengemasan setiap produk dan penggunaan tenaga pengiriman.
Jika, menilik lebih dalam komposisinya, Katadata mengungkap bahwa limbah plastik yang ada di Indonesia mencakup 17,1%, kemudian sekitar 37% nya yakni berasal dari limbah plastik yang berbentuk selotip, kantong belanja, hingga karung untuk pengiriman.
Mau membela soal keamanan? Tentu hanya akan jadi omong kosong belaka, sebab bumi sudah mengerang kesakitan, dan itulah realitanya.
Sekilas, kalau memposisikan diri sebagai pembeli; saat ada paket datang, dominan dari kita pasti langsung membuka/merobek kemasannya, dan jika produk yang kita inginkan sudah telihat + bisa diambil, pasti kemasan tersebut langsung dibuang -- yang pada akhirnya akan berhenti dan menumpuk di tempat pembuangan sampah terakhir, dan itulah realitanya.
Lalu, apa upaya yang bisa dilakukan untuk menangani limbah plastik belanja online?
Memang menjadi dilema tersendiri antara keamanan dan limbah plastik yang terus menumpuk, tetapi sebenarnya ada upaya yang bisa dilakukan bersama (sisi penjual dan sisi pembeli) untuk memulai diet pengemasan pengiriman produk. Berdasarkan yang saya telaah, berikut 2 poinnya:
1. Sisi Penjual: Memberikan Opsi Pemilihan Kemasan
Salah satu langkah terbaik yang bisa digunakan penjual dalam menangani masalah kemasan berlapis adalah dengan memberikan opsi kepada pembeli untuk 'memilih' kemasan ramah lingkungan.
Misalnya membuat opsi, mau menggunakan kantong berbahan kanvas, paper wrap, paper bag, art carton, atau besek bambu?
Semua dipertimbangkan dan tidak masalah jika toko memasang semacam poster (informasi + ajakan) seperti misal tema 'eco-friendly' sebagai penanda bahwa toko mempromosikan produk sekaligus sistem ramah lingkungan khususnya untuk sisi pengemasan. Â
Jika, toko sudah jujur dan tak segan menyemarakkan kegiatan ramah lingkungan, pasti pembeli akan ikut tersadar. Apalagi, di tengah hiruk-pikuk gelombang digital, banyak sekali informasi tentang lingkungan yang terus disiarkan khususnya limbah plastik, maka sebagian besar pembeli pun tidak akan keberatan untuk membayar ongkos pengemasan lebih mahal sedikit demi turut andil melestarikan lingkungan.
2. Sisi Pembeli: Jangan Mendesak Penggunaan Kemasan Berlebih! Ikuti Aturan dan Pertimbangan TokoÂ
Sebagai pembeli, stop meminta penjual untuk menggunakan kemasan berlebih, hanya karena takut. Ikuti aturan toko yang sudah lebih dulu mempertimbangkan masalah pengemasan/packing, bahkan sudah memperhitungkan seperti apa hambatan yang biasanya terjadi di ekspedisi.
Perlu diketahui, bahwa disetiap produk di marketplace memiliki asuransi pengiriman yang berguna untuk pengembalian dana -- jika produk rusak ataupun hilang saat proses pengiriman berlangsung.
Jadi, jangan khawatir kalau produk yang kita pesan mungkin rusak ataupun hilang, sebab kita bisa claim ganti rugi melalui customer service dengan melampirkan bukti berupa foto ataupun video. Pengalaman ini sudah sering kali terjadi, dominan ganti rugi yang diberikan marketplace biasanya berupa uang dengan jumlah yang bahkan lebih dari harga produk aslinya.
Meski mengupayakannya bermula dari sikap sederhana, tetapi tanpa disadari hal tersebut bisa membantu mengurangi penggunaan kemasan berlebih.
Baik sebagai penjual ataupun pembeli, belanja online beserta dampaknya terhadap lingkungan jangan sampai diabaikan begitu saja, apalagi kalau hanya memilih 'kemudahan' ketimbang 'prinsip'.
Mewarta dari earth.org, walaupun setiap toko sudah mencoba mengambil langkah baik dan bijak untuk menangani penggunaan kemasan berlebih, agaknya perubahan ini tidak akan bisa menyelesaikan masalah sepenuhnya -- sebab, konsumen atau pembelilah merupakan pihak yang mempunyai keputusan paling akhir dan perilaku merekalah yang akhirnya akan menentukan dampak dari industri ini.
Satu-satunya jalan untuk membalikkan tren belanja online yakni dengan mengubah pola pikir baik dari sisi penjual ataupun pembeli.
Semoga ulasan ini bisa bermanfaat yaa dan menambah wawasanmu dalam mengenal luasnya dunia usaha online. Salam literasi, sehat-sehat selalu yaa untuk kamu yang lagi baca artikel ini.
Penulis: Dina Amalia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H