Mohon tunggu...
Dina Amalia
Dina Amalia Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Bouquiniste

Biasa disapa Kaka D! | Hidup pada dunia puisi dan literasi | Etymology Explorers | Mengulik lebih dalam dunia perbukuan dan kesehatan | Contact: dno.dwriter@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Book Artikel Utama

Jual Buku Cetak di Era Digital, Masih Laku atau Sudah Buntu?

26 Oktober 2024   10:30 Diperbarui: 27 Oktober 2024   16:25 826
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika era digital semakin akrab, dominan penjual buku cetak pun sebagian besar ikut bertransisi dari toko fisik ke pasar online. Ada yang masih membuka toko dalam dua kondisi, yaitu fisik dan online, namun ada juga yang memutuskan untuk tutup toko fisik kemudian beralih sepenuhnya ke pasar online.

Seperti Bang Ucok, pelapak toko buku bekas ‘Guru Bangsa’ yang telah berdiri selama 20 tahun lebih, kini ikut bertransisi ke pasar online, namun tetap memiliki toko fisik, “Kalo saat ini lebih banyak daring. Pasarnya jauh lebih gede.” ungkapnya melalui Kompas.id.

Bertransisi ke online, tentu cara ‘berjualan’ pun berubah, bukan lagi fokus untuk memajang buku di rak, melainkan memotretnya, menjelaskan kondisi melalui deskripsi, dan melakukan pengiriman melalui ekspedisi. “Zaman emang sudah berubah. Kitanya juga harus menyesuaikan, dong. Termasuk juga pelanggan,” seru Bang Ucok.

Sisi Pembeli

Selaras dengan ungkapan Bang Ucok sebagai penjual. Era digital juga merubah aktivitas masyarakat dalam berburu dan blusukan buku, yakni berawal dari lapak ke lapak fisik kini menjadi secara online. Seperti yang diaminkan oleh Bang Wawan, pemburu buku lawas melalui Kompas.id, “Sekarang, saya kalau cari buku lewat online, karena lebih praktis. Ada beberapa lapak jauh yang bisa dijangkau, ada yang dari Bandung, Malang, dan Bogor,” ungkapnya.

Pasar buku online juga menjadi alternatif masyarakat, khususnya bagi mahasiswa yang mencari buku guna menunjang kegiatan perkuliahan, karena tidak semua referensi yang dibutuhkan tersedia di perpustakaan. Terlebih jika buku yang dibutuhkan berasal dari terbitan lama atau tidak memiliki versi elektroniknya.

Bagaimana soal penghasilan, semakin untung atau malah buntung?

Ketika bertransisi ke pasar online, toko yang dibangun di marketplace tidak lagi memerlukan biaya sewa lapak selayaknya toko fisik. Di mana dari sisi ini sudah sangat menguntungkan penjual, yang tadinya butuh modal ratusan sampai jutaan hanya untuk sewa lapak, kini modal tersebut beralih menjadi keuntungan bersih.

Biasanya penjual hanya menanggung biaya layanan, seperti dari penggunaan fitur bebas ongkir, yang kemudian biaya layanan tersebut akan terpotong otomatis dari hasil penjualan. Jumlahnya pun tidak besar, yakni hanya berkisar 4%, kalau dirupiahkan sekitar Rp 2.000 - 4.000 saja.

Kalau di dunia pelapak, menyebut kondisi ini sebagai ‘Keuntungan berlebih’ alias ‘Tinggal untungnya aja, modal dikit, ngga perlu effort lebih’.

Belum lagi jika penjual memanfaatkan ragam fitur promosi, dari mulai live streaming, voucher ikuti toko, diskon bulanan, dan sebagainya yang jika ditaksirkan keuntungannya jauh lebih besar, sebab minat pembeli meningkat dan pajak/biaya layanan yang dikeluarkan hanya sedikit.

Jualan Buku Cetak di Era Digital Masih Laku?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun