Mohon tunggu...
Dina Amalia
Dina Amalia Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Bouquiniste

Biasa disapa Kaka D! | Hidup pada dunia puisi dan literasi | Etymology Explorers | Mengulik lebih dalam dunia perbukuan dan kesehatan | Contact: dno.dwriter@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Geliat Industri Majalah, Berawal dari Konten Khusus hingga Lestari di Toko Buku Bekas

16 Oktober 2024   11:17 Diperbarui: 16 Oktober 2024   18:20 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto: gisli.mx (Ilustrasi Deretan Koleksi Majalah)

Ketenaran majalah sebagai 'kiblat' informasi yang 'mengkhususkan' diri pada bidang tertentu dimulai sejak abad ke 17 di Eropa. Namun, kali pertama majalah diterbitkan, yakni tahun 1663 sampai 1668 dengan judul 'Erbauliche Monaths Unterredungen' yang berarti 'Diskusi Bulanan yang Mendidik'.

Popularitasnya terbilang mulai berkembang di tahun 1700-an ketika majalah dengan tajuk 'Gentleman's Magazine' muncul tepatnya pada 1731 di London yang berisi konten khusus / topik-topik pilihan sekaligus bernuansa lebih 'modern', seperti humor, sastra, fiksi, essai politik, kritisisme, hingga musik.

Majalah, pada saat itu lebih dikenal dengan istilah 'Magazine', namun rupanya tidak hanya sekedar sebutan biasa, melainkan lahir dari 'peran' seorang 'editor' yakni Edward Cave yang bernama pena Sylvanus Urban. Beliau menjadi 'orang pertama' yang menerapkan istilah/sebutan 'Magazine'.

Selanjutnya, majalah pada masa ini juga merasakan jatuh-bangun, seperti 'American Magazine' yang terbit pertama kalinya di Amerika pada 1741 harus gulung tikar setelah tiga bulan diluncurkan. 

Kemudian, 'General Magazine' yang melakukan peluncuran hanya berbeda tiga hari dengan American Magazine juga memutuskan tutup setelah enam bulan berpijak.

Jatuh-bangunnya majalah di masa ini terjadi lantaran faktor biaya dan massa yang amat berpengaruh, seperti melambungnya biaya percetakan dan penerbitan, sistem pendistribusian yang cukup mahal, hingga minim minat dari masyarakat (selaku 'pembaca') karena waktu yang sedikit alias sibuk beraktivitas. 

Banyak sekali penerbit pada masa ini yang berusaha keras mempopulerkan 'majalah' ke masyarakat luas, namun hasilnya belum maksimal, sehingga majalah redup dan 'kurang' populer saat itu.

Apakah majalah terus-menerus redup dan mati begitu saja?

Tentu saja tidak, sebab di masa 'revolusi amerika', majalah dimanfaatkan sebagai 'alat politik'. Salah satunya 'Pennsylvania Magazine' yang dieditori oleh Thomas Paine, pada saat itu memuat informasi terkait desakan revolusi. 

Sejak itu pula, majalah-majalah mulai disebut dengan 'Miscellanies' alias majalah yang memiliki beragam topik, karena majalah tersebut memang memuat ragam tema dengan informasi yang runtut untuk menarik para pembaca.

Daya Tarik Massa

Ketika 'revolusi amerika' berakhir, majalah secara perlahan menemui titik terang secara 'ekonomi'. Sebab, pada akhir masa revolusi, sistem 'pos amerika' mulai meningkat dan membuat masyarakat lebih menghargai eksistensi 'literatur' yang menjadi bentuk hiburan dan pengetahuan, sehingga membangkitkan majalah sebagai 'media massa yang paling utama' khususnya pada 1800-an.

Mewarta dari University of Minnesota, di tahun 1830-an, berbagai sisi biaya produksi majalah seperti percetakan hingga pengiriman publikasi mengalami penurunan umum, dan penerbit mulai meraup keuntungan dari hal ini, sehingga mulai berani memproduksi majalah dengan harga yang lebih murah dan mempertimbangkan skala pembaca yang jauh lebih luas.

Tidak hanya dari sisi harga produksi saja yang mulai berubah, melainkan juga dengan gaya majalah yang perlahan berinovasi, yakni mulai memperluas kategori, dari mulai majalah anak-anak, majalah keluarga, hingga majalah wanita.

Publikasi majalah wanita, menjadi 'pasar' yang paling menguntungkan. Salah satunya, yakni majalah wanita Amerika 'Godey's Lady's Book' yang terus-menerus dicetak dari tahun 1830 hingga tahun 1898. Majalah ini, memang secara khusus diperuntukkan kepada para pembaca wanita.

Setelah melewati masa jatuh-bangun, rupanya membuat majalah semakin bersinar dan menjadi daya tarik massa yang amat memikat. Majalah seakan terus melahirkan topik-topik yang mampu memeluk para pembaca, seperti 'Saturday Evening Post' yang menyajikan konten/topik berupa seni, travel, sejarah, serial, hingg cerpen, dan terus diterbitkan setiap minggunya. Hal ini kemudian melahirkan sebuah tren baru, yakni 'Miscellanies Sastra'.

Apakah selesai sampai disini?

Tentu saja tidak. Majalah lagi-lagi tidak kehilangan ide dan inovasi. Model dan kategori baru terus diluncurkan, salah satunya di tahun 1923, yakni dengan hadirnya majalah 'Time' yang diprakarsai Henry Luce dan juga Briton Hadden. Majalah ini memperkenalkan nuansa bergambar dan menjadi majalah jurnalistik foto.

Mulai Berlabuh Ke Indonesia

Secara global, industri majalah terus digerakkan, pengaruh besar kian dirasakan oleh masyarakat melalui majalah, sebab bukan hanya berisi pengetahuan saja tetapi juga hadir ragam hiburan. Geliat 'industri majalah' ini kemudian turut pula menggerakkan dan mewarnai penerbitan di Indonesia.

Majalah mulai berkembang pada masa-masa penjajahan (Belanda), yakni dengan tajuk pertama kalinya 'Tijdschrift voor Indische Taal Land En Volkenkunde' atau singkatnya bisa disapa 'TGB' yang lahir pada tahun sekitar 1853 dan memiliki arti 'Kebebasan dan Antropologi Hindia Belanda'.

Apakah masih lanjut terbit?

Tentu saja, masih! Majalah kian mewarnai hari-hari Tanah Air Nusantara. Sederhananya, perjalanan majalah dahulu bisa dilihat secara masa, dari mulai majalah sebelum kemerdekaan, masa kemerdekaan (1945), kemudian orde lama, hingga orde baru.

- Majalah di masa 'sebelum' kemerdekaan, yakni majalah 'Adil', majalah 'Soewara Moehammadijah', hingga majalah 'Daulat Ra'jat'. Pada masa ini, khususnya majalah 'Soewara Moehammadijah' masih menggunakan bahasa / aksara jawa, lho. Di mana majalah ini pertama kali terbit pada tahun sekitar 1915 tepatnya di Jogja. Topik-topik yang diangkat pada majalah ini, yakni khusus agama hingga politik.

- Majalah di masa 'kemerdekaan' (1945), yakni terbit majalah dengan tajuk 'Pantja Raja' yang dipimpin langsung oleh Ki Hajar Dewantara dan Markoem Djojohadisoeparto tepatnya di Jakarta. Kemudian, dari ternate lahir juga majalah dengan edisi mingguan, yakni 'Menara Merdeka', dan di waktu yang bersamaan dari Blitar juga lahir majalah 'Djojobojo' dan 'Obor' dengan memakai bahasa Jawa. Hingga majalah-majalah lainnya.

- Majalah di masa 'orde lama', pada masa ini hadir sebuah 'pedoman' resmi yang ditujukan kepada penerbit khususnya di Tanah Air, bahwa baik majalah ataupun surat kabar diwajibkan menjadi pembela, pendukung, sekaligus menjadi 'alat' penyebaran 'Manifesto Politik' untuk program 'pemerintah'. Namun, yang terjadi pada masa-masa ini membuat majalah menjadi tidak berkembang, meski masih ada yang terbit, yakni satu diantaranya 'Star Weekly' yang eksis di masa-masa orde lama.

- Majalah di masa 'orde baru', pada masa ini majalah lanjut berkembang dan selaras dengan ekonomi di Tanah air yang makin membaik. Hingga majalah terus bertumbuh pesat, yang sampai saat ini majalah-majalah itu masih lestari, terlebih di toko buku bekas yang kian melestarikannya, seperti Tempo, Trubus, Gatra, Bobo, Intisari, Forum Keadilan, Kartini, Femina, Gadis, Tiras, Matra, Sportif, Prisma, dan majalah populer lainnya. Majalah-majalah yang terbit di masa-masa ini, hadir dengan beragam topik dan kategori yang berbeda.

Wanita, Fashion, Pertanian, Kesehatan, Politik

Sampai saat ini, khususnya majalah yang terbit sejak masa orde baru sebagian masih terus terbit baik secara fisik/cetak ataupun elektronik.

Kategori majalah yang sampai saat ini masih diminati, yakni dari mulai wanita, fashion, pertanian, kesehatan, hingga politik. Majalah dari kategori tersebut yang paling laris manis terjual, seperti Kartini, Femina, Bazaar, Vogue, Elle, Forbes, Trubus, Tempo, Bobo, Gadis, Dokter Kita, hingga Forum Keadilan.

Umumnya, setiap kategori majalah memang memiliki pangsanya masing-masing yang sesuai dengan minat dari masyarakat. 

Jadi, dari mulai daya tarik hingga besar penjualannya tentu tidak sama rata, seperti orang yang suka sekali dengan fashion dan butuh inspirasi untuk outfit yang akan digunakannya ke acara tertentu, maka ia pun pasti akan memilih majalah fashion yang secara spesifik membahas dan memberikan inspirasi dalam berbusana.

Dilain sisi, derasnya teknologi yang bahkan sudah melekat di kehidupan masyarakat tentu menjadi sebuah tantangan untuk industri 'penerbitan' salah satunya majalah. Munculnya situs majalah digital atau E-Magazine sudah menyebar dan menjamur yang tentunya sangat menarik langganan pembaca.

 Forbes menjadi salah satu majalah yang memiliki versi digital, yakni Forbes Magazine (Forbes Mobile) dan sudah mempunyai sekitar 500 ribu lebih pengguna.

Meski demikian, agaknya sebagian besar penggemar majalah khususnya penggemar lama, masih belum bisa move on dari versi cetak dan tetap menaruh perhatiannya terhadap majalah cetak.

 Alasannya tentu sangat beragam, diantaranya, seperti kebiasaan pembaca yang turut mengoleksi ragam edisi majalah favorit, hingga ada juga yang memang senang dengan esensi 'estetika' dari cover majalah, terlebih juga mencakup bagian-bagian favorit tertentu pada isinya (seperti poster hingga koleksi foto langka), jadi hal ini semacam rasa bernostalgia.

Lestari di Toko Buku Bekas

Menyelam lebih dari 5 tahun di dunia buku bekas, melihat banyak sekali genre buku yang menarik, dari sekian banyak yang menarik, majalah menjadi salah satu primadona pembaca, yang hingga saat ini masih terus diburu.

Selain memiliki topik spesifik, tak jarang yang memburu majalah karena 'idola' alias mengincar cover tertentu yang dibintangi oleh para model atau tokoh pilihan.

Di antara tumpukan majalah yang saya lestarikan dan jual, ada sejumlah majalah-majalah yang sejak masa orde baru hingga saat ini sangat familiar sekali, yakni seperti Kartini, Gadis, Femina, Trubus, Matra, Forum Keadilan, Intisari, Gatra, Tiras, Mobil Motor, Tempo, hingga majalah bundel (alias beberapa edisi yang disatukan secara khusus dengan hardcover). Ada juga majalah-majalah kekinian yang terus lahir dan semakin berwarna, dari mulai Vogue, Elle, Cosmopolitan, hingga Bazaar.

Seiring berkembangnnya zaman, membuat masyarakat semakin melekat dengan teknologi, ragam bacaan termasuk majalah terbilang mulai terabaikan, terlebih edisi-edisi lampau. Hal ini terkadang membuat sebagian pembaca atau pengoleksi majalah ingin melengserkan majalah-majalah yang dimilikinya, namun sebelum membuangnya tak jarang dari mereka menghubungi toko-toko buku bekas untuk memberikannya secara cuma-cuma (alias gratis) untuk merawat dan boleh menjualnya kembali.

'Toko Buku Bekas' memang kedengarannya usang dan lapuk, tapi tidak dengan deretan koleksinya yang sebagian besar datang dari masa lampau, hingga turut melestarikannya dengan sepenuh hati.

Di toko buku bekas, koleksi majalah biasanya tersusun rapi sesuai dengan kategori hingga tanggal dan tahun edisinya. Jikalau, masih terdapat majalah satuan (alias lepas dari kategori keluarganya) maka akan dipisahkan, sampai penjual berhasil mengumpulkan kembali edisi-edisinya. 

Namanya toko 'buku bekas', pastinya setiap buku yang datang beragam dan tidak menentu.

Harga jual majalah juga bervariasi. Biasanya, majalah paling murah dipatok mulai dari 10.000 ribu-an per satu majalah. Semua harga mengikuti masa kelangkaan majalah, semakin langka edisinya, semakin mahal pula harganya.

 Sedangkan, majalah bundel, biasanya harga jual mencakup dari jumlah gabungan majalah, seperti misal majalah tempo bundel edisi maret 1990 berisi 4 majalah, maka harganya akan dibandrol mulai dari 40.000-50.000, jadi tetap menghitung jumlah isi majalahnya.

Majalah di tangan toko buku bekas telah banyak dilakoni para penjual dari mulai toko fisik hingga kini melebar ke pasar online. 

Meski dengan koleksi edisi yang tidak menentu, tetapi usahanya dalam merawat majalah yang hadir sejak orde baru bahkan dari masa kemerdekaan termasuk ke dalam upaya pelestarian warisan sejarah pada kategori buku, sebab jika majalah belum laku terjual maka akan disimpan dan dirawat dengan baik.

Berbagai keuntungan dari 'industri majalah' benar-benar tidak terhenti pada negara-negara barat saja. Popularitas majalah turut menyuburkan industri 'penerbitan' di Tanah Air Nusantara, hingga berlabuh ke 'pedagang-pedagang kecil' di toko buku bekas.

Semoga ulasan ini bermanfaat yaa, dan menambah wawasanmu dalam mengenal luasanya dunia perbukuan. Salam literasi, salam hangat, sehat-sehat selalu untuk kamu yang sedang membaca artikel ini.

Penulis: Dina Amalia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun