Ketika 'revolusi amerika' berakhir, majalah secara perlahan menemui titik terang secara 'ekonomi'. Sebab, pada akhir masa revolusi, sistem 'pos amerika' mulai meningkat dan membuat masyarakat lebih menghargai eksistensi 'literatur' yang menjadi bentuk hiburan dan pengetahuan, sehingga membangkitkan majalah sebagai 'media massa yang paling utama' khususnya pada 1800-an.
Mewarta dari University of Minnesota, di tahun 1830-an, berbagai sisi biaya produksi majalah seperti percetakan hingga pengiriman publikasi mengalami penurunan umum, dan penerbit mulai meraup keuntungan dari hal ini, sehingga mulai berani memproduksi majalah dengan harga yang lebih murah dan mempertimbangkan skala pembaca yang jauh lebih luas.
Tidak hanya dari sisi harga produksi saja yang mulai berubah, melainkan juga dengan gaya majalah yang perlahan berinovasi, yakni mulai memperluas kategori, dari mulai majalah anak-anak, majalah keluarga, hingga majalah wanita.
Publikasi majalah wanita, menjadi 'pasar' yang paling menguntungkan. Salah satunya, yakni majalah wanita Amerika 'Godey's Lady's Book' yang terus-menerus dicetak dari tahun 1830 hingga tahun 1898. Majalah ini, memang secara khusus diperuntukkan kepada para pembaca wanita.
Setelah melewati masa jatuh-bangun, rupanya membuat majalah semakin bersinar dan menjadi daya tarik massa yang amat memikat. Majalah seakan terus melahirkan topik-topik yang mampu memeluk para pembaca, seperti 'Saturday Evening Post' yang menyajikan konten/topik berupa seni, travel, sejarah, serial, hingg cerpen, dan terus diterbitkan setiap minggunya. Hal ini kemudian melahirkan sebuah tren baru, yakni 'Miscellanies Sastra'.
Apakah selesai sampai disini?
Tentu saja tidak. Majalah lagi-lagi tidak kehilangan ide dan inovasi. Model dan kategori baru terus diluncurkan, salah satunya di tahun 1923, yakni dengan hadirnya majalah 'Time' yang diprakarsai Henry Luce dan juga Briton Hadden. Majalah ini memperkenalkan nuansa bergambar dan menjadi majalah jurnalistik foto.
Mulai Berlabuh Ke Indonesia
Secara global, industri majalah terus digerakkan, pengaruh besar kian dirasakan oleh masyarakat melalui majalah, sebab bukan hanya berisi pengetahuan saja tetapi juga hadir ragam hiburan. Geliat 'industri majalah' ini kemudian turut pula menggerakkan dan mewarnai penerbitan di Indonesia.
Majalah mulai berkembang pada masa-masa penjajahan (Belanda), yakni dengan tajuk pertama kalinya 'Tijdschrift voor Indische Taal Land En Volkenkunde' atau singkatnya bisa disapa 'TGB' yang lahir pada tahun sekitar 1853 dan memiliki arti 'Kebebasan dan Antropologi Hindia Belanda'.
Apakah masih lanjut terbit?
Tentu saja, masih! Majalah kian mewarnai hari-hari Tanah Air Nusantara. Sederhananya, perjalanan majalah dahulu bisa dilihat secara masa, dari mulai majalah sebelum kemerdekaan, masa kemerdekaan (1945), kemudian orde lama, hingga orde baru.