Mohon tunggu...
Dina Amalia
Dina Amalia Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Bouquiniste

Biasa disapa Kaka D! ~ Best In Opinion Kompasiana Awards 2024 ~ Hidup pada dunia puisi dan literasi | Etymology Explorers | Mengulik lebih dalam dunia perbukuan | Contact: dno.dwriter@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Book Artikel Utama

Review Buku "Apakah Saya Juga Gifted?", Menemukan Diri Lewat Krisis, Trauma, dan Tragedi

6 September 2024   18:30 Diperbarui: 8 September 2024   07:11 782
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto: Dokpri / Dina Amalia (Buku 'Apakah Saya Juga Gifted?')

"Punya trauma apa, Kak?" pertanyaan to the point yang ditanyakan tim medis di ruang CT Scan 11 tahun lalu. Tubuh yang sudah terbaring dan hendak dibius, agaknya dipastikan lebih dulu terkait riwayat kesehatan khususnya mental yang membuat kepala terasa berdenyut selama 14 hari berturut-turut dan harus terbaring di rumah sakit buntut  hukuman yang diberikan seorang guru.

Jawaban singkat dan padat langsung terucap, "Kebakaran di umur 5 tahun", tim medis yang berjumlah sekitar 5-7 orang mengangguk dan tersenyum. Selain, akan melihat lebih rinci terkait organ dalam kepala yang kemungkinan mengalami masalah, tim medis berusaha mencari akar masalah penyakit dengan mengaitkan dan menganalisisnya dari masalah yang baru saja terjadi, riwayat trauma, dan rekam medis.

Ingatan akan sebuah tragedi terus membekas, tanpa disadari terlanjur dirawat oleh diri dan pikiran hingga menjadi sebuah 'trauma', tetapi dilain sisi hal itu tidak mengubur ribuan impian saya, tetap belajar, berkembang, berdampingan dengan trauma. 'Ingatan yang kuat' menuntun saya kepada sebuah pena dan kertas, ketika pertama kali menuangkan ingatan pada sebuah tulisan yang pada akhirnya, ingatan itu kini sedang dikemas dalam sebuah karya sastra dan akan segera dibuku-kan.

Trauma, tragedi, bullying, dan kesehatan mental belakangan ini kerap menjadi topik pembahasan yang cukup serius. Selain membaca dan mendengar mengenai hal ini di media, belum lama harus menyaksikan langsung di mana orang terdekat menjadi korban bullying di lingkungan kampus dan secara bersamaan beliau mengalami trauma yang cukup mendalam hingga kesehatan mental dirinya terganggu.

Ketika menyaksikan seseorang melewati masa krisis, saya menyadari bahwa orang tersebut 'memiliki diamond' yang belum tentu orang lain bisa miliki, dan sering kali 'diamond' itu berusaha disenggol, ingin dijatuhkan supaya pecah, hingga ingin diambil. Fokus saya kepada empat serangkai ini (trauma, tragedi, bullying, kesehatan mental) semakin bertambah saat diberi kesempatan untuk membaca buku "Apakah Saya Juga Gifted?" karya Nancy Dinar. Dalam hati, sebenarnya agak ragu dan sedikit penolakan ketika ingin membaca buku ini, mengingat kondisi yang ingin sekali meluangkan pikiran dan menyelesaikan karya di bulan kelahiran ini.

Judul: Apakah Saya Juga Gifted? Menemukan Diri Lewat Krisis, Trauma dan Tragedi
Penulis: Nancy Dinar
Penerbit: Stiletto Book
Cetakan & Terbit: Cetakan 1, Mei 2024
Bahasa: Indonesia
Jumlah Halaman: 213
ISBN: 978-623-409-388-9

Apakah Saya Juga Gifted? termuat 8 bab yang diiris kembali menjadi beberapa sub bab. Ketika membaca karya Nancy Dinar ini rasanya relate dan sesekali sebagai pembaca nyeletuk "Kok sama ya."

Buku ini diakui oleh penulisnya sebagai hasil dari pergulatan batin yang dialaminya. Ketika membaca, agaknya kaku, namun setelah dimaknai secara mendalam, setiap kalimat yang dirangkai memiliki tujuan, bukan asal bunyi saja. Penulis mengemasnya menggunakan beragam kisah hidup seseorang yang diangkatnya untuk menjadi contoh nyata, dan yang paling menguatkan adalah didampingi menggunakan teori.

Isi buku ini berputar pada roda kisah kehidupan penulis, dari mulai dirinya, anak, teman, keluarga, hingga para orang tua, namun penjabarannya sangat relevan dengan permasalahan yang sering terjadi di lingkungan kita, khususnya masalah diri sendiri (potensi, memori, perilaku, pemulihan dan penemuan diri), parenting, hingga pendidikan. Buku ini tertuju untuk teman-teman yang memang suka menyelami topik giftedness, kesehatan mental, hingga pembentukan personaliti.

Giftedness, Tragic Gift, dan Pembentukan Personaliti

Berikut menjadi poin menarik dari bab 1-3, di mana penggambarannya persis dengan pergulatan diri remaja beranjak dewasa yang merasakan dirinya 'bukan apa-apa':

Giftedness

Sebelum lebih mendalam, bagi sebagian pembaca mungkin masih bingung, gifted tuh apasih? Ada juga yang mungkin sudah tau dan berpandangan bahwa gifted merupakan anak-anak genius dan ber-IQ tinggi.

Buku ini mencoba memberi petunjuk, bahwa gifted dan giftedness sendiri menjadi konsep yang sampai saat ini masih / bahkan terus berkembang. Namun, bisa dipahami, bahwa giftedness bukan hanya sebuah kemampuan intelektual dan bakat saja, melainkan mencakup kepekaan diri pada stimuli yang mampu melahirkan pengalaman psikis yang berlimpah.

Seorang gifted mempunyai jalan pikir yang kreatif dan kompleks, otaknya bagaikan dinamo ide yang tidak ada ujungnya.

Tragic Gift

"Ah, gua mah orang biasa-biasa aja. Bukan lulusan universitas unggulan.'

"Ah, gua gabisa bahasa inggris. Berhubungan dengan angka juga ngga mampu."

"Kalau soal ngomong di depan umum, bukan gua jagonya, malu."

"Apa yang dibanggain dari diri gua? Nerima penghargaan aja ngga pernah."

Pernah ngga bergumul dengan pikiran seperti itu tentang diri sendiri? Sudah menganggap diri sendiri bukan apa-apa, apalagi gifted. Krusialnya memang terjadi pada remaja yang sedang beranjak menjadi seorang dewasa, ketika mulai memasuki masa-masa kuliah ataupun bekerja.

Namun sebaliknya, pernah ngga mendengar "Ada bayi yang usianya baru 2 tahun, tapi sudah hafal nama-nama negara", "Anak 5 tahun, tapi sudah menguasai beberapa bahasa sekaligus.", "Ada anak 11 tahun sudah kuliah", "Si A pinter banget, pantes ditunjuk lomba ke luar negeri".

Sadar atau tidak, seseorang yang juga memiliki kemampuan tergolong tinggi selalu dihantui tuntutan yang besar dan beban yang dipikulnya amat berat. Lingkungan dan publik seraya menantikan atau 'berekspektasi lebih' dari orang ini. Pun sebaliknya, jika ia gagal dalam mencapai dan 'memuaskan' publik yang menggantungkan harapan padanya menjadi kecewa, bahkan kegagalannya amat diaduh-aduhkan.

Bagian ini serasa cermin bagi saya bahkan lingkungan yang sering menganggap diri sendiri ngga seberharga orang lain, Nancy Dinar membawa bagian ini dengan sangat jelas, dari mulai contoh nyata yang digambarkan sampai pada sebuah pesan menyentil seraya membangunkan pembaca, bahwa seseorang yang disebut-sebut sebagai ber-IQ tinggi atau orang mapan intelektual tidak menjamin sebuah kesuksesan.

Tanpa disadari, kita yang menganggap diri sendiri biasa-biasa saja, rupanya selalu punya semangat untuk belajar hal baru, peduli dengan kondisi sosial, aktif diberbagai aktivitas sosial atau pendidikan, yang kalau dipeluk lebih erat lagi seperti baru terasa hangat 'oh iya, rupanya gua lebih tertarik dan nyaman melakukan hal kecil yang bisa berguna untuk orang banyak', tanpa sadar ini juga merupakan gifted, melakukan hal kecil yang berimpact besar sambil mencari-cari jati diri, dan mungkin ternilai diluar intelektual/materi, tetapi punya aksi yang besar.

Pembentukan Personaliti

Sebagian dari kita, mungkin juga sering menerka-nerka, "Kok ada ya orang pinter, pendidikannya tinggi, tapi kelakukaannya negatif/buruk", "Kok ada ya pemuka agama yang sudah jelas ngajarin tentang rasa kasih sayang, tapi dirinya sendiri malah punya dendam, bahkan saat membawakan topik tertentu suka berapi-api", dan semacamnya.

Apa yang sering kita terka dikehidupan nyata, juga ditulis dalam Apakah Saya Juga Gifted? dan bagian personaliti ini si penulis mencoba mengungkap dengan menggunakan sebuah teori, bahwa setiap perkembangan diri seseorang bukan ditentukan dari suksesnya akademis, menjadi tokoh terhormat, ataupun pencapaian-pencapaian yang telah diraihnya.

Menuju pribadi kokoh untuk menjadi manusia sejati membutuhkan sebuah proses. Suatu tahapan yang hanya dapat diperoleh seseorang yang mengalami suatu konflik internal adalah disaat mencari identitas dirinya dalam lingkungan/masyarakat. Ketika hal ini terjadi, maka jadilah personaliti seseorang akan terbentuk.

Buku ini menggambarkan, bahwasannya personaliti menjadi atribut yang sifatnya tidak tetap, bisa dikembangkan oleh si individu, namun tidak mampu diciptakan oleh faktor eksternal tanpa adanya sebuah kontribusi dari dalam dirinya.

Lika-Liku Pendidikan

Selain pergulatan diri, personaliti, kesehatan mental, memasuki bab 4 buku ini mulai menyorot terkait pendidikan.

Penggambaran trauma yang ditulis secara jelas dari buku ini sama seperti poin-poin sebelumnya, sangat relate! Seperti ungkapan salah satu orang tua dibuku ini, disaat anaknya mendapatkan perlakukan kurang mengenakan dari guru dan temannya, yaitu selalu dihindari karena anaknya aktif dan memiliki kelebihan. Ada juga yang ditegur dengan omongan yang 'kedengarannya biasa' namun 'membekas' untuk siswa dan menurunkan semangat belajarnya, seperti yang diungkap dari buku ini, di mana seorang anak malu ketika ada seorang guru menegur "Tulisan kamu seperti anak kelas satu".

Tanpa disadari, hal kecil inilah yang berdampak besar untuk perkembangannya. Perlu diketahui, bahwa ada sebagian anak yang terbilang sangat sensitif sekali karena menyimpan luka dari semasa kecilnya, dan perlakuan salah yang malah diterima di sekolah tanpa sadar sangat memperngaruhi pola bejalarnya bahkan terus belanjut.

Penggambaran dalam buku ini, mengingatkan saya ketika menempuh perjalanan pendidikan, seperti yang sedikit sudah saya ungkap pada paragraf awal lembar pertama, di mana sekolah menjadi tempat yang paling saya takuti. Tidak di semua lingkungan, tapi entah saya berturut-turut merasakannya.

Dari sikap teman yang selalu mengejek sesama, sikap guru yang menghukum siswa dengan fisik, guru yang tidak suka dengan kelakuan siswa dan berakhir pemilih, dibeda-bedakan, dibully secara verbal dan fisik oleh teman yang herannya guru ikut menertawakan, cita-cita berhenti hanya karena guru tidak suka dengan siswa dan alhasil tidak diloloskan seleksi.

Ketika lulus sekolah wajib, kiranya sudah cukup, nyatanya terus berlanjut.

Sebagian dari kita mungkin juga pernah mendengar atau bahkan sudah merasakan, di mana kita sedang/akan menuju jam belajar, tetapi kita yang dituntut untuk mengerti 'mood' sang pengajar, jika tidak dituruti ia akan ngambek. Ketika sudah membuat janji untuk bimbingan belajar, tetapi begitu datang tepat waktu malah ditolak dengan alasan 'sedang tidak mood'.

Banyak hal dengan alasan ngga masuk akal, tapi diterapkan, herannya bertahun-tahun lamanya. Seharusnya yang dititipkan diajarkan dengan baik, justru menjadi pertanyaan.

Tak lain, tak hanya saya, semua perlakukan kurang mengenakan tertuju pada anak yang berbeda, baik secara fisik ataupun intelektual (memiliki kecerdasan diatas rata-rata). Sesuai yang dibahas pada buku ini, anak-anak tersebut diungkap sebagai anak gifted.

Hal-hal di atas, sinkron dengan halaman 64, 'anak-anak berbeda' atau anak gifted dan pemikirannya yang tidak selalu bisa diterima oleh orang lain, karena mereka memiliki ide-ide luar biasa yang tidak mudah untuk dicerna. Lainnya, ditemukan ketika hadir anak yang berani melawan norma, seperti ketika di dunia kampus ada mahasiswa yang amat memperhatikan keadilan akibat dari lingkungannya yang sering berbuat ketidakadilan dan ketidaksejajaran, alhasil ia melawan secara positif entah menegur, hingga menyampaikan ke petinggi. Bagi sebagian mahasiswa yang sadar akan keadilan hal itu adalah positif, tapi bagi orang yang selama ini diuntungkan dari ketidakadilan langsung memandangnya sebagai 'anak berbahaya', 'anak berbeda'.

Sikap di atas, bagi buku ini adalah orang gifted, yang idealisme, memiliki standar moral yang amat tinggi, peka terhadap masalah kemanusiaan, perfeksionis, sangat terganggu sekali dengan ketidakadilan.

Setiap anak punya keunikannya masing-masing, bahkan terbilang berbeda-beda, sesederhana ada anak yang sensitif, ada anak yang cuek, ada anak yang netral-netral saja, semua berkembang dari pengalamannya masing-masing.

Sekolah menjadi kunci untuk anak-anak memperoleh pendidikan otentik, yakni yang bisa menghargai keunikan diri mereka sebagai individu dan mampu memberikan kesempatan supaya personaliti dapat terbentuk.

Lantas, bagaimana bisa disejajarkan dalam dunia pendidikan kita? Buku ini mengungkap, orang tua dan guru yang semestinya mencari sebuah cara untuk menyediakan model pendidikan yang terbilang lebih manusiawi, yakni dengan maksud pendidikan yang mampu meningkatkan perkembangan kepribadian dan menghargai setiap keunikan dari masing-masing individu.

Sama halnya dengan beragam alat musik pada orkestra, meski berbeda secara perlakuan dan cara mainnya, tetapi secara bersamaan mampu menghasilkan alunan musik yang amat indah.

Perspektif Kesehatan Mental

Lika-liku yang ditemukan dalam konflik pembentukan personaliti, lingkungan, dan pendidikan, seraya berkelok ke arah gangguan mental tanpa disadari, dari mulai terganggu, cemas, depresi selalu menghantui.

Belum lagi jika harus berhadapan dengan berbagai stigma negatif, seperti dianggap 'gila', 'berbahaya', 'sakit', 'lemah', hingga ejekan-ejekan yang sering melayang.

Padahal, disisi lain gangguan kesehatan mental tidak selalu berhubungan dengan sesuatu yang negatif. Banyak karya kreatif dan inovasi telah dilahirkan dari orang-orang yang mengalami gangguan kesehatan mental, mulai bidang seni hingga ilmu pengetahuan. Orang-orang hebat itu diantaranya adalah Vincent van Gogh yang menghasilkan karya-karya lukisan, Edvard Munch yang telah melahirkan karya terkenal 'The Scream', dan orang hebat serupa lainnya.

"There is no great genius without some touch of madness." kalimat yang digambarkan oleh penulis untuk mereka yang dicap mengalami gangguan mental, terlebih tetap membuka dirinya untuk melahirkan karya.

"Integritas personal yang tinggi, menjadi pribadi yang utuh, tidak banyak konflik, dan kemampuan untuk mengetahui potensi diri dan menjadi lebih produktif."

Itulah bunyi salah satu makna dari kesehatan mental yang diungkap pada buku ini, dilain sisi penulis lagi-lagi menyadarkan dengan kalimat yang berbunyi:

"Sekedar sadar akan potensi diri tidak cukup, seseorang harus bertanya, 'Potensi apa dan menuju kemana?'"

Seseorang yang mengalami gangguan mental sering mendapatkan stigma negatif, akan tetapi seseorang yang sehat secara mental pun tidak bisa bebas dari disintegrasi hingga konflik dalam perkembangannya.

Buku ini menjabarkan dengan rinci apa  yang sebenarnya dibutuhkan dari gangguan kesehatan mental, satu diantaranya lagi-lagi mengarah pada pendidikan. Perilaku mental yang sempit dan kaku, semestinya bisa dibebaskan melalui sistem pendidikan, yakni bertahap mulai dari sekolah yang menggantungkan sebuah kolaborasi antara guru, orang tua, hingga konselor untuk menerapkan sebuah metode pembelajaran yang positif, sehingga bisa mencegah penyakit mental yang bahkan dalam waktu bersamaan bisa mengembangkan kesehatan mental khususnya  pada pelajar.

Kesimpulan

Masing-masing dari kita berjuang dari berbagai konflik, sering menyalahkan diri sendiri, saking banyaknya konflik yang kita hadapi terkadang membuat kita mendapat cap dari lingkungan, dan yang paling kita lupa selama ini adalah menjadi kesulitan untuk kenal dengan diri sendiri, apa yang kita butuhkan, apa yang kita mau, apa yang membuat kita takut.

Dari konflik yang sering kita hadapi, entah krisis, tragedi, sampai trauma membuat kita lupa, sebenarnya yang mengantarkan semua ini siapa? Apakah benar diri kita? Kalau iya, dari cara berpikir dan sikap apa yang mengantarkan kita ke titik ini?

Buku Apakah Saya Juga Gifted? mengantarkan kita untuk menemukan jawabannya. Kita sering lalu-lalang dari konflik ke konflik, tapi sayangnya sedikit banyak belum mengetahui arti Gifted yang secara tidak sadar, kita salah satunya.

Bagi saya buku ini turut membantu menemukan seluk diri kita yang selama ini belum kita kenal atau mungkin kita abaikan, entah trauma, tragedi, bahkan dari hal kecil sekalipun. Dituntun melalui kisah ke kisah yang relate dengan kondisi sosial membuat kita bertemu dengan keadaan diri yang selama ini terkubur.

Garis Besar Buku

Secara bahasa yang digunakan, bagi saya pemeluk bahasa sehari-hari agaknya masih sedikit kaku dan berputar, ada beberapa ejaan yang ketika dibaca masih agak sulit untuk bisa saya cermati.

Secara alur, bagi saya pribadi perlu beberapa waktu untuk mencerna, karena setiap halaman punya kisah atau contoh nyata yang berbeda-beda. Jadi semacam, baru duduk sudah berdiri lagi. Namun, begitu dibaca ulang baru saya paham betul apa maksud si penulis.

Pengetikan atau finalisasi, dari buku ini beberapa halaman saya temukan ada yang miss, alias ada kata yang typo/double, kata yang double inilah yang menjadikan pembaca terkadang jadi bingung atau muter. Ditemukan juga kalimat yang tidak memiliki spasi.

Secara isi dan garis besar, buku ini menginspirasi saya untuk mengenal diri sendiri dan tidak takut dengan hal-hal yang tanpa disadari sudah kita miliki. Buku ini membuat saya percaya bahwa dalam menghadapi krisis, setiap orang tidak pernah sendiri. Terlihatnya sebuah kekurangan di mata orang lain, ngga menutup diri untuk terus berkarya dan berkembang menjadi pribadi yang kokoh.

Last but not least, buku ini bernilai tinggi, membantu seseorang menemukan dirinya yang selama ini terkunci rapat-rapat.

Penulis: Dina Amalia

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun