Kerap dibuktikan ketika menemukan ragam buku yang terbit dari 1930-an dan benar-benar berkualitas, sekalipun menggunakan bookpaper yang sering dihindari pembeli saat ini. Perekat hingga kertas yang digunakan zaman dulu dominan sangat kokoh dan tebal, bahkan ketika sudah tersimpan dalam waktu yang lama kertasnya tidak timbul bercak. Sisi ini agaknya sangat jauh berbeda jika dibandingkan dengan masa saat ini, di mana buku bajakan sudah menjamur dan oknum mencari celahnya melalui pemilihan kertas.
Tidak hanya sekedar dari fisik buku, tetapi juga isinya yang amat berkelas, sebagian besar dokumen/potret yang tercakup pada buku lawas kemungkinan sudah sangat sulit untuk ditemui dalam bentuk file dan hanya bisa kita nikmati ketika langsung membacanya melalui buku tersebut. Sebagai contoh seperti arsip perjuangan pascaperang tahun 1948 yang memperlihatkan wajah Indonesia di masa awal kemerdekaan melalui potret masyarakat di Batavia. Potret tersebut diabadikan dan diperlihatkan melalui Majalah National Geographic.
Jayanya negara tercinta ini disatukan dan dibangun oleh banyaknya buah pemikiran dahsyat dari para tokoh bangsa yang terjaga dan diarsipkan ke dalam sebuah buku. Dari banyaknya perbedaan, para tokoh kokoh menyatu-memikul membangun bangsa ini.
Romantisme buku lawas, mesra mengabadikan torehan sejarah, para tokoh yang memberikan saksi perjalanan bangsa.
Semoga bermanfaat. Sehat-sehat selalu untuk kamu yang sedang membaca artikel ini.
Penulis: Dina Amalia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H