Penulis: Dina Amalia
Apakah kamu pernah menjumpai orang yang hobi membeli buku? Atau mungkin kamu sendiri sering membeli buku dengan jumlah yang cukup banyak? Kira-kira ketika kamu sudah membelinya, apakah yakin akan dibaca semua?
Jika hanya sekedar membeli, namun tak pernah dibaca satupun, bisa jadi kamu mengalami yang namanya Tsundoku.
Istilah atau sebutan tsundoku kembali mencuat beberapa tahun terakhir ini pada dunia buku, yakni istilah yang berasal dari bahasa Jepang dan memiliki arti membiarkan benda-benda yang sifatnya tertulis bertumpuk atau menumpuk.
Kemudian, semakin luas digunakan sebagai julukan untuk seseorang yang memiliki kebiasaan membeli buku, namun belum tentu akan dibaca dan berakhir menumpuk terbengkalai.
Sah-sah saja, apabila ingin membeli buku dari berbagai kategori bahkan dengan jumlah yang cukup banyak. Namun, akan menjadi sebuah masalah apabila buku-buku yang telah dibeli malah dibiarkan begitu saja, menumpuk dan tidak pernah dibaca. Fenomena ini hangat terdengar sejak Zaman Meiji sekitar tahun 1868 sampai 1912.
Istilah ini cukup berbeda dengan kolektor buku yang umumnya membaca buku-buku dengan kategori tertentu sampai tamat, kemudian menaruh dan merapikan buku-buku tersebut di suatu ruangan.
Biasanya tidak hanya dirapikan dan disimpan begitu saja, melainkan akan dibaca kembali meski sudah tamat atau sudah berulang kali.
Penyebab Umum Munculnya Kebiasaan Menumpuk Buku
1. Lapar Mata
Baik yang suka membaca ataupun tidak, ketika berkunjung ke pameran buku atau ke toko buku pasti akan merasa senang melihat begitu banyak buku, apalagi jika berbagai kategori tersedia.
Selain itu, tampilan-tampilan dari buku, seperti sampul atau cover, aroma, hingga warna kerap menggoda dimata. Hal ini yang kerap kali membuat tergiur untuk bisa membelinya sekaligus dengan jumlah yang banyak tanpa memikirkan apakah benar-benar akan dibaca.
2. Tertarik karena Blurb
Selain dari tampilan buku, Blurb juga menjadi deskripsi atau cuitan singkat promosional yang sangat menarik. Ketika membacanya sering kali timbul rasa 'sepertinya buku ini bagus', bahkan jika membaca blurb dari beberapa buku sampai bingung mau beli yang mana karena dirasa semuanya bagus, dan pada akhirnya akan dibeli semua. Padahal, belum tentu ada niat untuk lanjut membacanya.
3. Iklan dan Harga Murah
Berbeda dari iklan pada umumnya, iklan buku terkadang lebih spesifik mengajak para pencinta buku untuk langsung ke tahap pembelian, dimana biasanya langsung tersedia ajakan untuk membeli dalam jumlah bundel atau hanya sekedar terdapat bonus.
Sebagai contoh, si pengiklan menyampaikan informasi bukunya dalam bentuk sinopsis yang diolah ke dalam sebuah video, dan diakhir video hingga deskripsinya akan tertera paket bundel buku yang dijualnya, misal 5 buku (seri buku yang berurutan) diobral dengan harga 70.000.
Hal tersebut, kerap kali membuat si pembaca merasa tertarik untuk membelinya, karena berpikiran 'dengan harga murah yang diberikan sudah bisa mendapatkan beberapa buku sekaligus'.
Memang murah dan praktis, namun membuat terkecoh akan kegunaan buku yang dibelinya, karena hanya tergiur, bukan butuh. Alhasil, belum tentu akan digunakan dengan sebenar-benarnya, bahkan hanya akan tertumpuk begitu saja.
4. Mengejar Validasi
Mewarta dari Good News From Indonesia, satu diantara penyebab utama munculnya kebiasaan menumpuk buku, yakni ingin mengejar validasi. Di mana ada hasrat membeli banyak buku hanya untuk ditumpuk saja, beralasan sekedar merasakan sensasi memiliki buku banyak dan mendapatkan sebuah validasi sebagai individu yang pintar.
Bahaya Tsundoku
1. Bahaya untuk Kantong
Dalam kebiasaan ini memang tidak ada bahaya yang timbul secara medis, melainkan secara kantong alias keuangan.
Memang benar, harga buku sangatlah beragam dan mahal-murahnya juga bisa ditentukan oleh kondisi buku. Namun, apabila membelinya secara berlebihan dengan waktu yang cukup sering atau berkala, maka sama saja menjebak diri sendiri ke dalam perilaku yang konsumtif.
Alhasil, selain menyia-nyiakan barang yang berguna, juga menghabiskan keuangan dengan percuma.
2. Menjadi Sarang Kuman
Lain halnya dengan kolektor buku yang sudah menyiapkan tempat khusus untuk menyimpan dan merapikan buku yang telah dibaca.
Bagi orang yang memiliki kebiasaan ini, biasanya tidak memikirkan tempat atau prepare terlebih dahulu, karena ketika membelinya saja tidak pikir panjang, pada akhirnya akan mengarah pada tempat yang seadanya.
Jika, ditumpuk begitu saja, apalagi masih membeli buku-buku secara terus-menerus, maka lama kelamaan akan berdebu, dan tentunya akan menjadi sarang bakteri atau kuman.
Tips Mengurangi Kebiasaan Membeli Buku Berlebihan
Dalam hal ini memang hanya sebuah kebiasaan dan kembali kepada hak pribadi mau atau tidaknya mengurangi kebiasaan membeli sesuatu yang berlebihan. Namun, akan lebih baik jika bisa dan mau memperbaiki kebiasaan ini secara perlahan.
Berikut tips-tips mengurangi kebiasaan membeli buku secara berlebihan yang dapat diterapkan:
1. Stop membeli, luangkan waktu untuk membaca
Jika, buku-buku sudah terlanjur dibeli, tidak masalah. Bisa mencoba berhenti sejenak untuk tidak membeli buku dalam beberapa waktu ke depan dan mulai meluangkan waktu untuk bisa membaca buku-buku yang sudah dibeli tersebut.
Dari proses ini, selain bisa menjelajahi pengetahuan-pengetahuan yang baru, juga mendapat pelajaran berharga untuk bisa mensyukuri semua yang telah didapatkan.
2. Membuat target membaca
Membuat target sendiri bertujuan agar bisa mengukur kapasitas kita dalam membaca dan supaya bisa terus termotivasi untuk membaca hingga mengeksplorasi berbagai genre buku.
Membuatnya mudah saja, misal dengan menargetkan untuk membaca sekitar 10-15 halaman per harinya, atau bisa juga menargetkan dengan waktu, misal per hari setidaknya harus meluangnya waktu selama 1 jam untuk membaca.
Dalam target ini, kita bisa menandainya dengan pembatas, tanda tangan, ataupun sisipan note guna memancing rasa minat baca kita.
3. Membuat perencanaan dalam target pembelian buku
Sebelum melakukan pembelian, sebaiknya bisa dimulai dari menentukan dana.
Seperti, dengan menargetkan dana untuk satu bulan, mau mengeluarkan berapa rupiah untuk membeli buku? Misalnya cukup 100.000 saja dalam satu bulan, maka ketika ada buku yang ingin kamu beli tapi harganya diatas angka tersebut, tentu harus menahan diri dan belajar tidak memaksa beli.
Jadi, proses penargetan ini fungsinya supaya tidak kebablasan pada saat ingin membeli buku.
4. Mencari referensi sebelum membeli
Supaya tidak lapar mata atau kalap semua buku bagus ingin dibeli. Sebaiknya merencanakan dengan matang terlebih dahulu, buku apa saja yang benar-benar dibutuhkan dan pasti dibaca.
Kita bisa dengan mudah mencari berbagai referensi per genre buku melalui internet, seperti dari official penerbitnya atau marketplace, kemudian perhatikan secara detail tentang buku tersebut dari mulai blurb, sinopsis, daftar isi, hingga ulasan para pembacanya.
Sama seperti penargetan dana, lebih baik direncanakan supaya tidak kebablasan.
5. Jika terlanjur menumpuk, bisa dijual atau disumbangkan
Jika, buku-buku yang kamu beli sudah terlalu penuh/menumpuk dan mungkin membuat kamu tidak berniat untuk membacanya kembali, bisa sekali untuk disumbangkan supaya bisa terus bermanfaat untuk orang banyak, seperti ke taman baca, perpustakaan, hingga lapak.
Namun, jika kamu tidak berkenan untuk disumbangkan, bisa juga untuk dijual kembali, seperti melalui online yakni marketplace, ataupun dijual secara langsung/offline ke lapak.
Itulah tsundoku, sebuah istilah yang menggambarkan kebiasaan seseorang dalam membeli buku tapi tidak pernah dibaca. Memang, Tidak ada yang salah jika ingin membeli buku, asalkan benar-benar dibaca, supaya tidak mubazir dan sia-sia.
Semoga bermanfaat dan menambah wawasan dalam mengenal luasnya dunia buku ya. Sehat-sehat selalu yaa untuk kamu yang lagi membaca artikel ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H