Sebuah berita dari sebuah Youtube channel ini begitu menarik perhatian penulis:
Diceritakan seorang anak berusia kurang lebih 4 tahun telah menghilang dari rumahnya.
Rumah bocah ini terletak di daerah yang cukup remote sehingga masih dikelilingi oleh hutan-hutan kecil.
Bocah ini telah menghilang selama 3 hari lamanya. Orang tua si bocah sudah pontang-panting mencari dan melapor kepada pihak berwajib.
Setelah pencarian yang sulit selama 3 hari, orang tua si bocah mulai kehilangan harapan.
Di hari ke-4, akhirnya ditemukanlah bocah ini.
Dan tebak apa yang sedang dia lakukan.
Dia sedang santai mengumpulkan air dengan cerukan tangannya untuk dia minum.
Dia baik-baik saja, dan di foto, wajahnya datar saja ketika tim SAR berhasil menemukannya.
"Ya, ada apa?" seolah pertanyaan ini yang ada di wajah si bocah.
Penulis tidak membayangkan apabila dirinya, his younger self yang berusia 4 tahun, masuk dan hilang di hutan selama 3 harl. Mungkin saya tidak akan bertahan selama itu; besar kemungkinan saya sudah kehilangan kesadaran sejak 1 jam pertama karena lelah menangis dan ketakutan.
Entah apa yang akan saya lakukan. Saya yang sudah remaja saja pasti ketakutan tiada tara apabila harus bermalam di hutan sendirian tanpa perlengkapan yang memadai.
Membayangkan ada mbak-mbak yang menyapa dari belakang saya, tetapi eh sewaktu ditoleh tidak ada siapa-siapa.
Ih, ngeri sekali!!
Si bocah hilang ini ternyata adalah Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) dengan spectrum autisme. Maka dia 'suka' bereksplorasi dan asyik-asyik saja sendirian di dalam hutan selama berhari-hari, tanpa rasa takut. Penulis sempat membaca bahwa anak-anak dengan spectrum autisme memang seringkali hidup di dalam dunianya sendiri, dan menikmatinya.
Bagi penulis, ini bukan hanya sebuah berita, tetapi cerita yang cukup membuka mata.
***
Andaikan saya meletakkan sebuah Nokia jadul di atas meja.
Si A dapat mengatakan, "Ini adalah sebuah telepon genggam lama."
Lain lagi, si C dengan soknya berkata, "Ini sampah."
Tetapi si B berkata, "Bukan, ini adalah manifestasi kerja keras saya. Ini barang mewah pertama yang saya beli dengan gaji saya sendiri."
Inilah mengapa penulis merasa penting untuk menjalin pertemanan dengan rekan-rekan dari background yang berbeda-beda.
Si Jeni yang pendiam. Dia tidak mungkin terseret di dalam drama pertengkaran perempuan-perempuan biang gossip di kelas yang akhirnya dipanggil guru BP.
Lebih baik, saya menanggapi gossip receh yang beredar dari mata si Jeni. Diam. Tidak responsif.
Si Boru yang sangat macho. Dia tidak takut apapun selain teriakan ibunya.
Lebih baik saya menunggu hasil nilai Ujian Sekolah dengan meminjam keberanian dia. Gagah, tanpa ragu dan takut. Yakin.