Di pinggir bagian luar bangunan dekat jendela, juga ada tempat duduk. Masuk ke dalam, ada tiga meja kecil. Satu di sebelah kiri dekat lemari kayu berisi tumpukan teh dan dua pada sisi sebelah kanan dekat tembok dan jendela.Â
Di sisi lain, ada meja bar tempat pramusaji dan artisan menyiapkan teh sesuai pesanan. Di ujung sana dari arah pintu, ada kumpulan poster yang menempel di dinding dan sebuah televisi tabung.
Di luar kedai, ada satu yang mata saya tangkap yang melengkapi suasana kedai tersebut, yaitu penjaga parkir motor yang merupakan seorang pria yang tampak sudah cukup lawas.Â
Dengan rambut putihnya, ia memakai seragam, topi, dan jam tangan emas. Gayanya dengan kedai itu cukup selaras. Ia berjalan ke sana ke mari mengitari parkiran yang cukup luas untuk satu kawasan perkiosan.Â
Rasanya seru jika duduk bersamanya mengisap tembakau dan menyeruput wedang. Umur setua itu, pasti banyak yang bisa ia ceritakan. Namun, saya tidak mau mengganggu pekerjaannya.
Saya tiba di sana sekitar pukul lima sore dan kondisi cukup ramai. Tidak hanya pria, wanita pun ada. Tidak hanya anak muda, orang tua pun datang.Â
Kami semua sama; dibuat tertarik untuk datang berkunjung, melihat-lihat sekitar, menyeruput teh yang disajikan, dan duduk barang sepuluh sampai lima belas menit.Â
Ditambah, mata akan berusaha meyakinkan diri dan hati akan tertegun sesaat ketika melihat menu karena harga minumannya cukup murah dan variannya cukup banyak.
Saya membaca penjelasan pada setiap menunya. Minuman teh yang disajikan merupakan campuran dari berbagai merk teh. Ada teh lokal dari Solo, Pekalongan, dan Karanganyar.Â
Beberapa wilayah di Indonesia, misalnya Solo, menyajikan teh dengan mencampur tiga sampai lima merek teh, kemudian diseduh dengan air panas dan ditambah gula. Teh tersebut disajikan dengan nasgitel: panas, legi (manis), dan kentel (kental).Â