Aku adalah layang-layang putus, terombang-ambing di angkasa tanpa tujuan.
Angin kehidupan meniupku ke sana kemari, tanpa pernah memberiku tempat untuk mendarat.
Aku, seorang mahasiswa, dengan segenggam mimpi di tangan, kini menggenggam hampa.
Gelar itu, seperti mahkota duri yang tersemat di kepalaku,
Mengilap di mata dunia, tapi menusuk jiwa yang meronta.
Janji-janji masa depan kini menjelma menjadi bayang-bayang kelam,
Bertumpuk seperti buku-buku di perpustakaan usang---berdebu, tak tersentuh, terlupa.
Setiap pagi, aku menyulam asa dari kain compang-camping kenyataan.
Aku mengetuk pintu-pintu kesempatan, tapi hanya gema sepi yang menjawab.
Surat lamaran kerja menjadi burung-burung kertas,
Diterbangkan ke angkasa, namun tak satu pun mendarat di tangan harapan.
Waktu, bagiku, adalah kereta yang melaju tanpa berhenti.
Aku duduk di peron, melihatnya pergi membawa penumpang lain---
Meninggalkanku dalam kerinduan yang kian mencekik.
Namun aku tak bisa menyerah, meski tanah tempatku berpijak kian longsor.
Kesabaran revolusioner ini adalah bara yang kupeluk erat,
Meski api membakar perlahan setiap sudut hati.
Aku percaya, di balik malam yang pekat, mentari akan terbit,
Menghapus kabut ketidakpastian dan menyinari jalan yang terjal.
Aku adalah benih yang terkubur di tanah keras,
Menanti hujan keadilan untuk menyuburkan akar.
Aku adalah pelaut yang terjebak di tengah badai,
Tapi pantang kembali sebelum menyentuh daratan impian.
Meski hari-hariku bagai gurun yang tandus,
Aku tahu, di bawah pasir yang gersang, tersimpan mata air kehidupan.
Aku percaya, di ujung lorong gelap ini,
Ada cahaya yang akan menyambutku---meski redup, ia nyata.
Karena aku, seorang mahasiswa yang menganggur,
Adalah perlawanan dalam diam,
Adalah perjuangan yang tak terlihat,
Adalah kesabaran yang berbalut luka---namun tak pernah menyerah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H