2. Kepemimpinan Sentral: Pemimpin nasional memiliki peran utama sebagai penggerak dan penentu arah politik. Demokrasi Terpimpin tidak memberikan ruang yang besar bagi fragmentasi politik.
3. Anti-Liberalisme: Demokrasi ini menolak mekanisme pemilu yang hanya mengutamakan suara mayoritas, tetapi mengabaikan substansi keadilan sosial.
Dalam konteks ini, Pilkada langsung yang berbasis suara mayoritas mungkin dianggap bertentangan dengan semangat Demokrasi Terpimpin. Soekarno lebih memilih pendekatan musyawarah untuk mufakat sebagai sarana memilih pemimpin, yang mencerminkan harmoni dan persatuan.
Pilkada Langsung: Benturan dengan Nilai Demokrasi Terpimpin
Pilkada langsung, yang mulai diterapkan pada tahun 2005, bertujuan untuk mendekatkan rakyat dengan pemimpin daerah mereka. Mekanisme ini dianggap sebagai wujud demokrasi partisipatoris. Namun, jika dilihat dari perspektif Demokrasi Terpimpin, beberapa aspek Pilkada langsung menimbulkan kritik:
1. Fragmentasi Politik:
Dalam Demokrasi Terpimpin, Soekarno mengutamakan persatuan nasional di atas segalanya. Pilkada langsung sering kali memunculkan polarisasi politik di tingkat lokal. Kompetisi yang ketat antar kandidat dapat menimbulkan perpecahan sosial di masyarakat.
2. Kelemahan Musyawarah:
Pilkada langsung berbasis pada suara terbanyak, yang sering kali mengabaikan proses musyawarah mufakat. Dalam Demokrasi Terpimpin, musyawarah menjadi cara utama untuk mencapai konsensus tanpa mengorbankan minoritas.
3. Biaya Politik yang Tinggi:
Soekarno mengkritik keras pengaruh kapitalisme dalam politik. Pilkada langsung kerap menjadi ladang praktik politik uang dan kampanye mahal, yang berpotensi melahirkan pemimpin yang lebih loyal kepada penyandang dana daripada kepada rakyat.