1. Tekanan Geopolitik: Dominasi dolar adalah salah satu instrumen kekuatan AS di kancah global. Upaya dedolarisasi seringkali direspons dengan sanksi atau kebijakan proteksionis dari AS.
2. Kesiapan Infrastruktur Finansial: Transisi ke sistem yang kurang bergantung pada dolar memerlukan infrastruktur keuangan yang memadai, termasuk dalam hal teknologi pembayaran dan kerjasama lintas negara.
3. Kerjasama Internasional: Dedolarisasi tidak dapat dilakukan secara unilateral. Indonesia perlu memperkuat aliansi dengan negara-negara mitra, khususnya di kawasan Asia Tenggara, untuk mempercepat proses ini.
Sementara itu, Marhaenisme menghadapi tantangan dalam konteks pasar bebas dan globalisasi. Dominasi korporasi multinasional dan kompetisi internasional seringkali menggerus daya saing UMKM, yang menjadi basis ekonomi rakyat kecil. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan protektif yang melindungi kepentingan rakyat kecil tanpa menghambat inovasi dan pertumbuhan ekonomi.
Kesimpulan
Marhaenisme dan dedolarisasi memiliki irisan yang kuat dalam semangat mewujudkan kemandirian ekonomi. Penerapan dedolarisasi di Indonesia dapat menjadi wujud konkret dari nilai-nilai Marhaenisme, yang mengedepankan keadilan sosial dan kemandirian rakyat. Namun, untuk mewujudkan cita-cita tersebut, pemerintah perlu mengatasi berbagai tantangan yang ada melalui kebijakan yang strategis, adaptif, dan inklusif.
Dengan mengintegrasikan prinsip-prinsip Marhaenisme dalam kebijakan dedolarisasi, Indonesia tidak hanya dapat mengurangi dominasi dolar tetapi juga memperkuat fondasi ekonominya untuk melindungi kepentingan rakyat kecil. Di tengah dinamika global yang terus berubah, langkah ini menjadi semakin relevan untuk memastikan kedaulatan ekonomi Indonesia yang berpihak pada rakyat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H