Mohon tunggu...
dimas muhammad erlangga
dimas muhammad erlangga Mohon Tunggu... Mahasiswa - Aktivis GmnI

Baca Buku Dan Jalan Jalan Live In

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Marhaenisme dan Amandemen UUD 1945: Menimbang Kembali Cita-Cita Keadilan Sosial

5 Desember 2024   07:56 Diperbarui: 5 Desember 2024   10:41 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Amandemen UUD 1945 merupakan salah satu tonggak penting dalam sejarah politik Indonesia. Dilakukan dalam empat tahap antara 1999 hingga 2002, amandemen ini dirancang untuk memperbaiki berbagai kekurangan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Namun, bagi para penganut Marhaenisme, amandemen ini menyisakan pertanyaan mendasar: sejauh mana perubahan tersebut tetap berpegang pada cita-cita keadilan sosial yang diperjuangkan oleh Bung Karno?

Marhaenisme, sebagai ideologi politik yang berakar pada pemikiran Soekarno, menempatkan rakyat kecil (Marhaen) sebagai subjek utama dalam pembangunan bangsa. Dalam konteks ini, segala kebijakan, termasuk kerangka konstitusi, seharusnya diarahkan untuk menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Namun, setelah lebih dari dua dekade sejak amandemen terakhir, berbagai tantangan dalam realisasi keadilan sosial tetap mengemuka.

### **Landasan Ideologis Marhaenisme**

Marhaenisme memiliki tiga prinsip utama: nasionalisme, demokrasi, dan sosialisme Indonesia. Ketiga prinsip ini saling berkaitan dalam upaya mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Dalam konteks konstitusi, UUD 1945 sebelum amandemen mengandung banyak pasal yang mencerminkan semangat ini, seperti Pasal 33 yang menegaskan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan, serta Pasal 34 yang mengatur kewajiban negara untuk memelihara fakir miskin.

Namun, setelah amandemen, beberapa penganut Marhaenisme berpendapat bahwa semangat kolektivisme dan keberpihakan kepada rakyat kecil mulai tergerus. Salah satu contoh adalah perubahan Pasal 33 yang membuka peluang lebih besar bagi liberalisasi ekonomi. Jika sebelumnya pasal ini secara eksplisit mengutamakan pengelolaan sumber daya oleh negara untuk kemakmuran rakyat, maka pasca-amandemen, ruang bagi privatisasi dan mekanisme pasar menjadi lebih besar.

### **Kritik Terhadap Hasil Amandemen**

Hasil amandemen UUD 1945 sering dikritik karena dianggap lebih mencerminkan semangat liberalisme dibandingkan semangat keadilan sosial. Misalnya, privatisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang terjadi sejak era reformasi kerap dianggap bertentangan dengan semangat Pasal 33. Data menunjukkan bahwa antara tahun 2000 hingga 2023, lebih dari 20 BUMN telah diprivatisasi, termasuk perusahaan strategis di sektor energi dan telekomunikasi. Hal ini mengakibatkan penguasaan sektor strategis oleh pihak asing dan swasta, sehingga mengurangi kontrol negara atas perekonomian.

Selain itu, Pasal 34 yang mengamanatkan perlindungan terhadap fakir miskin juga belum sepenuhnya terealisasi. Laporan BPS pada Maret 2023 mencatat bahwa angka kemiskinan di Indonesia mencapai 9,57%, yang setara dengan lebih dari 26 juta jiwa. Kondisi ini menunjukkan bahwa negara masih belum optimal dalam memenuhi kewajibannya terhadap rakyat miskin.

### **Marhaenisme dan Tantangan Globalisasi**

Di era globalisasi, tantangan bagi realisasi keadilan sosial semakin kompleks. Liberalisasi ekonomi yang dipercepat oleh amandemen UUD 1945 seringkali menjadi alasan mengapa kebijakan pro-rakyat sulit diwujudkan. Misalnya, pengaruh investor asing dalam pengambilan keputusan strategis kerap bertentangan dengan kepentingan rakyat kecil.

Namun, dalam pandangan Marhaenisme, globalisasi bukanlah sesuatu yang harus ditolak mentah-mentah. Sebaliknya, globalisasi harus diarahkan untuk memperkuat kemandirian ekonomi nasional. Oleh karena itu, revisi terhadap pasal-pasal yang terlalu berpihak pada liberalisasi perlu dilakukan. Salah satu usulan konkret adalah pengembalian semangat Pasal 33 ke prinsip asli, yaitu penguasaan negara atas sumber daya strategis.

### **Upaya Revisi dan Penyesuaian**

Dalam beberapa tahun terakhir, wacana untuk merevisi UUD 1945 kembali mencuat. Banyak pihak, termasuk organisasi yang berakar pada Marhaenisme seperti GMNI, mendesak agar amandemen konstitusi berikutnya lebih mencerminkan semangat keadilan sosial. Sebagai contoh, mereka mengusulkan penguatan peran negara dalam sektor pendidikan, kesehatan, dan energi.

Pada sektor pendidikan, anggaran 20% dari APBN yang diwajibkan oleh UUD pasca-amandemen telah menunjukkan dampak positif, tetapi pemerataan kualitas pendidikan masih menjadi masalah besar. Data pada 2023 menunjukkan bahwa indeks kesenjangan pendidikan antarprovinsi masih tinggi, dengan daerah-daerah di luar Jawa cenderung tertinggal.

Sementara itu, sektor kesehatan juga membutuhkan perhatian serius. Meskipun pemerintah telah meluncurkan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), banyak rumah sakit di daerah terpencil yang kekurangan fasilitas dan tenaga medis. Hal ini menunjukkan perlunya revisi kebijakan yang lebih proaktif untuk memastikan akses yang merata.

### **Arah Kebijakan Masa Depan**

Sebagai sebuah ideologi, Marhaenisme memberikan peta jalan yang jelas untuk mengarahkan kebijakan negara. Dalam konteks amandemen UUD 1945, beberapa langkah strategis yang dapat diambil antara lain:

1. **Revisi untuk kembali ke Pasal 33 yang asli**: Mengembalikan pengelolaan sumber daya alam ke dalam kontrol penuh negara untuk mencegah eksploitasi oleh pihak asing.

2. **Penguatan Pasal 34**: Menambahkan klausul yang lebih spesifik tentang kewajiban negara dalam menyediakan perumahan layak, akses kesehatan, dan pendidikan gratis bagi rakyat miskin.

3. **Penegakan Demokrasi Ekonomi**: Memastikan bahwa setiap kebijakan ekonomi harus melalui mekanisme partisipatif yang melibatkan rakyat kecil.

4. **Kemandirian Pangan dan Energi**: Mendorong investasi negara dalam sektor pertanian dan energi terbarukan untuk mengurangi ketergantungan pada impor.

### **Kesimpulan**

Amandemen UUD 1945 telah membawa banyak perubahan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, tetapi tidak semuanya sesuai dengan cita-cita keadilan sosial ala Marhaenisme. Oleh karena itu, revisi konstitusi yang lebih berpihak pada rakyat kecil menjadi kebutuhan mendesak. Dengan semangat Marhaenisme sebagai panduan, Indonesia dapat kembali ke jalur pembangunan yang berorientasi pada kepentingan rakyat banyak, bukan sekadar melayani kepentingan pasar atau oligarki.

Sebagaimana dikatakan Bung Karno, "Kemerdekaan hanyalah jembatan emas." Maka, tugas kita adalah memastikan jembatan ini benar-benar mengarah pada masyarakat adil dan makmur, seperti yang diamanatkan oleh para pendiri bangsa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun