Rencana pembangunan tol dalam kota di Bandung, seperti Bandung Urban Intra Toll Road (BIUTR) dan NS Link, mengundang perhatian luas. Dengan biaya Rp 7,83 triliun untuk BIUTR sepanjang 28,3 km dan Rp 12 triliun untuk NS Link sepanjang 14,3 km, proyek ini bertujuan mengatasi kemacetan yang telah menjadi masalah kronis kota Bandung. Kedua jalur tol ini dirancang untuk menghubungkan kawasan strategis seperti Pasteur, Cileunyi, Pasirkaliki, dan Pusdai, sekaligus terintegrasi dengan tol-tol utama lainnya di Jawa Barat.
Menyelami Masalah Kemacetan di Bandung
Kemacetan di Bandung adalah persoalan yang tak kunjung usai. Sebagai salah satu kota dengan tingkat urbanisasi tinggi di Indonesia, Bandung menghadapi lonjakan volume kendaraan pribadi yang signifikan setiap tahunnya. Menurut data Dinas Perhubungan Bandung, pertumbuhan kendaraan pribadi mencapai 7% per tahun, sementara kapasitas jalan hanya meningkat 0,5%. Akibatnya, warga Bandung kehilangan rata-rata 3-4 jam per hari akibat kemacetan, yang berdampak pada produktivitas ekonomi dan kualitas hidup.
Tol dalam kota diusulkan sebagai solusi untuk mengurai kemacetan tersebut. Namun, pendekatan ini justru menuai kritik dari para ahli transportasi dan aktivis lingkungan. Salah satu kekhawatirannya adalah fenomena induced demand, di mana penambahan kapasitas jalan malah mendorong lebih banyak kendaraan sehingga kemacetan kembali terjadi dalam jangka panjang. Pengalaman dari kota-kota lain menunjukkan bahwa solusi berbasis jalan sering kali hanya efektif sementara.
Dampak Sosial dan Lingkungan
Selain masalah teknis, pembangunan tol dalam kota berpotensi menimbulkan dampak sosial yang serius. Proyek ini membutuhkan pembebasan lahan di area padat penduduk, termasuk Jalan PHH Mustofa, Jalan A.H. Nasution, dan Jalan Raya Bandung-Sumedang. Banyak warga yang terancam kehilangan tempat tinggal atau mata pencaharian mereka. Hingga kini, mekanisme kompensasi bagi masyarakat terdampak belum dijelaskan secara transparan.
Di sisi lingkungan, pembangunan tol dapat memperburuk kualitas udara di Bandung, yang sudah tergolong buruk. Berdasarkan data Dinas Lingkungan Hidup, polusi udara di Bandung sebagian besar berasal dari emisi kendaraan bermotor. Jalan tol baru, meskipun meningkatkan kelancaran lalu lintas, akan mendorong lebih banyak kendaraan pribadi di jalan, memperburuk polusi udara dan efek rumah kaca.
Selain itu, perubahan tata guna lahan akibat pembangunan tol dapat mengancam keberlanjutan ekosistem lokal. Kota Bandung yang dikenal dengan kawasan hijau dan area resapan airnya perlu mempertimbangkan dampak dari pembangunan infrastruktur skala besar ini terhadap lingkungan.
Solusi Alternatif: Transportasi Publik Berbasis Massal
Daripada menambah jalan tol, pemerintah kota sebaiknya fokus pada pengembangan transportasi publik massal yang lebih berkelanjutan. Beberapa kota di dunia telah berhasil mengurangi kemacetan dengan memperbaiki sistem angkutan umum, seperti bus rapid transit (BRT) dan kereta ringan (LRT). Bandung sebenarnya sudah memiliki beberapa proyek transportasi publik yang direncanakan, tetapi implementasinya sering kali terkendala anggaran dan birokrasi.
Investasi pada transportasi publik tidak hanya lebih ramah lingkungan, tetapi juga lebih inklusif. Sebagai contoh, BRT dapat melayani lebih banyak masyarakat dengan biaya perjalanan yang lebih terjangkau dibandingkan penggunaan kendaraan pribadi. Selain itu, jalur sepeda dan fasilitas pejalan kaki juga perlu diperhatikan sebagai upaya mengurangi ketergantungan pada kendaraan bermotor.
Peran Pemkot dan DPRD Kota Bandung
Sebagai pembuat kebijakan, Pemkot dan DPRD memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan pembangunan kota Bandung selaras dengan prinsip keadilan sosial dan keberlanjutan lingkungan. Kebijakan pembangunan tol dalam kota harus melalui kajian mendalam yang melibatkan berbagai pihak, termasuk akademisi, komunitas lokal, dan lembaga swadaya masyarakat. Proses ini penting untuk memastikan bahwa dampak negatif proyek dapat diminimalkan dan manfaatnya benar-benar dirasakan oleh seluruh masyarakat.
DPRD juga seharusnya mendorong transparansi dalam setiap tahap proyek, mulai dari perencanaan hingga pelaksanaan. Jika tol ini tetap dilanjutkan, pemerintah harus menyediakan solusi mitigasi yang jelas, seperti program relokasi yang adil bagi warga terdampak dan upaya pengurangan emisi kendaraan melalui insentif untuk kendaraan ramah lingkungan.
Pentingnya Visi Jangka Panjang
Kota Bandung memiliki kesempatan untuk menjadi contoh kota modern yang berkelanjutan di Indonesia. Untuk itu, visi pembangunan harus berorientasi jangka panjang, bukan sekadar solusi instan terhadap masalah kemacetan. Infrastruktur berbasis transportasi publik, pengelolaan tata ruang yang baik, dan pelestarian lingkungan adalah fondasi yang perlu ditekankan.
Meskipun tol dalam kota mungkin menawarkan solusi praktis dalam jangka pendek, biaya sosial, ekonomi, dan lingkungan yang harus ditanggung kota ini sangat besar. Sebelum melanjutkan proyek ini, Pemkot dan DPRD harus merenungkan pertanyaan mendasar: apakah jalan tol ini benar-benar solusi terbaik untuk Bandung, atau hanya memperparah masalah yang sudah ada?
Penutup
Keputusan untuk membangun tol dalam kota bukanlah hal sepele. Ini bukan hanya soal kemacetan, tetapi juga masa depan kota Bandung dan penghuninya. Dengan mempertimbangkan alternatif lain yang lebih berkelanjutan, Pemkot dan DPRD dapat menunjukkan kepemimpinan yang visioner dan bertanggung jawab. Bandung membutuhkan solusi yang tidak hanya cepat, tetapi juga cerdas dan adil. Mari wujudkan Bandung yang lebih baik untuk generasi mendatang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H