Pembangunan kota yang pesat sering kali membawa dilema besar bagi masyarakat marhaen---terutama terkait penggusuran lahan yang semakin sering terjadi. Di satu sisi, pembangunan dianggap sebagai bagian dari modernisasi yang tak terhindarkan demi menciptakan infrastruktur yang lebih maju dan kehidupan urban yang lebih efisien. Namun, di sisi lain, ada harga yang harus dibayar, dan dalam banyak kasus, harga ini ditanggung oleh masyarakat kelas bawah yang lahan atau tempat tinggalnya menjadi korban dari kebijakan tersebut.
Penggusuran lahan untuk pembangunan infrastruktur kota---seperti jalan tol, pusat perbelanjaan, atau kawasan industri---telah menjadi fenomena yang hampir lumrah di berbagai kota besar Indonesia. Di balik kemegahan pembangunan, ada suara-suara yang tertindas: masyarakat marhaen yang kehilangan tempat tinggal, mata pencaharian, dan hak-haknya sebagai warga negara. Kebijakan ini memunculkan pertanyaan mendasar: apakah pembangunan kota benar-benar mengutamakan kepentingan rakyat atau hanya menguntungkan segelintir elit?
Fakta Penggusuran di Indonesia
Penggusuran paksa telah menjadi isu kronis di Indonesia, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Sebuah studi dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyebutkan bahwa penggusuran paksa sering kali dilakukan tanpa mekanisme yang adil dan transparan. Menurut laporan LBH Jakarta tahun 2023, selama periode 2015-2022, terjadi sekitar 306 kasus penggusuran di Jakarta yang berdampak pada lebih dari 97.000 keluarga. Ironisnya, mayoritas penggusuran ini dilakukan untuk proyek infrastruktur yang dinilai tidak sepenuhnya berpihak pada kepentingan masyarakat kecil.
Data ini memperlihatkan betapa seriusnya dampak penggusuran terhadap kelompok marhaen. Di banyak kasus, mereka dipaksa meninggalkan tanah yang telah mereka huni selama puluhan tahun tanpa mendapatkan kompensasi yang layak. Rumah dan usaha kecil yang menjadi tumpuan ekonomi keluarga hilang seketika, sementara mereka dipindahkan ke lokasi yang jauh dari tempat asal, membuat mereka sulit untuk melanjutkan pekerjaan atau bisnis yang sudah ada.
Penggusuran Vs. Modernisasi: Siapa yang Diuntungkan?
Alasan utama pemerintah dan pihak pengembang dalam melakukan penggusuran adalah demi pembangunan infrastruktur yang dianggap penting bagi kepentingan publik. Jalan tol, pusat bisnis, hingga bandara dan pelabuhan, semuanya dinilai sebagai kebutuhan mendesak untuk mendukung pertumbuhan ekonomi nasional. Namun, di balik narasi ini, siapa sebenarnya yang diuntungkan?
Pada umumnya, proyek-proyek besar ini lebih banyak menguntungkan pengembang, kontraktor besar, dan kelas ekonomi atas. Sementara itu, masyarakat marhaen yang terdampak justru sering kali berada di garis depan ketidakadilan sosial. Di Jakarta misalnya, pembangunan proyek Jalur Layang Tol Cikampek berdampak pada penggusuran ribuan rumah di kawasan pinggiran, tetapi manfaat langsung dari proyek tersebut justru lebih banyak dirasakan oleh kelas menengah-atas yang menggunakan jalan tol.
Dari segi ekonomi, keberadaan proyek-proyek ini memang memberikan dampak positif dalam jangka panjang bagi pertumbuhan ekonomi makro, tetapi perlu diingat bahwa masyarakat yang digusur seringkali kehilangan penghidupan dan kesulitan beradaptasi di tempat baru. Penelitian dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) mengungkapkan bahwa dampak negatif penggusuran terhadap ekonomi keluarga kelas bawah dapat berlangsung selama bertahun-tahun, terutama jika mereka tidak dibekali dengan keterampilan baru atau akses ke lapangan pekerjaan di tempat baru.
Kesenjangan Hukum dan Ketidakadilan Sosial
Meskipun hukum di Indonesia mengatur hak atas tanah dan proses penggusuran, kenyataannya banyak sekali aturan yang dilanggar ketika penggusuran dilakukan. UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Kepentingan Umum sebenarnya telah memberikan panduan jelas tentang bagaimana pemerintah seharusnya menangani masalah ini. Namun, sering kali implementasinya di lapangan jauh dari harapan. Banyak warga yang tidak mendapatkan informasi cukup tentang proyek pembangunan dan penggusuran yang akan terjadi. Mereka juga sering tidak diberi pilihan untuk bernegosiasi atau berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan.
Bahkan, dalam beberapa kasus, masyarakat marhaen dipaksa menandatangani kesepakatan yang tidak adil atau diberi kompensasi yang jauh di bawah nilai pasar tanah yang mereka tempati. Situasi ini memperburuk ketimpangan ekonomi antara mereka yang memiliki akses terhadap pengaruh politik dan ekonomi dengan masyarakat marhaen yang sering kali terpinggirkan dalam sistem.
Solusi: Membangun Tanpa Menggusur?
Pertanyaannya sekarang adalah: apakah mungkin membangun kota tanpa harus mengorbankan hak-hak masyarakat kecil? Jawabannya ada pada perencanaan kota yang lebih inklusif dan berkeadilan. Di berbagai negara, konsep urban regeneration atau regenerasi perkotaan mulai diterapkan, di mana pembangunan kota dilakukan dengan melibatkan masyarakat yang terdampak, baik dalam proses perencanaan maupun pelaksanaan proyek. Pendekatan ini memungkinkan adanya dialog antara pemerintah, pengembang, dan masyarakat sehingga solusi yang adil dapat ditemukan.
Di Indonesia, langkah serupa perlu diambil. Pemerintah harus lebih transparan dalam proses pengadaan tanah dan proyek pembangunan, serta memastikan bahwa masyarakat yang terkena dampak penggusuran diberi tempat tinggal pengganti yang layak, pelatihan keterampilan, dan akses ke lapangan kerja. Selain itu, pendekatan berbasis komunitas yang lebih menekankan pada revitalisasi kawasan kumuh tanpa harus memindahkan penduduk dapat menjadi alternatif.
Kesimpulan: Pembangunan untuk Siapa?
Dilema penggusuran lahan vs. kepentingan masyarakat marhaen adalah cerminan dari ketidakadilan struktural yang sering kali diabaikan dalam proses pembangunan kota. Pembangunan yang sejati harus mencakup semua lapisan masyarakat, terutama mereka yang paling rentan. Jika tidak, pembangunan hanya akan menjadi alat bagi kelompok elit untuk memperkaya diri, sementara masyarakat marhaen terus terpinggirkan dari tanah air mereka sendiri. Sebagai bangsa yang mengusung prinsip keadilan sosial, Indonesia harus berani mengambil langkah-langkah konkret untuk memastikan bahwa pembangunan tidak lagi menjadi ancaman bagi mereka yang paling lemah, melainkan sebagai kesempatan untuk semua.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI