Mohon tunggu...
dimas muhammad erlangga
dimas muhammad erlangga Mohon Tunggu... Mahasiswa - Aktivis GmnI

Baca Buku Dan Jalan Jalan Live In

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

25 Tahun Peristiwa Semanggi II: Siapa yang Harus Bertanggung Jawab?

24 September 2024   07:54 Diperbarui: 24 September 2024   08:11 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Majalah Tempo Edisi 3 Oktober 1999/Dokumen Pribadi 

Peristiwa Semanggi II yang terjadi pada tanggal 24 September 1999, hingga kini masih meninggalkan luka mendalam di hati bangsa Indonesia. Tepat 25 tahun yang lalu, tragedi ini mengoyak harapan akan masa depan demokrasi dan keadilan di Indonesia pasca-reformasi. Sebuah ironi di tengah transisi dari pemerintahan otoriter Orde Baru menuju era yang lebih terbuka dan demokratis. Namun, meski dua dekade telah berlalu, keadilan bagi korban dan keluarga mereka masih jauh dari jangkauan. Pertanyaannya: siapa yang harus bertanggung jawab atas tragedi ini, dan mengapa keadilan belum juga ditegakkan?

Kilas Balik Peristiwa Semanggi II

Semanggi II adalah salah satu dari rangkaian tragedi kekerasan yang terjadi selama masa transisi politik Indonesia, bersama dengan Peristiwa Trisakti dan Semanggi I. Pada 24 September 1999, ribuan mahasiswa dan masyarakat sipil turun ke jalan untuk menolak Rancangan Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya (RUU PKB), yang dianggap sebagai langkah mundur menuju otoritarianisme. Aksi tersebut berujung pada bentrokan antara demonstran dan aparat keamanan. Aparat keamanan, termasuk kepolisian dan militer, menanggapi dengan kekerasan, menembaki pengunjuk rasa, yang menyebabkan jatuhnya korban jiwa.

Menurut laporan Komnas HAM, setidaknya tujuh orang tewas, dan puluhan lainnya mengalami luka-luka. Namun, data ini dianggap tidak mencakup keseluruhan korban, dengan banyak pihak menyebutkan bahwa jumlah korban sebenarnya jauh lebih tinggi. Tragedi ini tidak hanya menyoroti kegagalan negara dalam melindungi hak-hak dasar warganya, tetapi juga memperlihatkan betapa rentannya kehidupan sipil di tengah ketegangan politik.

Siapa yang Harus Bertanggung Jawab?

Hingga saat ini, belum ada satu pun pihak yang secara tegas dinyatakan bertanggung jawab atas Peristiwa Semanggi II. Upaya untuk menuntut keadilan melalui jalur hukum kerap berhadapan dengan berbagai kendala, baik di tingkat nasional maupun internasional. Berikut adalah beberapa pihak yang seharusnya memiliki tanggung jawab atas tragedi ini:

1. Militer dan Aparat Keamanan

Aparat keamanan yang bertindak di lapangan jelas merupakan pelaku utama dari kekerasan yang terjadi pada saat itu. Militer dan polisi menggunakan kekerasan berlebihan terhadap demonstran yang pada dasarnya menjalankan hak konstitusional mereka untuk menyuarakan pendapat. Meski demikian, hingga kini, para komandan dan prajurit yang terlibat dalam peristiwa tersebut belum pernah diadili atau diproses secara hukum yang transparan. Ini menimbulkan pertanyaan mendasar tentang akuntabilitas militer dan polisi dalam sistem demokrasi Indonesia.

2. Pemerintah Era Reformasi

Pada saat itu, Presiden BJ Habibie sedang memimpin transisi dari Orde Baru menuju pemerintahan yang lebih demokratis. Meski begitu, respons negara terhadap aksi damai ini masih kental dengan nuansa represif khas Orde Baru. Pemerintah seharusnya bertanggung jawab atas perintah yang diberikan kepada aparat keamanan dan memastikan bahwa tidak ada penggunaan kekerasan berlebihan terhadap warga sipil. Namun, dalam kenyataannya, pemerintahan saat itu tampak lebih fokus pada stabilitas politik daripada penegakan hak asasi manusia.

3. DPR dan Elit Politik

Rancangan Undang-Undang yang diprotes oleh para mahasiswa dalam aksi Semanggi II merupakan hasil dari kebijakan yang dirumuskan oleh DPR dan pemerintah. DPR sebagai lembaga legislatif yang memegang kendali atas produk hukum nasional memiliki tanggung jawab moral untuk mendengarkan aspirasi masyarakat. Namun, dalam kasus ini, DPR cenderung abai terhadap tuntutan rakyat dan memilih tetap mempertahankan agenda politik yang sarat dengan kepentingan elit.

Hambatan dalam Penegakan Hukum

Peristiwa Semanggi II telah masuk ke dalam catatan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) sebagai pelanggaran HAM berat. Namun, penanganan kasus ini di tingkat pengadilan berjalan sangat lambat dan bahkan mandek. Ada beberapa faktor utama yang menyebabkan sulitnya penegakan hukum dalam kasus ini:

1. Imunitas Militer

Salah satu hambatan terbesar dalam upaya menuntut keadilan adalah adanya perlindungan hukum dan politik bagi aparat militer. Meskipun beberapa upaya telah dilakukan untuk membawa kasus ini ke pengadilan, banyak yang berakhir dengan impunitas. Sistem peradilan di Indonesia tampak tidak cukup kuat untuk menindak tegas pelanggaran oleh militer, terutama terkait dengan peristiwa yang terjadi pada masa transisi politik.

2. Ketidaksepakatan Politik

Penanganan kasus pelanggaran HAM masa lalu sering kali terhambat oleh ketidaksepakatan di kalangan elit politik. Beberapa politisi dan pejabat tinggi cenderung menolak untuk membuka kembali kasus-kasus tersebut, dengan alasan stabilitas politik dan perdamaian nasional. Dalam konteks ini, keadilan bagi para korban kerap dianggap sebagai sesuatu yang dapat dinegosiasikan, yang ironisnya menempatkan para korban dalam posisi yang sangat tidak menguntungkan.

3. Kurangnya Dukungan Institusi Hukum

Sampai saat ini, tidak ada langkah signifikan dari institusi hukum seperti Kejaksaan Agung yang berani untuk mengambil tindakan konkret. Komnas HAM memang telah melakukan investigasi dan memberikan rekomendasi, namun rekomendasi tersebut sering kali tidak dihiraukan oleh lembaga penegak hukum lainnya.

Harapan Keadilan 25 Tahun Kemudian

Setelah 25 tahun berlalu, upaya untuk mendapatkan keadilan bagi korban Semanggi II tetap berlangsung, meskipun penuh tantangan. Keluarga korban terus memperjuangkan agar tragedi ini diakui sebagai pelanggaran HAM berat dan agar pelaku diadili. Mereka ingin memastikan bahwa peristiwa serupa tidak terulang lagi di masa depan.

Meski demikian, harapan untuk mendapatkan keadilan tidak akan tercapai tanpa ada dorongan kuat dari masyarakat luas dan pemerintah yang berkomitmen terhadap penegakan hukum. Pengadilan HAM harus diberi kewenangan yang lebih besar untuk mengusut pelanggaran HAM masa lalu, termasuk tragedi Semanggi II. Sementara itu, masyarakat sipil dan gerakan mahasiswa perlu terus mengawal kasus ini agar tidak dilupakan oleh publik.

Penutup

Peristiwa Semanggi II adalah cermin suram dari transisi demokrasi Indonesia. Tragedi ini menunjukkan bahwa jalan menuju keadilan dan reformasi yang sesungguhnya masih sangat panjang. Siapa yang harus bertanggung jawab? Jawabannya tidak hanya terletak pada individu atau lembaga tertentu, melainkan juga pada seluruh bangsa yang harus berani menuntut keadilan. Di usia 25 tahun peringatan Semanggi II ini, kita harus tetap bertanya: kapan keadilan bagi korban akan benar-benar ditegakkan?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun