Peristiwa Semanggi II yang terjadi pada tanggal 24 September 1999, hingga kini masih meninggalkan luka mendalam di hati bangsa Indonesia. Tepat 25 tahun yang lalu, tragedi ini mengoyak harapan akan masa depan demokrasi dan keadilan di Indonesia pasca-reformasi. Sebuah ironi di tengah transisi dari pemerintahan otoriter Orde Baru menuju era yang lebih terbuka dan demokratis. Namun, meski dua dekade telah berlalu, keadilan bagi korban dan keluarga mereka masih jauh dari jangkauan. Pertanyaannya: siapa yang harus bertanggung jawab atas tragedi ini, dan mengapa keadilan belum juga ditegakkan?
Kilas Balik Peristiwa Semanggi II
Semanggi II adalah salah satu dari rangkaian tragedi kekerasan yang terjadi selama masa transisi politik Indonesia, bersama dengan Peristiwa Trisakti dan Semanggi I. Pada 24 September 1999, ribuan mahasiswa dan masyarakat sipil turun ke jalan untuk menolak Rancangan Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya (RUU PKB), yang dianggap sebagai langkah mundur menuju otoritarianisme. Aksi tersebut berujung pada bentrokan antara demonstran dan aparat keamanan. Aparat keamanan, termasuk kepolisian dan militer, menanggapi dengan kekerasan, menembaki pengunjuk rasa, yang menyebabkan jatuhnya korban jiwa.
Menurut laporan Komnas HAM, setidaknya tujuh orang tewas, dan puluhan lainnya mengalami luka-luka. Namun, data ini dianggap tidak mencakup keseluruhan korban, dengan banyak pihak menyebutkan bahwa jumlah korban sebenarnya jauh lebih tinggi. Tragedi ini tidak hanya menyoroti kegagalan negara dalam melindungi hak-hak dasar warganya, tetapi juga memperlihatkan betapa rentannya kehidupan sipil di tengah ketegangan politik.
Siapa yang Harus Bertanggung Jawab?
Hingga saat ini, belum ada satu pun pihak yang secara tegas dinyatakan bertanggung jawab atas Peristiwa Semanggi II. Upaya untuk menuntut keadilan melalui jalur hukum kerap berhadapan dengan berbagai kendala, baik di tingkat nasional maupun internasional. Berikut adalah beberapa pihak yang seharusnya memiliki tanggung jawab atas tragedi ini:
1. Militer dan Aparat Keamanan
Aparat keamanan yang bertindak di lapangan jelas merupakan pelaku utama dari kekerasan yang terjadi pada saat itu. Militer dan polisi menggunakan kekerasan berlebihan terhadap demonstran yang pada dasarnya menjalankan hak konstitusional mereka untuk menyuarakan pendapat. Meski demikian, hingga kini, para komandan dan prajurit yang terlibat dalam peristiwa tersebut belum pernah diadili atau diproses secara hukum yang transparan. Ini menimbulkan pertanyaan mendasar tentang akuntabilitas militer dan polisi dalam sistem demokrasi Indonesia.
2. Pemerintah Era Reformasi
Pada saat itu, Presiden BJ Habibie sedang memimpin transisi dari Orde Baru menuju pemerintahan yang lebih demokratis. Meski begitu, respons negara terhadap aksi damai ini masih kental dengan nuansa represif khas Orde Baru. Pemerintah seharusnya bertanggung jawab atas perintah yang diberikan kepada aparat keamanan dan memastikan bahwa tidak ada penggunaan kekerasan berlebihan terhadap warga sipil. Namun, dalam kenyataannya, pemerintahan saat itu tampak lebih fokus pada stabilitas politik daripada penegakan hak asasi manusia.