Pilkada DKI Jakarta 2017 merupakan salah satu pemilihan kepala daerah paling kontroversial dan menyedot perhatian besar dalam sejarah politik Indonesia. Dua tokoh utama yang terlibat, Anies Baswedan dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), menjadi pusat perhatian, bukan hanya karena kebijakan dan visi mereka, tetapi juga karena narasi politik yang dipenuhi dengan sentimen ras dan agama. Pilkada ini memperlihatkan betapa rasisme dan politisasi agama dapat menjadi alat yang kuat dalam arena politik Indonesia, dan bagaimana kedua tokoh ini, baik Anies maupun Ahok, menjadi korban dari dinamika tersebut. Sejauh yang pandang dari Sosmed Ketidaksukaan pada WNI Keturunan Tionghoa maupun Timur Tengah masih terus terjadi meskipun agak bergeser sedikit sasarannya sejak 2017 hingga sekarang. Jelas ini tidak sehat bagi Demokrasi dan Persatuan Nasional kedepannya.
### Basuki Tjahaja Purnama: Simbol Perlawanan terhadap Intoleransi
Basuki Tjahaja Purnama, yang akrab disapa Ahok, adalah seorang politisi keturunan Tionghoa dan Nasrani. Ia naik ke panggung politik nasional ketika menjadi Wakil Gubernur DKI Jakarta mendampingi Joko Widodo, yang kemudian menjadi Presiden Indonesia. Ahok kemudian menggantikan Jokowi sebagai Gubernur DKI Jakarta ketika Jokowi terpilih sebagai presiden pada 2014. Sebagai gubernur, Ahok dikenal dengan gaya kepemimpinan yang tegas dan kebijakan yang progresif, terutama dalam reformasi birokrasi dan pelayanan publik.
Namun, latar belakang etnis dan agamanya menjadi sasaran empuk bagi lawan-lawan politiknya. Pada masa kampanye Pilkada 2017, Ahok menjadi korban serangan rasis dan isu agama yang menyebar luas di masyarakat. Tuduhan penistaan agama yang muncul akibat pidatonya di Kepulauan Seribu menjadi titik balik yang drastis dalam karier politiknya. Gelombang protes besar-besaran yang dikenal sebagai Aksi 212, yang dipicu oleh pidato tersebut, semakin memperkeruh situasi.
Ahok, yang awalnya dipandang sebagai simbol toleransi dan kemajuan, akhirnya terjebak dalam narasi politik yang memanipulasi sentimen keagamaan dan rasisme. Ia dihukum dua tahun penjara atas tuduhan penistaan agama, meskipun banyak pihak, termasuk pengamat internasional, melihat hukuman tersebut lebih sebagai hasil dari tekanan politik daripada keadilan yang murni.
### Anies Baswedan: Narasi Keberpihakan yang Dipelintir
Di sisi lain, Anies Baswedan yang merupakan akademisi dan mantan Menteri Pendidikan, dipandang sebagai sosok yang moderat dan inklusif sebelum Pilkada 2017. Anies memiliki rekam jejak sebagai seorang intelektual yang sering berbicara tentang pentingnya pluralisme dan toleransi. Namun, ketika ia memutuskan untuk maju dalam Pilkada DKI Jakarta 2017 dengan didukung oleh partai-partai yang cenderung menggunakan sentimen agama dalam kampanyenya, citranya yang moderat malah diganti dan digadaikan.Â
Anies berhasil memanfaatkan sentimen yang berkembang pasca-kasus Ahok untuk meraih dukungan dari kelompok-kelompok tertentu yang merasa terancam oleh kehadiran seorang pemimpin non-Muslim. Ia menang dalam Pilkada tersebut dan menjadi Gubernur DKI Jakarta. Namun, kemenangannya tidak lepas dari tudingan bahwa ia telah "bermain" dengan isu SARA untuk mencapai tujuannya.
Pada kenyataannya, Anies Baswedan juga menjadi korban dari narasi yang berkembang pasca Pilkada 2017. Meskipun ia memenangkan Pilkada, kemenangannya sering dianggap sebagai hasil dari politik identitas yang memecah belah. Sejak itu, Anies harus berjuang untuk mengembalikan citra dirinya sebagai pemimpin yang inklusif dan berorientasi pada persatuan, di tengah stigma bahwa ia memperoleh kekuasaan melalui cara-cara yang dianggap tidak etis.
### Dampak Politik Rasisme dan SARA
Kasus Ahok dan Anies Baswedan menunjukkan bagaimana politik rasisme dan penggunaan isu SARA dapat menghancurkan tatanan demokrasi yang sehat. Rasisme dan politisasi agama yang terjadi dalam Pilkada 2017 tidak hanya merusak integritas para calon, tetapi juga memecah masyarakat Indonesia secara luas. Masyarakat yang sebelumnya hidup dalam keberagaman yang harmonis, mendadak terpolarisasi oleh isu-isu identitas yang seharusnya tidak menjadi fokus dalam kontestasi politik.
Pasca Pilkada, Anies dan Ahok menjadi simbol dari dua kutub politik yang terpecah, di mana perbedaan etnis dan agama dijadikan alat untuk mengeksploitasi ketakutan dan prasangka. Ini bukan hanya memengaruhi dinamika politik di Jakarta, tetapi juga memiliki dampak jangka panjang terhadap politik nasional, di mana isu-isu SARA terus digunakan sebagai senjata dalam berbagai kontestasi politik.
**Peluang Anies dan Ahok Bersatu pada Pemilu 2029: Mungkinkah Terjadi?**
Sejak Pilkada DKI Jakarta 2017, Anies Baswedan dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) telah menjadi dua tokoh yang sering kali ditempatkan pada spektrum politik yang berbeda. Anies yang memenangkan Pilkada tersebut, didukung oleh koalisi partai-partai yang mengedepankan isu-isu SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar-golongan), sementara Ahok, yang kalah dan dipenjara karena kasus penistaan agama, dianggap sebagai simbol perlawanan terhadap intoleransi. Berangkat dari keduanya yang saat ini berada dalam barisan yang sama yaitu bersebrangan dengan Pemerintahan Jokowi Sebelum Dan Sesudah Pemilu 2024. Namun, dalam dinamika politik yang terus berubah, pertanyaan yang menarik adalah: apakah mungkin Anies dan Ahok bersatu pada Pemilu 2029?
### Memahami Perbedaan Latar Belakang dan Basis Dukungan
Sebelum menjawab pertanyaan ini, penting untuk memahami perbedaan mendasar antara Anies dan Ahok, baik dari segi latar belakang maupun basis dukungan mereka. Anies Baswedan adalah seorang intelektual dan mantan Menteri Pendidikan yang dikenal karena pandangan-pandangan moderatnya sebelum Pilkada 2017. Namun, dukungannya dalam Pilkada tersebut banyak datang dari kelompok-kelompok yang menggunakan isu agama sebagai senjata politik, yang kemudian membentuk persepsi bahwa Anies mewakili kepentingan konservatif.
Di sisi lain, Ahok yang terkenal dengan kebijakannya yang tegas dan sering kali kontroversial. Basis dukungan Ahok datang dari kelompok-kelompok yang lebih progresif dan urban, yang mendukung kebijakannya yang berani namun seringkali keras. Meskipun kalah dalam Pilkada 2017, Ahok tetap memiliki pengaruh politik, terutama di kalangan pendukung pluralisme dan anti-intoleransi.
### Tantangan yang Harus Dihadapi
Untuk Anies dan Ahok bersatu dalam satu koalisi pada Pemilu 2029, ada beberapa tantangan besar yang harus diatasi:
1. **Perbedaan Ideologis**: Basis dukungan Anies dan Ahok cenderung berlawanan, dengan Anies yang kini dianggap dekat dengan kelompok konservatif, dan Ahok yang identik dengan kalangan progresif. Menyatukan dua basis dukungan ini memerlukan kompromi ideologis yang mungkin sulit dicapai.
2. **Luka Politik Masa Lalu**: Pilkada 2017 meninggalkan luka politik yang mendalam, terutama bagi pendukung Ahok yang merasa bahwa kekalahan dan pemenjaraannya adalah hasil dari kampanye hitam berbasis SARA. Sementara itu, Anies, meskipun sering mencoba menampilkan citra inklusif, tetap dikaitkan dengan strategi politik yang memanfaatkan isu agama.
3. **Pola Komunikasi Politik yang Berbeda**: Anies dan Ahok memiliki gaya komunikasi politik yang sangat berbeda. Anies cenderung diplomatis dan berbicara dalam kerangka intelektual, sementara Ahok lebih lugas dan langsung dalam menyampaikan pandangannya. Perbedaan ini bisa menjadi hambatan dalam menciptakan keselarasan politik yang efektif.
### Peluang dan Potensi Koalisi
Meskipun tantangan yang dihadapi cukup besar, tidak ada yang tidak mungkin dalam politik. Sejarah politik Indonesia menunjukkan bahwa musuh politik bisa berubah menjadi sekutu, tergantung pada konstelasi kepentingan dan situasi yang berkembang. Ada beberapa alasan mengapa peluang bersatunya Anies dan Ahok pada Pemilu 2029 tetap ada:
1. **Pragmatisme Politik**: Politik adalah seni kemungkinan, dan dalam konteks ini, pragmatisme sering kali mengalahkan ideologi. Jika keduanya melihat bahwa bersatu akan meningkatkan peluang mereka untuk memenangkan Pemilu, pragmatisme bisa menjadi faktor pendorong bagi terbentuknya koalisi.
2. **Melemahnya Polarisasi**: Seiring berjalannya waktu, luka-luka politik bisa mereda, dan masyarakat mungkin mulai melupakan perbedaan yang ada. Jika polarisasi politik yang terjadi pada 2017 mereda, maka kemungkinan bersatunya Anies dan Ahok dalam satu koalisi akan lebih besar.
3. **Kesamaan Tujuan untuk Memajukan Indonesia**: Baik Anies maupun Ahok sama-sama memiliki visi untuk memajukan Indonesia, meskipun pendekatan mereka berbeda. Jika mereka dapat menemukan titik temu dalam tujuan bersama untuk Indonesia yang lebih baik, koalisi bisa terbentuk.
4. **Tekanan Eksternal**: Dinamika politik global dan nasional yang terus berubah bisa menciptakan tekanan eksternal yang memaksa tokoh-tokoh politik untuk bersatu. Misalnya, jika ada ancaman bersama terhadap kepentingan nasional atau demokrasi, Anies dan Ahok mungkin merasa perlu bersatu demi stabilitas dan kemajuan negara.
### Refleksi dan Jalan ke Depan
Politik rasisme dan SARA yang mewarnai Pilkada 2017 harus menjadi pelajaran bagi Indonesia. Demokrasi yang sehat seharusnya dibangun di atas ide-ide dan kebijakan yang substantif, bukan pada eksploitasi perbedaan identitas. Baik Anies maupun Ahok, meskipun dari sisi yang berbeda, telah menjadi korban dari dinamika politik yang tidak sehat ini.
Masa depan politik Indonesia harus diarahkan untuk menghindari terulangnya peristiwa serupa. Para pemimpin politik perlu menolak penggunaan isu-isu identitas sebagai senjata politik dan kembali fokus pada isu-isu yang lebih substansial, seperti peningkatan kualitas hidup masyarakat, pendidikan, dan ekonomi. Hanya dengan demikian, Indonesia dapat mengembangkan demokrasi yang lebih matang dan inklusif, di mana perbedaan tidak lagi menjadi alasan untuk memecah belah, tetapi menjadi kekuatan yang menyatukan bangsa.
Jalan Panjang Menuju Koalisi
Meski peluang untuk Anies dan Ahok bersatu pada Pemilu 2029 tetap ada, jalan menuju koalisi ini penuh dengan tantangan. Politik Indonesia yang dinamis selalu memungkinkan terjadinya perubahan aliansi, namun mewujudkan persatuan antara dua tokoh yang pernah terlibat dalam kontestasi yang sangat polarizing membutuhkan lebih dari sekadar keinginan untuk menang.Jika Anies dan Ahok benar-benar ingin bersatu, mereka harus mengatasi perbedaan ideologis dan memulihkan luka politik masa lalu, sambil mencari jalan tengah yang dapat diterima oleh basis pendukung mereka masing-masing. Dengan demikian, kemungkinan koalisi antara Anies dan Ahok pada Pemilu 2029 akan sangat bergantung pada kemampuan mereka untuk melampaui masa lalu dan bekerja sama demi masa depan Indonesia yang lebih inklusif dan bersatu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H