Mohon tunggu...
Jurnal Muda
Jurnal Muda Mohon Tunggu... Lainnya - Kumpulan catatan,beragam bentuknya

Sekedar mengambil,mengumpulkan,menyimpulkan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerita dari Sini

23 Agustus 2022   08:04 Diperbarui: 23 Agustus 2022   08:07 519
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://m.brilio.net/amp/wow/10-lukisan-pemandangan-khas-era-90-an-ini-membawamu-bernostalgia-170513k.html

Malam jatuh di halaman. Bulan purnama mekar menyebarkan cahaya terang. Pohon-pohon antusias, angin membangun suasana tentram pedesaan. Malam itu semua hidup, termasuk semangat anak-anak yang menunggu cerita dari salah seorang mahasiswa KKN, yaitu aku. 

Kemarin aku terlanjur janji karena saat sosialisasi tentang literasi, anak-anak mengaku tidak suka membaca, bahkan dongeng kancil mereka tidak pernah mendengar atau barangkali lupa?, masa anak kecil lupa. Mereka mengaku hanya sesekali mendengar cerita dari Pak Toto. Pak Toto ini adalah guru ngaji langgar desa sini, beliau tekun mengajar dan enak diajak bicara.

Mendengar pengakuan itu, salah seorang temanku menjanjikan kepada mereka, besuk malam di teras langgar setelah selesai mengaji, aku akan bercerita, dan ia melebih-lebihkan informasi tentang diriku. Akhirnya aku yang mati gaya, hanya bisa senyum dan mengiyakan, karena bisa diejek habis-habisan kalau aku menolak. Anak-anak sekarang jelas beda dengan jamanku dulu, kayaknya mereka lebih merdeka jauh dari doktrin dan mitos tentang super hero dan sebagainya. Jadi selintas terlihat tidak sopan, tapi menurutku justru mereka ini yang mungkin memberi nafas baru pada kehidupan yang begini-begini terus.

Setelah janji yang sembrono itu aku agak marah dengan temanku. Karena jujur, belum pernah punya pengalaman bercerita kepada khalayak, apalagi anak-anak, anak-anak sekarang lagi. Kalau nulis memang sering, tapi tentu beda dengan mendongeng. Seandainya aku bawa naskah dan membacakannya di depan anak-anak, aku yakin mereka akan ambil kertas itu dan menikmati raut muka kebingunganku.

Seandainya janjiku bercerita kepada teman-temanku, bukan kepada anak-anak, akan terasa lebih mudah. Tinggal cerita "Robohnya Surau Kami." Karya AA Nafis mereka sudah senang. Tapi kalau anak-anak kuceritakan itu, pasti sampai pertengahan cerita aku sudah dipiting guru ngaji mereka.

Aku duduk di beranda rumah Pak Kadus, ya tempat kami semua menginap selama dua hari ini. Memandang langit yang jingga, burung-burung berhamburan pulang, pohon bambu yang berderak, jalanan lengang. Tidak burung, tidak!!, kalo pulang jangan ajak-ajak aku, lima hari lagi aku akan pulang.

Secangkir kopi, beberapa gorengan, dan rokok cengkeh, mana ini inspirasi?. Karena beberapa jam lagi harus tampil, dan aku belum punya cerita. Bengong beberapa saat, selintas aku teringat terjemahan puisi Rumi yang ada di buku Sapardi Djoko Damono. Aku ambil buku itu lalu mulai mengetik di catatan HPku, mencoba mengubah puisi itu jadi cerita untuk anak-anak. Tiba-tiba aku jadi bersemangat, karena teman yang kurang ajar itu menari-nari di atas penderitaanku.

Ya akhirnya waktu untuk bercerita tiba, aku siap dengan cerita, teman yang kemarin menjebakku terlihat bahagia.

"Hidup literasi!! Hidup gen z!!." Katanya.

"Hidup matamu!!." Kataku dalam hati. Lalu aku berdiri di depan anak-anak. 

Aku mengucap salam.

"Kalian sebelum ini pernah ndengerin cerita?,"

"sudahh" mereka serempak menjawab.

"Ceritanya tentang apa??"

"Kapal Nabi Nuh, tongkat Nabi Musa, Nabi Muhammad membelah bulan." Mereka menjawab berbeda.

"Nah sekarang kakak mau cerita tentang seorang pengemis."

"Oh prank-prank itu ya kak??," kata seorang dari mereka diikuti gelak tawa lainnya.

"Wah gawat ini." Gumamku dalam hati.

"Betul, tapi ada bedanya sedikit, ini cerita dulu banget, jaman lampu kayak sekarang ini belum ada." Lalu mereka berbisik-bisik entah membicarakan apa.

Akhirnya aku mulai bercerita

"Pada zaman dulu hiduplah guru ngaji namanya Darwis. Ya kira-kira mirip sama Pak Toto." Pak Toto agak tajam menatapku, tapi untungnya anak-anak tidak melontarkan kata apapun.

"Darwis ini orangnya cerdas dan ilmu agamanya luas. Ia dulu punya murid ngaji namanya Agus. Kata orang-orang Agus ini sudah kaya, dan punya rumah besar banget. Darwis pasti bangga sama agus, tapi darwis pengen tahu apa bener agus tetap redah hati. Makanya Darwis nyamar jadi pengemis, dan mulai mencari alamat rumah Agus.

Darwis tanya sama orang-orang alamat rumah agus. Setelah dapet alamatnya, Darwis berjalan ke rumah agus. Dulu belum ada sepeda apalagi motor, jadi jalan kaki. Ternyata rumah agus ini jauuuuh banget, tapi Darwis tetap jalan demi muridnya.
Setelah jalan jauhhh akhirnya Darwis sampai. Darwis kagum, ternyata benar kata orang. Rumah Agus kayak istana raja. Bueesaaaaar banget...."

(Naskah ceritanya gitu, tapi pas aku cerita, selayaknya kakekku dulu, banyak improvisasi. Dipanjang-panjangin misal pas Darwis jalan ke rumah Agus, bisa digambarkan suasana sekitar. Juga tentang youtube prank itu, bisa kujadikan perbandingan untuk menggambarkan penampilan Darwis.)

Adzan berkumandang ceritaku terpotong. Tapi syukurlah mereka mengeluh, artinya mereka antusias mengikuti cerita. "Nanti setelah isya dilanjut yaa." Kataku pada mereka. Aku terharu karena pengalaman ini membuatku teringat masa kecilku dulu. Dunia kok muternya cepet baget yaa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun