Di lingkungan akademik, banyak mahasiswa yang merasakan tekanan besar untuk meraih nilai sempurna, mendapatkan beasiswa, dan menunjukkan diri sebagai yang terbaik.Â
Di luar penampilan luar yang optimis, banyak dari mereka yang merasa sangat cemas dan terbebani dengan tuntutan tersebut.
Sebagai contoh, seorang mahasiswa mungkin selalu terlihat ceria dan sukses di mata teman-temannya, namun di dalam hati ia merasa terisolasi, stres, dan kesulitan untuk memenuhi standar yang ada.
Di dunia kerja, Duck Syndrome juga sering terjadi. Seorang pekerja yang tampil profesional dan penuh percaya diri di kantor, seringkali menyembunyikan perasaan stres atau ketidakmampuannya untuk menangani beban kerja yang tinggi.Â
Mereka mungkin merasa takut jika mengungkapkan perasaan tersebut, akan dianggap kurang kompeten oleh rekan kerja atau atasan.
Kenyataan yang Sering Terjadi
Duck Syndrome dapat menimbulkan dampak buruk pada kesehatan mental seseorang. Ketika individu terus-menerus menekan perasaan dan emosi mereka, bisa menyebabkan kecemasan yang lebih tinggi, depresi, hingga kelelahan mental.Â
Hal ini tentu saja dapat merusak kesejahteraan jangka panjang.Â
Sebuah survei yang dilakukan oleh American College Health Association (ACHA) pada tahun 2021 menunjukkan bahwa 60% mahasiswa di Amerika mengalami kecemasan yang tinggi dan hampir 40% melaporkan gejala depresi, sebagian besar akibat tekanan akademik dan sosial yang tinggi.
Di Indonesia, meskipun belum ada data yang khusus mengenai Duck Syndrome, masalah kesehatan mental di kalangan pelajar dan pekerja muda semakin menjadi perhatian.Â
Berdasarkan survei dari Kementerian Kesehatan RI pada tahun 2020, sekitar 18% dari remaja di Indonesia mengalami gejala kecemasan dan depresi, yang sebagian besar berkaitan dengan tekanan akademik dan sosial.