Mohon tunggu...
Dimas Jayadinekat
Dimas Jayadinekat Mohon Tunggu... Freelancer - Author, Freelance Script Writer, Public Speaker, Enterpreneur Coach

Penulis buku Motivasi Rahasia NEKAT (2012), Penulis Skenario lepas di TVRI dan beberapa rumah produksi (2013-kini), Penulis Rubrik Ketoprak Politik di Tabloid OPOSISI dan Harian TERBIT (2011-2013), Content Creator di Bondowoso Network, Pembicara publik untuk kajian materi Film, Skenario, Motivasi, Kewirausahaan, founder Newbie Film Centre

Selanjutnya

Tutup

Humor Pilihan

Serial Parodi Kehidupan: Negeri Tembokto dan Isu Pagar Laut, Drama Tak Berujung

29 Januari 2025   09:00 Diperbarui: 30 Januari 2025   18:07 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terungkap sudah mengapa negeri ini dinamakan Tembokto, ya karena segala hal bisa dipagar dan dibuat tembok. Dari tembok besar yang konon bisa terlihat dari bulan hingga pagar taman kota, apa saja dianggap bisa "dilindungi" dengan tembok. Namun, ide terbaru Tuan Tembokis Tinggi, sang konglomerat yang lagaknya sudah seperti pejabat negara saking powerfull-nya, benar-benar menghebohkan, yaitu membangun pagar laut.

Dengan gagah, ia berpidato di alun-alun. "Laut kita tellalu telbuka! Ikan asing bisa menculi plankton lokal, dan ombak dari negeli tetangga bisa membawa pasil kita pelgi! Kita butuh pagal laut untuk melindungi malwah bangsa ini!" teriaknya dengan bahasa cadelnya, sambil bergaya bak orator dengan menunujuk-nunjuk ke arah lautan.

Berita ini menyebar cepat. Di warung nasi uduk Mpok Jumi, tempat warga biasa berkumpul, pembahasan soal pagar laut jadi topik utama.

"Astaga! Apa dia pikir ikan itu ngerti aturan? Apa nanti bakal ada paspor buat ikan?" cibir Wagyuman, si tukang tambal ban. Ia sedang menikmati kopi hitam sambil mengelap tangannya yang penuh oli.

Mpok Jumi, yang sedang menghidangkan nasi uduk dan ayam bakar, mengangguk setuju. 

"Lagian, duit buat proyek itu bakal lebih berguna kalo untuk rakyat kecil kayak kita ini kan. Jalan ke warung gue aja masih bolong-bolong, tuh. Orang yang mau makan nasi uduk di sini, jalannya jadi kayak orang pincang! atau melipir kayak curut, cari jalan di pinggiran soalnye becek kalo pas ujan."

Kusnad, guru sejarah kampung, mengelus dagunya sambil bicara penuh gaya. "Kalau dilihat dari sejarah, Tuan Tembokis memang senang membangun sesuatu yang besar-besar. Tapi pagar laut ini, selain nggak masuk akal, jelas-jelas melawan hukum alam!"

Meski ditentang sebagian warga, proyek pagar laut tetap dimulai. Tuan Tembokis Tinggi menggandeng arsitek ternama Tembokto, Tuan Sketsius Jeniusly, yang obsesinya pada desain megah sering kali membuat proyek membengkak anggarannya.

Pagar itu dirancang berbentuk ikan paus besar dengan ornamen karang emas, dilengkapi lampu LED warna-warni. "Bukan cuma pagar, ini adalah seni! Wisatawan dari seluruh dunia akan datang ke sini," ujar Sketsius penuh semangat.

Namun, pembangunan pagar laut itu langsung menimbulkan masalah. Para nelayan seperti Pak Sampan kehilangan akses ke laut karena jalur mereka terblokir. 

"Ini mah namanya bikin kita lapar! Nelayan nggak bisa melaut, trus mau makan dari mana? Nangkap ikan di kolam renang hotel?" gerutunya sambil menenteng jala rusaknya.

Sementara itu, Wagyuman mengeluhkan sepinya tambal bannya. "Biasanya banyak pelanggan lewat sini. Sekarang, gara-gara proyek ini, jalan tambah rusak, orang-orang makin males keluar rumah!"

Mpok Jumi juga merasa dampaknya. Harga ikan di pasar naik drastis karena pasokan semakin sedikit. Ia akhirnya terpaksa mengganti menu lauk nasi uduknya dari ikan asin ke telur dadar. 

"Orang sekarang beli nasi uduk di gue dapetnya telur doang. Ntar nama warung gue jadi 'Nasi Uduk Telur Mpok Jumi' lagi aja deh!"

Tak tahan dengan situasi ini, Wagyuman, Kusnad, Pak Sampan, dan warga lainnya pada suatu hari kembali berkumpul di warung Mpok Jumi untuk mencari solusi.

"Kita harus lakukan sesuatu!" seru Wagyuman sambil mengepalkan tangan. "Pagar laut ini nggak cuma bikin kita susah, tapi juga pemborosan, apalagi dengar-dengar ada anggaran negara terpakai juga! Mending duitnya buat perbaiki jalan kampung!"

"Tapi kita nggak mungkin lawan pemerintah langsung," ujar Kusnad. "Demo? Pasti dianggap pengkhianat bangsa. Harus ada cara lain."

Pak Sampan mengusulkan ide licik. "Gimana kalau kita pura-pura dukung proyek ini, tapi kita manfaatin buat bisnis? Banyak turis penasaran sama proyek absurd kayak gini. Kita bisa bikin tur wisata!"

Wagyuman terdiam sejenak, lalu tertawa. "Bener juga! Kita manfaatin aja kegilaan ini buat keuntungan kita."

Ide Pak Sampan ternyata sukses besar. Dalam waktu singkat, warga membuka bisnis di sekitar proyek pagar laut. 

Wagyuman mendirikan pos tambal ban khusus turis. Mpok Jumi mengubah nama warungnya menjadi "Nasi Uduk Laut Mpok Jumi", lengkap dengan menu spesial "Gurita Gaib" (meski isinya cuma telur dadar dan sambal). Kusnad memandu tur dengan gaya serius, menjelaskan sejarah fiksi tentang "betapa pentingnya pagar laut bagi keamanan dunia".

Turis dari negeri seberang berdatangan. Mereka menyebut pagar laut ini sebagai "lelucon abad ini".

Namun, di sisi lain, proyek ini terus menelan biaya besar. Anggaran negara yang ikut terpakai melonjak hingga tiga kali lipat karena seringnya pagar itu rusak diterjang ombak. Setiap kali roboh, Tuan Tembokis menyalahkan laut. "Ini bukti bahwa laut kita berbahaya tanpa pagar!" katanya dalam pidato terbaru.

Setelah bertahun-tahun dan uang rakyat habis, pagar laut itu selesai... hanya setengahnya. Sisanya terhenti karena dana pembangunan dialihkan untuk proyek lain: museum pagar laut.

Di warung Mpok Jumi, warga kembali berkumpul untuk membahas proyek ini lagi.

"Gue nggak tahu harus ketawa atau nangis," kata Wagyuman sambil menyeruput kopi. "Kita ini kayak hidup di film komedi."

Mpok Jumi menyeka tangan dengan celemeknya. "Iya, tapi komedi ini sudah pake duit rakyat. Kapan tamatnya?"

Kusnad hanya tersenyum pahit. "Sejarah Tembokto adalah sejarah proyek besar dengan hasil kecil. Yang penting, kita masih bisa ketawa meski dompet kita kosong."

Dan begitulah, Negeri Tembokto kembali jadi buah bibir dunia. Apakah itu karena inovasi atau sekadar kekonyolan, yang jelas, warga Tembokto tetap hidup dengan tawa... meski sambil mengelus dada.***

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun