Sementara itu, Wagyuman mengeluhkan sepinya tambal bannya. "Biasanya banyak pelanggan lewat sini. Sekarang, gara-gara proyek ini, jalan tambah rusak, orang-orang makin males keluar rumah!"
Mpok Jumi juga merasa dampaknya. Harga ikan di pasar naik drastis karena pasokan semakin sedikit. Ia akhirnya terpaksa mengganti menu lauk nasi uduknya dari ikan asin ke telur dadar.Â
"Orang sekarang beli nasi uduk di gue dapetnya telur doang. Ntar nama warung gue jadi 'Nasi Uduk Telur Mpok Jumi' lagi aja deh!"
Tak tahan dengan situasi ini, Wagyuman, Kusnad, Pak Sampan, dan warga lainnya pada suatu hari kembali berkumpul di warung Mpok Jumi untuk mencari solusi.
"Kita harus lakukan sesuatu!" seru Wagyuman sambil mengepalkan tangan. "Pagar laut ini nggak cuma bikin kita susah, tapi juga pemborosan, apalagi dengar-dengar ada anggaran negara terpakai juga! Mending duitnya buat perbaiki jalan kampung!"
"Tapi kita nggak mungkin lawan pemerintah langsung," ujar Kusnad. "Demo? Pasti dianggap pengkhianat bangsa. Harus ada cara lain."
Pak Sampan mengusulkan ide licik. "Gimana kalau kita pura-pura dukung proyek ini, tapi kita manfaatin buat bisnis? Banyak turis penasaran sama proyek absurd kayak gini. Kita bisa bikin tur wisata!"
Wagyuman terdiam sejenak, lalu tertawa. "Bener juga! Kita manfaatin aja kegilaan ini buat keuntungan kita."
Ide Pak Sampan ternyata sukses besar. Dalam waktu singkat, warga membuka bisnis di sekitar proyek pagar laut.Â
Wagyuman mendirikan pos tambal ban khusus turis. Mpok Jumi mengubah nama warungnya menjadi "Nasi Uduk Laut Mpok Jumi", lengkap dengan menu spesial "Gurita Gaib" (meski isinya cuma telur dadar dan sambal). Kusnad memandu tur dengan gaya serius, menjelaskan sejarah fiksi tentang "betapa pentingnya pagar laut bagi keamanan dunia".
Turis dari negeri seberang berdatangan. Mereka menyebut pagar laut ini sebagai "lelucon abad ini".