Namun, di sisi lain, proyek ini terus menelan biaya besar. Anggaran negara yang ikut terpakai melonjak hingga tiga kali lipat karena seringnya pagar itu rusak diterjang ombak. Setiap kali roboh, Tuan Tembokis menyalahkan laut. "Ini bukti bahwa laut kita berbahaya tanpa pagar!" katanya dalam pidato terbaru.
Setelah bertahun-tahun dan uang rakyat habis, pagar laut itu selesai... hanya setengahnya. Sisanya terhenti karena dana pembangunan dialihkan untuk proyek lain: museum pagar laut.
Di warung Mpok Jumi, warga kembali berkumpul untuk membahas proyek ini lagi.
"Gue nggak tahu harus ketawa atau nangis," kata Wagyuman sambil menyeruput kopi. "Kita ini kayak hidup di film komedi."
Mpok Jumi menyeka tangan dengan celemeknya. "Iya, tapi komedi ini sudah pake duit rakyat. Kapan tamatnya?"
Kusnad hanya tersenyum pahit. "Sejarah Tembokto adalah sejarah proyek besar dengan hasil kecil. Yang penting, kita masih bisa ketawa meski dompet kita kosong."
Dan begitulah, Negeri Tembokto kembali jadi buah bibir dunia. Apakah itu karena inovasi atau sekadar kekonyolan, yang jelas, warga Tembokto tetap hidup dengan tawa... meski sambil mengelus dada.***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI