Sari tidak tahu berapa lama ia menangis, sampai suara kecil menyapanya.Â
"Kak, maaf, Â itu kursi rodanya siapa?" Sari menoleh.Â
Seorang anak laki-laki berdiri tak jauh darinya, rambutnya acak-acakan, bajunya lusuh. Anak itu memandang kursi roda itu dengan penuh rasa ingin tahu.
"Itu... kursi roda ibuku," jawab Sari, suaranya parau. "Tapi sekarang ibu sudah nggak ada."
Anak itu mengangguk pelan. "Adikku butuh kursi roda. Tapi Mama bilang, kami nggak punya uang buat beli."
Sari memandang anak itu, lalu kembali melihat kursi roda di depannya. Untuk pertama kalinya, ia merasakan sesuatu yang berbeda.Â
Kursi itu tidak lagi terlihat seperti simbol kesedihannya. Tiba-tiba ia melihat ibunya, tersenyum lembut seperti dulu, seakan berkata bahwa kursi itu bisa berarti dan menjadi  memiliki makna yang lebih besar.
"Kamu mau bawa ini untuk adikmu?" tanya Sari akhirnya.
Anak itu terbelalak. "Boleh? Benar, Kak?"
Sari mengangguk. Ia berdiri, menyerahkan kursi roda itu kepada anak kecil itu. "Jaga baik-baik ya, buat adikmu. Semoga bisa membantu dia."
Anak itu tersenyum lebar, matanya berbinar. "Terima kasih, Kak! Adikku pasti senang banget!"