Kalimat itu selalu menjadi pelipur lara bagi Sari, walau ia tahu di baliknya ada kesedihan yang tak pernah diungkapkan.Â
Ia sering mendengar isak lirih di malam hari, isak yang tak pernah berani ia tanyakan langsung. Mungkin ibunya merindukan hidup yang dulu, sebelum tubuhnya kehilangan kekuatan, sebelum mereka harus menjalani hari-hari yang serba kekurangan.
Hari-hari terasa begitu panjang sejak kepergian Bu Mirna tiga bulan lalu. Rumah kecil itu kini sunyi, hanya berisi bayangan kenangan.Â
Kursi roda yang dulu selalu digunakan kini hanya diam di sudut ruangan. Sari hampir tidak pernah menyentuhnya, tidak pernah berani mendekatinya. Kursi itu seperti perwujudan rasa bersalah yang tak pernah bisa ia lupakan.
Hari itu, entah kenapa, Sari merasa ingin membawa kursi roda itu keluar. Ia menuntunnya perlahan, melewati jalan kecil yang sering mereka lewati dulu. Ia berjalan tanpa arah, membiarkan roda kursi itu bergerak di atas tanah berbatu.Â
Setiap langkahnya terasa berat, seperti ada beban yang terus menghantui pikirannya. Sampai akhirnya ia tiba di taman kota, tempat yang sering ia janjikan pada ibunya.
"Ibu, kalau nanti ibu sembuh, kita ke taman kota lagi, ya," janjinya suatu hari.Â
Tapi janji itu tak pernah terpenuhi. Kehidupan terlalu sibuk menyeret mereka ke rutinitas yang melelahkan, hingga Bu Mirna pergi tanpa pernah merasakan udara segar di taman ini lagi.
Sari berhenti di bawah pohon besar. Angin sore berembus lembut, membawa aroma rumput basah. Ia duduk di bangku kayu, memandangi kursi roda itu dengan mata berkaca-kaca.Â
"Maaf, Bu," bisiknya pelan. "Aku belum sempat membawa Ibu ke sini." Ucapannya tersendat di tenggorokan, dan air mata yang selama ini ia tahan akhirnya mengalir deras.
Isaknya pecah, menggema di antara suara tawa anak-anak yang bermain tak jauh darinya.