terong Bu Lurah masih menjadi bahan gibahan yang hangat.Â
Suatu siang di kota Atrakaj , tepatnya di kampung Ketilang Cemplung Negeri Tembokto yang damai tapi penuh dengan intrik kecil, isu tentangSetelah kekisruhan Bu Lurah yang kebingungan memilih terong untuk sambal minggu lalu, suasana semakin memanas di warung nasi uduk Mpok Jumi. Rupanya, terong tersebut telah menjadi simbol baru dalam kehidupan warga kampung.
Pagi itu, suasana warung nasi uduk Mpok Jumi lebih ramai dari biasanya. Mpok Jumi sibuk menyiapkan piring-piring berisi nasi uduk hangat dan gorengan, sementara pelanggan saling berbisik membahas topik terbaru.
"Gue bilang juga apa, pasti ada yang aneh sama terong Bu Lurah itu," ujar Wagyuman, si tukang tambal ban yang selalu punya teori konspirasi.
"Iya nih, katanya terong itu nggak cuma buat sambel, tapi ada kekuatan khusus buat ngusir tuyul," timpal Wira, pemilik kios kelontong yang sering menyebarkan rumor.
"Ngusir tuyul apaan? Lo denger dari mana?" Kusnad, si guru sejarah, angkat bicara sambil mengangkat buku tua berjudul Flora dan Fauna Mistis Nusantara.Â
"Terong itu mungkin ada kaitannya sama adat lokal, tapi gue rasa ini cuma salah kaprah." lanjutnya.
Mpok Jumi mendesah sambil mengaduk sambal kacang. "Udahlah, yang penting warung gue jadi rame. Orang beli nasi uduk gara-gara ngomongin terong juga gue nggak keberatan."
Di tengah keramaian warung, datanglah Pak Rete dengan wajah serius. "Warga semua, tolong kumpul! Saya ada pengumuman penting."
Warga yang sedang sarapan langsung diam. Pak RT melanjutkan, "Tadi pagi, saya nemu terong di depan gapura kampung. Tapi ini bukan terong biasa. Terongnya besar banget, warna ungunya ngejreng, dan ada tulisan di kulitnya."
"Tulisan apa, Pak Rete?" tanya Mpok Jumi dengan mata berbinar.
"'Untuk Bu Lurah,'" jawab Pak Rete sambil mengangkat alis. "Saya rasa ini ada hubungannya sama kejadian minggu lalu."
Suasana langsung heboh. Wagyuman berdiri dan berteriak, "Gue yakin ini ulah makhluk halus! Terong itu bawa pesan dari dunia lain."
Kusnad mendengus. "Kalau ada tulisan, itu pasti kerjaan manusia. Mungkin ini prank. Tapi siapa yang berani nge-prank Bu Lurah?"
Pak Rete mengehampiri Wira untuk diperiksa lebih lanjut. Wira, yang merasa dirinya ahli segalanya, mengambil kaca pembesar dari tasnya dan memasang kaca pembesar itu di depan terong.
"Hmm, ini tulisan pakai spidol permanen. Siapa pun yang nulis ini, pasti punya maksud tertentu," ujar Wira penuh keyakinan.
"Lo yakin itu spidol? Bukan tinta mistis?" tanya Wagyuman sambil memelototi terong dari dekat.
Mpok Jumi menimpali, "Udah deh, daripada ribet, mending itu terong digoreng terus dijual aja."
Namun, Pak Rete bersikeras bahwa terong itu harus disimpan sebagai barang bukti. "Kita nggak tahu apa maksud sebenarnya. Nanti kita undang Bu Lurah untuk memberikan keterangan."
Malam harinya, warga berkumpul di balai kampung untuk membahas kasus terong.Â
Bu Lurah hadir dengan wajah cemas. Terong besar misterius itu diletakkan di meja depan, seperti barang bukti di persidangan.
"Bu Lurah, apakah Anda merasa ada yang mengancam Anda lewat terong ini?" tanya Pak Rete.
Bu Lurah menggeleng. "Nggak tahu, Pak. Saya cuma bingung kenapa akhir-akhir ini hidup saya selalu dikaitkan sama terong. Padahal minggu lalu saya cuma pengen bikin sambal."
"Tapi Bu Lurah," kata Wagyuman sambil berdiri, "mungkin ini peringatan! Terong ini bisa jadi simbol pemberontakan. Siapa tahu ada yang nggak puas sama kepemimpinan Ibu."
"Bener tuh," tambah Wira. "Bisa jadi ada pihak yang sengaja bikin kita ribut biar kampung ini kacau."
Kusnad menepuk dahinya. "Kalian ini kebanyakan nonton sinetron. Terong ini mungkin cuma becandaan orang iseng. Kalau mau tahu siapa pelakunya, kenapa nggak lapor polisi aja?"
Pak Rete mengangguk. "Ide bagus. Besok pagi, kita bawa terong ini ke kantor polisi. Biar mereka yang periksa."
Dua hari kemudian, warga kembali berkumpul untuk mendengar hasil pemeriksaan polisi. Pak Rete datang dengan wajah sumringah.
"Warga sekalian, terima kasih atas kesabaran kalian. Polisi sudah menemukan pelaku di balik terong ini."
"Siapa, Pak Rete?" tanya Mpok Jumi penasaran.
Pak Rete menoleh ke Bu Lurah yang seketika tertunduk, seperti orang malu.
"Ternyata, pelakunya adalah... Pak Toni, suami saya," jawab Bu Lurah dengan wajah bersemu merah.
Warga terkejut. "Pak Toni? Kenapa dia melakukan itu?" tanya Wagyuman.
Bu Lurah menjelaskan dengan nada agak kesal. "Dia cuma mau bercanda. Katanya dia nulis pesan di terong itu buat ngeredam stres saya setelah kejadian minggu lalu. Dia pikir ini bakal lucu."
Semua warga terdiam sejenak, lalu meledak dalam tawa. Bahkan Kusnad, yang biasanya serius, tak bisa menahan senyum.
Di warung Mpok Jumi keesokan harinya, suasana kembali normal. Mpok Jumi menggoreng terong besar itu dan menjualnya sebagai menu spesial. Warga berdatangan untuk mencicipi, termasuk Bu Lurah yang akhirnya bisa tersenyum lega.
"Akhirnya, terong ini punya tujuan yang jelas," kata Mpok Jumi sambil tertawa.
Wagyuman, yang duduk di sudut warung, berkomentar, "Gue jadi sadar, terong ini ngajarin kita satu hal. Kadang, masalah besar itu cuma soal perspektif."
"Betul," jawab Kusnad. "Dan kadang solusi dari masalah itu cuma sepotong sambal terong."
Semua orang tertawa lagi. Di kampung Ketilang Cemplung, bahkan terong bisa jadi pelajaran hidup.
Kisah terong Bu Lurah kali ini menjadi legenda baru di Ketilang Cemplung. Tidak hanya menghibur, tetapi juga mengingatkan warga bahwa dalam kehidupan sederhana mereka, setiap masalah, sekonyol apa pun, bisa jadi bahan cerita yang tak terlupakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H