Bu Lurah menggeleng. "Nggak tahu, Pak. Saya cuma bingung kenapa akhir-akhir ini hidup saya selalu dikaitkan sama terong. Padahal minggu lalu saya cuma pengen bikin sambal."
"Tapi Bu Lurah," kata Wagyuman sambil berdiri, "mungkin ini peringatan! Terong ini bisa jadi simbol pemberontakan. Siapa tahu ada yang nggak puas sama kepemimpinan Ibu."
"Bener tuh," tambah Wira. "Bisa jadi ada pihak yang sengaja bikin kita ribut biar kampung ini kacau."
Kusnad menepuk dahinya. "Kalian ini kebanyakan nonton sinetron. Terong ini mungkin cuma becandaan orang iseng. Kalau mau tahu siapa pelakunya, kenapa nggak lapor polisi aja?"
Pak Rete mengangguk. "Ide bagus. Besok pagi, kita bawa terong ini ke kantor polisi. Biar mereka yang periksa."
Dua hari kemudian, warga kembali berkumpul untuk mendengar hasil pemeriksaan polisi. Pak Rete datang dengan wajah sumringah.
"Warga sekalian, terima kasih atas kesabaran kalian. Polisi sudah menemukan pelaku di balik terong ini."
"Siapa, Pak Rete?" tanya Mpok Jumi penasaran.
Pak Rete menoleh ke Bu Lurah yang seketika tertunduk, seperti orang malu.
"Ternyata, pelakunya adalah... Pak Toni, suami saya," jawab Bu Lurah dengan wajah bersemu merah.
Warga terkejut. "Pak Toni? Kenapa dia melakukan itu?" tanya Wagyuman.