film dan sastra memiliki peran yang tak tergantikan sebagai media untuk menyuarakan keresahan masyarakat.Â
Dalam dunia yang semakin kompleks,Film dan sastra menjadi cermin sosial yang memproyeksikan berbagai persoalan, mulai dari ketidakadilan, kemiskinan, hingga isu-isu lingkungan.Â
Dengan cara yang halus namun kuat, karya-karya kreatif ini mampu menggugah kesadaran kolektif dan mendorong perubahan.
Film Sebagai Media Kritik Sosial
Film adalah salah satu media paling efektif untuk menyampaikan pesan sosial. Melalui narasi visual yang emosional, penonton dapat memahami isu yang diangkat tanpa merasa sedang digurui.Â
Misalnya, film Parasite karya Bong Joon-ho berhasil menggambarkan ketimpangan sosial di Korea Selatan dengan cara yang brilian dan menyentuh.Â
Film ini tidak hanya mendapat pengakuan internasional, tetapi juga memicu diskusi global tentang kesenjangan ekonomi.
Di Indonesia, film seperti Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak karya Mouly Surya menghadirkan perspektif tentang perempuan dan kekerasan di pedesaan.Â
Film ini, seperti dikutip dari The Guardian, "membangkitkan diskusi tentang patriarki yang masih mengakar di masyarakat Asia."
Dengan karya semacam ini, film menjadi medium yang mampu menyuarakan keresahan yang sering kali terpinggirkan.
Sastra sebagai Suara Kaum Marjinal
Sastra memiliki kekuatan untuk menyuarakan apa yang tak terucapkan. Dalam novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata, kita diajak melihat perjuangan anak-anak di Belitung untuk mengakses pendidikan.Â
Novel ini menjadi inspirasi bagi banyak orang untuk lebih peduli terhadap pentingnya pendidikan, terutama di daerah terpencil.
Menurut Literary Hub, sastra adalah "jendela ke dalam jiwa manusia." Melalui cerita-cerita yang personal dan mendalam, sastra dapat menghubungkan pembaca dengan realitas yang mungkin jauh dari pengalaman mereka.Â
Contoh lainnya adalah karya Pramoedya Ananta Toer, seperti Bumi Manusia, yang mengkritik kolonialisme dan ketidakadilan sosial di masa lalu.Â
Dalam konteks ini, sastra menjadi alat untuk menantang status quo dan mendorong pemikiran kritis.
Pengalaman Pribadi dalam Menggunakan Media
Sebagai penulis skenario dan novelis, saya mencoba menggunakan karya saya untuk mengangkat isu-isu sosial. Misalnya, cerita di Film pendek The Seller mengkritik bagaimana penanganan pedagang kecil lewat kemasan horor komedi.Â
Tokoh-tokoh dalam cerita ini dihadapkan pada realitas pahit yang mencerminkan keresahan masyarakat modern tentang kesulitan ekonomi dan perjuangan seorang pedagang kecil.
Selain itu, melalui setting fiksi seperti Negeri Tembokto dalam cerita-cerita saya, saya mencoba menciptakan ruang untuk mengeksplorasi keresahan kolektif.Â
Karakter seperti Wagyuman, seorang tukang tambal ban yang vokal, adalah representasi dari suara rakyat kecil yang sering kali diabaikan.Â
Dalam karya ini, satire menjadi alat yang kuat untuk menyampaikan pesan tanpa kehilangan elemen hiburan.
Bahkan dalam karya saya yang lain, di Tabloid OPOSISI pada tahun 2011 kemudian hijrah ke Harian Terbit hingga 2013, saya dipercaya menulis Rubrik Satire Politik berjudul Ketoprak Politik.
Kondisi bangsa kala itu saya kemas dalam sebuah panggung sandiwara Ketoprak, yang oleh Pimpinan Redaksinya, almarhum M.Djoko Yuwono, pernah dijelaskan olehnya mengapa pada akhirnya memberikan kesempatan saya sebagai penulis pemula kala itu.
Menurutnya, kemampuan saya mengelola cerita dengan isu yang ada sangat menarik. Padahal, itu semua hanyalah kumpulan keresahan, kekesalan, dan kemuakkan saya terhadap kondisi saat itu.
Namun, pembaca bisa menikmati karya itu sebagai sebuah cerita yang mengalir dan seolah-olah pernah terjadi, tapi langsung pula menyatakan bahwa itu semua hanyalah dunia rekaan saya semata.
Kolaborasi Film dan Sastra
Saat film dan sastra bersinergi, dampaknya bisa luar biasa. Adaptasi novel menjadi film, seperti Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy, telah berhasil menyentuh audiens yang lebih luas.Â
Kolaborasi semacam ini memperkuat pesan sosial yang ingin disampaikan, seperti pentingnya toleransi dalam masyarakat yang majemuk.
Menurut data yang dilansir dari UNESCO, lebih dari 80% masyarakat dunia terpapar pesan sosial melalui film dan buku setiap tahunnya.Â
Angka ini menunjukkan betapa besar pengaruh kedua media tersebut dalam membentuk opini publik.
Film dan sastra bukan hanya alat hiburan; mereka adalah medium yang mampu menyuarakan keresahan dan menggugah perubahan.
Dengan menggali isu-isu yang relevan, kedua bentuk seni ini dapat menjadi katalis bagi diskusi yang lebih besar tentang masa depan masyarakat kita.
Sebagai kreator, tanggung jawab kita adalah menggunakan platform ini dengan bijak dan penuh kesadaran.Â
Seperti yang dikatakan oleh Maya Angelou, "Anda tidak akan pernah tahu dampak dari karya Anda sampai Anda melakukannya."Â
Jadi, mari terus berkarya lewat film dan sastra untuk menyuarakan keresahan yang mendalam serta relevan dengan kehidupan sehari-hari.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H