Mohon tunggu...
Dimas Jayadinekat
Dimas Jayadinekat Mohon Tunggu... Freelancer - Author, Freelance Script Writer, Public Speaker, Enterpreneur Coach

Penulis buku Motivasi Rahasia NEKAT (2012), Penulis Skenario lepas di TVRI dan beberapa rumah produksi (2013-kini), Penulis Rubrik Ketoprak Politik di Tabloid OPOSISI dan Harian TERBIT (2011-2013), Content Creator di Bondowoso Network, Pembicara publik untuk kajian materi Film, Skenario, Motivasi, Kewirausahaan, founder Newbie Film Centre

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menyuarakan Keresahan Lewat Cerita: Pentingnya Film dan Sastra Sebagai Media Kritik Sosial

4 Januari 2025   14:29 Diperbarui: 4 Januari 2025   14:29 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pentingnya Film dan Sastra Sebagai Media Kritik Sosial, Photo by Ivan Samkov: pexels.com

Sastra memiliki kekuatan untuk menyuarakan apa yang tak terucapkan. Dalam novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata, kita diajak melihat perjuangan anak-anak di Belitung untuk mengakses pendidikan. 

Novel ini menjadi inspirasi bagi banyak orang untuk lebih peduli terhadap pentingnya pendidikan, terutama di daerah terpencil.

Menurut Literary Hub, sastra adalah "jendela ke dalam jiwa manusia." Melalui cerita-cerita yang personal dan mendalam, sastra dapat menghubungkan pembaca dengan realitas yang mungkin jauh dari pengalaman mereka. 

Contoh lainnya adalah karya Pramoedya Ananta Toer, seperti Bumi Manusia, yang mengkritik kolonialisme dan ketidakadilan sosial di masa lalu. 

Dalam konteks ini, sastra menjadi alat untuk menantang status quo dan mendorong pemikiran kritis.

Pengalaman Pribadi dalam Menggunakan Media

Sebagai penulis skenario dan novelis, saya mencoba menggunakan karya saya untuk mengangkat isu-isu sosial. Misalnya, cerita di Film pendek The Seller mengkritik bagaimana penanganan pedagang kecil lewat kemasan horor komedi. 

Tokoh-tokoh dalam cerita ini dihadapkan pada realitas pahit yang mencerminkan keresahan masyarakat modern tentang kesulitan ekonomi dan perjuangan seorang pedagang kecil.

Selain itu, melalui setting fiksi seperti Negeri Tembokto dalam cerita-cerita saya, saya mencoba menciptakan ruang untuk mengeksplorasi keresahan kolektif. 

Karakter seperti Wagyuman, seorang tukang tambal ban yang vokal, adalah representasi dari suara rakyat kecil yang sering kali diabaikan. 

Dalam karya ini, satire menjadi alat yang kuat untuk menyampaikan pesan tanpa kehilangan elemen hiburan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun