Bahkan dalam karya saya yang lain, di Tabloid OPOSISI pada tahun 2011 kemudian hijrah ke Harian Terbit hingga 2013, saya dipercaya menulis Rubrik Satire Politik berjudul Ketoprak Politik.
Kondisi bangsa kala itu saya kemas dalam sebuah panggung sandiwara Ketoprak, yang oleh Pimpinan Redaksinya, almarhum M.Djoko Yuwono, pernah dijelaskan olehnya mengapa pada akhirnya memberikan kesempatan saya sebagai penulis pemula kala itu.
Menurutnya, kemampuan saya mengelola cerita dengan isu yang ada sangat menarik. Padahal, itu semua hanyalah kumpulan keresahan, kekesalan, dan kemuakkan saya terhadap kondisi saat itu.
Namun, pembaca bisa menikmati karya itu sebagai sebuah cerita yang mengalir dan seolah-olah pernah terjadi, tapi langsung pula menyatakan bahwa itu semua hanyalah dunia rekaan saya semata.
Kolaborasi Film dan Sastra
Saat film dan sastra bersinergi, dampaknya bisa luar biasa. Adaptasi novel menjadi film, seperti Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy, telah berhasil menyentuh audiens yang lebih luas.Â
Kolaborasi semacam ini memperkuat pesan sosial yang ingin disampaikan, seperti pentingnya toleransi dalam masyarakat yang majemuk.
Menurut data yang dilansir dari UNESCO, lebih dari 80% masyarakat dunia terpapar pesan sosial melalui film dan buku setiap tahunnya.Â
Angka ini menunjukkan betapa besar pengaruh kedua media tersebut dalam membentuk opini publik.
Film dan sastra bukan hanya alat hiburan; mereka adalah medium yang mampu menyuarakan keresahan dan menggugah perubahan.
Dengan menggali isu-isu yang relevan, kedua bentuk seni ini dapat menjadi katalis bagi diskusi yang lebih besar tentang masa depan masyarakat kita.