Mohon tunggu...
Dimas Jayadinekat
Dimas Jayadinekat Mohon Tunggu... Freelancer - Author, Freelance Script Writer, Public Speaker, Enterpreneur Coach

Penulis buku Motivasi Rahasia NEKAT (2012), Penulis Skenario lepas di TVRI dan beberapa rumah produksi (2013-kini), Penulis Rubrik Ketoprak Politik di Tabloid OPOSISI dan Harian TERBIT (2011-2013), Content Creator di Bondowoso Network, Pembicara publik untuk kajian materi Film, Skenario, Motivasi, Kewirausahaan, founder Newbie Film Centre

Selanjutnya

Tutup

Humor Pilihan

Serial Parodi Kehidupan: Negeri Tembokto dan Pajak Udara

1 Januari 2025   07:30 Diperbarui: 31 Desember 2024   17:30 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Serial Parodi Kehidupan: Negeri Tembokto dan Pajak Udara, Photo by Ninh Tien Dat:pexels.com

Di negeri Tembokto, tepatnya di Kampung Ketilang Cemplung, pagi itu ada keributan besar!

Warung nasi uduk Mpok Jumi, yang biasanya jadi tempat tongkrongan ibu-ibu Kampung Ketilang Cemplung, mendadak penuh bisik-bisik seru soal bahan gibahan terbaru. Katanya, pemerintah kota Atrakaj bakal memberlakukan pajak udara.

"Gimana ceritanya udara bisa kena pajak? Kita napas aja bayar?" teriak Mpok Jumi dengan ekspresi mirip orang habis ketiban jemuran.

"Ya katanya sih buat menjaga keseimbangan ekosistem, biar udara tetap bersih," jawab Mak Iyem, tetangga sekaligus pelanggan setia, sambil menyeruput teh tubruk yang masih mengepul.

"Terus?' tanya Mpok Jumi bak arwah penasaran.

"Salah satunya, nggak boleh ada bau-bauan menusuk yang kecium orang," jawab Mak Iyem yang gayanya sudah seperti penyiar kondang Peni Ros membawakan acara gosip.

Mpok Jumi melongo. Sebagai penjual nasi uduk, dia tahu benar bahwa aroma wangi santan, bawang goreng, dan rendang yang menyeruak tiap pagi adalah daya tarik utama warungnya. Kalau wangi-wangi itu kena pajak, alamat bangkrutlah dia.

Malam harinya, Mpok Jumi mulai memutar otak. Setelah ngelamun sambil menatap poster grup dangdut lokal di dinding, muncullah ide brilian: dia akan memasak di tempat tertutup. 

Tujuannya? Mengurangi pengeluaran udara, tentu saja. Maka, garasi Pak Rete yang biasanya jadi tempat jemur kasur segera disulap jadi dapur darurat.

"Biar nggak ada udara keluar. Logika gue bener, kan?" gumamnya sambil membungkus ventilasi garasi dengan plastik bekas.

Namun, hasilnya sungguh di luar ekspektasi. Dalam satu jam, garasi itu berubah jadi sauna. Berasap dan super pengap! 

Mpok Jumi engap abis, ia mau keluar dan mukanya terlihat basah kuyup serta penuh jelaga, seperti habis ikut lomba lari di tengah asap kebakaran. Sementara itu, pelanggan di depan warung mulai gusar.

"Kok nggak ada wangi-wangi masakan, ye? Biasanya kan dari ujung jalan udah kecium. Ini Malah kecium bau ketek," celetuk Bang Udin, pelanggan setia yang sehari bisa makan tiga bungkus.

Mpok Jumi yang baru keluar sedikit dan belum terlihat siapun langsung ngacir, dia khawatir aroma tubuhnya yang keluar seliar mungkin itu bakal kena pajak. Dan ia langsung buru-buru mandi, berendam di bak dengan rendaman air kembang tujuh rupa!

Hari itu penjualan Mpok Jumi anjlok. Cuma laku dua bungkus, itu pun karena Mak Iyem kasihan dan terpaksa beli meski wajahnya penuh rasa iba. Mpok Jumi, yang biasanya semangat ngoceh sambil melayani, cuma bisa terduduk lemas di depan wajan kosong.

Seperti takdir ingin mengerjai Mpok Jumi lebih jauh, datanglah kru TV lokal yang sedang mencari narasumber untuk berita pajak udara. 

Reporter dengan dandanan menor menghampiri Mpok Jumi yang masih kusut bak mie instan setengah matang.

"Mpok, boleh wawancara sebentar soal pajak udara ini?" tanyanya.

Dalam kondisi setengah stres, Mpok Jumi menjawab spontan, "Pajak udara itu apa-apaan sih? Udara kan ciptaan Tuhan, masa kita bayar buat napas? Kalau begini, besok bisa-bisa ketawa keras aja kena pajak!"

Namun, entah kenapa, saat berita itu tayang di TV, komentarnya dipotong sedemikian rupa hingga terdengar seperti dukungan. Di layar kaca muncul judul besar: "Mpok Jumi: Pajak Udara Solusi Bijak untuk Kota Atrakaj".

Esoknya, warung nasi uduk Mpok Jumi mendadak ramai. Pelanggan berdatangan bukan cuma buat beli nasi uduk, tapi juga ingin melihat langsung Mpok Jumi yang jadi bintang berita. 

Beberapa bahkan minta selfie sambil memegang piring nasi uduk. Penjualannya meroket hingga dua kali lipat.

Tapi kebahagiaan itu ternyata cuma sementara. Sebulan kemudian, Mpok Jumi menerima surat dari petugas pajak. Kali ini bukan soal pajak udara, melainkan pajak popularitas. 

Karena dianggap figur publik, ia kini harus membayar pajak tambahan atas kenaikan omsetnya.

"Ya ampun, napas gue kena pajak, nasi uduk gue kena pajak, sekarang gue sendiri juga kena pajak! Hidup ini kenapa jadi kayak permainan monopoli, sih?" keluh Mpok Jumi sambil memandangi tumpukan tagihan.

Meski begitu, Mpok Jumi tetap bertahan. Di depan warung, ia duduk santai sambil mengelus dagu, berpikir keras bagaimana caranya mengakali pajak berikutnya. 

"Yang penting, nasi uduk gue tetap laku. Hiduplah nasi uduk, tanpa pajak!" katanya sambil mengaduk sambal. 

Dan begitulah, di Kampung Ketilang Cemplung, perjuangan Mpok Jumi terus berlanjut di tengah badai pajak dan kebijakan ajaib negeri Tembokto.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun