Mpok Jumi engap abis, ia mau keluar dan mukanya terlihat basah kuyup serta penuh jelaga, seperti habis ikut lomba lari di tengah asap kebakaran. Sementara itu, pelanggan di depan warung mulai gusar.
"Kok nggak ada wangi-wangi masakan, ye? Biasanya kan dari ujung jalan udah kecium. Ini Malah kecium bau ketek," celetuk Bang Udin, pelanggan setia yang sehari bisa makan tiga bungkus.
Mpok Jumi yang baru keluar sedikit dan belum terlihat siapun langsung ngacir, dia khawatir aroma tubuhnya yang keluar seliar mungkin itu bakal kena pajak. Dan ia langsung buru-buru mandi, berendam di bak dengan rendaman air kembang tujuh rupa!
Hari itu penjualan Mpok Jumi anjlok. Cuma laku dua bungkus, itu pun karena Mak Iyem kasihan dan terpaksa beli meski wajahnya penuh rasa iba. Mpok Jumi, yang biasanya semangat ngoceh sambil melayani, cuma bisa terduduk lemas di depan wajan kosong.
Seperti takdir ingin mengerjai Mpok Jumi lebih jauh, datanglah kru TV lokal yang sedang mencari narasumber untuk berita pajak udara.Â
Reporter dengan dandanan menor menghampiri Mpok Jumi yang masih kusut bak mie instan setengah matang.
"Mpok, boleh wawancara sebentar soal pajak udara ini?" tanyanya.
Dalam kondisi setengah stres, Mpok Jumi menjawab spontan, "Pajak udara itu apa-apaan sih? Udara kan ciptaan Tuhan, masa kita bayar buat napas? Kalau begini, besok bisa-bisa ketawa keras aja kena pajak!"
Namun, entah kenapa, saat berita itu tayang di TV, komentarnya dipotong sedemikian rupa hingga terdengar seperti dukungan. Di layar kaca muncul judul besar: "Mpok Jumi: Pajak Udara Solusi Bijak untuk Kota Atrakaj".
Esoknya, warung nasi uduk Mpok Jumi mendadak ramai. Pelanggan berdatangan bukan cuma buat beli nasi uduk, tapi juga ingin melihat langsung Mpok Jumi yang jadi bintang berita.Â
Beberapa bahkan minta selfie sambil memegang piring nasi uduk. Penjualannya meroket hingga dua kali lipat.